Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 10. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Mei 2021

Dunia Posmodern : Konteks Dari Teologi Kontemporer

 

PENGENALAN TERHADAP DUNIA POSTMODERN

 

Topik ini diangkat berdasarkan suatu pertimbangan yang mendalam, mengapa? Karena pemahaman terhadap dunia postmodern (sebagai tempat dimana teologi-teologi kontemporer tumbuh dan berkembang) sangat mempengaruhi pemahaman kita, terutama dalam meletakkan dasar berpikir untuk mampu mengkorelasikan pemahaman teologi kontemporer dengan konteksnya. Kita ketahui bersama tidak ada satupun teologi yang tidak berangkat dari sebuah konteks. Kata “logi” dalam istilah “teologi” sebenarnya menunjukkan adanya sebuah konteks yang mendasari konsep berfikir dari teologi tersebut. teologi tanpa konteks adalah teologi yang kering, sulit direfleksikan dan diimplementasikan. Oleh sebab itu pengenalan kitapun tentang dunia postmodern dengan orientasi filosofisnya akan membantu kita menemukan akar berfikir, memahami secara reflektif dan mampu menemukan makna terdalamnya dari teologi tersebut.

Terbitnya postmodern menyebabkan pergeseran yang cukup signifikan terhadap perkembangan teologi, lebih dari itu menuntut para teolog untuk senantiasa berawas-awas terhadap bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh filsafatnya yang mengancam pengajaran murni gereja. Ini bukan berarti para teolog harus dengan naif menutup diri terhadap perkembangan dan mengindoktrinasi jemaat dengan pengajaran yang kaku disertai ancaman-ancaman yang terkesan menakut-nakuti tanpa memberikan dasar pemikiran yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara teologis maupun secara keilmuan.

 

A.     Pemahaman Tentang Postmodernism

Kita seringkali menemukan dua istilah yang sangat mirip yaitu antara posmodernitas dan posmodernisme. Dua istilah ini seringkali  mengecoh dan membuat kita salah memaknainya. Posmodernitas merupakan situasi dan tatanan social produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana public, usangnya Negara bangsa, serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[1] Posmodernisme lebih menunjuk pada reaksi terhadap modernism. Posmodernisme tidak mudah dipahami karena sangat bervariasinya definisi yang disampaikan oleh banyak ahli.

Jean Francois Lyotard menyebutnya ‘akhir dari narasi-narasi besar” atau “ketidak percayaan terhadap narasi-narasi besar” Fredric Jameson, “upaya untuk mengatur suhu jaman tanpa alat bantu dan dalam situasi di mana kita bahkan tidak yakin lagi adanya sesuatu yang begitu koheren sebagai jaman atau semangat zaman atau system” Terry Eagelton ‘ragam gaya hidup dan permainan bahasa yang heterogen yang menyudahi nostalgia desakan untuk mentotalkan serta mengesahkan dirinya sendiri” atau Richard Bernstein, “suatu serangan melawan humanism serta legasi pencerahan”[2].

Para pengikut postmodern sendiri tidak ada kebulatan pengertian dalam memahami hal tersebut, karena bagi mereka memformulasikan definisi yang utuh, bulat dan sama justru akan mendistorsi makna posmodernisme itu sendiri, namun secara garis besar keragaman pengertian itu dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu yang memaknai sebagai Periodisasi, yang terjadi setelah masa modern, dan yang kedua sebagai Produk Budaya yang menolak, menyempurnakan, merevolusi atau mendekonstruksi modernism.

 

B.     Filsafat Postmodern yang sedang Berkembang[3]

Pemikiran abad dua puluh diibaratkan sebagai abad heterogenitas dan kontinuitas aliran-aliran lebih menonjol daripada kualitas. Penyebab dari heterogenitas adalah penekanan pada profesionalitas yang semakin besar. Semua ilmu pengetahuan berkembang begitu maju dan terspesialisasi sehingga seseorang dapat mengikuti perkembangan satu atau beberapa ilmu sekaligus, sehingga kebanyakan para filsuf abad dua puluh adalah spesialis bidang studi tertentu, misalnya matematika, fisika, psikologi, sosiologi, ekonomi, dll. Titik pangkal yang khas ini membawa suatu cara berfikir yang khas dan perhatian terhadap masalah-masalah yang khas pula.

Disamping munculnya aliran-aliran baru dalam filsafat misalnya, vitalism, fenomenologi, eksistesialism, strukturalism, dan analitika bahasa, juga muncul beberapa aliran “neo” ini dampak ketidakpuasan terhadap beberapa filsafat sezamannya misalnya, Neo Tomisme dalam pemikiran khatolik, Neo Kanthianism dalam pemikiran di Jerman, dan Neo Hegelism di Inggris dan Italia.

Negara-negara yang memimpin dalam pemikiran filsafat barat dalam abad ini masih Perancis, Inggris, dan Jerman. Pembagian aliran-alairan tidak lagi bersifat kebangsaan, namun bersifat tendensial, misalnya :

! Filsafat Kontinental : Prancis dan Jerman

! Filsafat Anglosaxon : Inggris

Aliran-aliran filsafat yang masuk kawasan kontinental adalam fenomenologi, eksistensialism, struktualism, dsb. Sedangkan yang masuk kawasan Aglosaxon adalah empirisme logis, analitika bahasa.

Sangat tidak mungkin menyebut satu tendensi umum yang nampak dalam semua aliran filsafat abad dua puluh, namun terdapat satu hal yang umum pada cukup banyak pemikir, yaitu tekanan pada tema “bahasa” dalam arti paling luas. Istilah bahasa tidak hanya dimaksudkan sebagai bahasa biasa melainkan  juga simbol-simbol, struktur antara manusia sebagai suatu dialog, struktur proses komunikasi sebagai bahasa, dan akhirnya struktur seluruh kenyataan dalam kebudayaan sebagai suatu teks yang harus ditafsirkan.

Meskipun pengaruh posmodernisme dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada ranah filosofis, namun tidak dapat disangkal bahwa posmodernisme telah meresap kepada seluruh system kehidupan, hal ini dibuktikan dengan semakin populernya penggunaan istilah postmodern pada bidang-bidang yang luas, misalnya dalam bidang music (Mis. Cage, Stockhausen, dan Glass), bidang seni rupa (mis. Rauschenberg, Baselitz, Warhol, dan Bacon), bidang fiksi (mis.novel-novel Vannegut, Barth, Pynchon, dan Burroughs), bidang Film (mis.Lynch, Greenway, dan Jarman), drama (teater dari Artaud), kritik sastra (mis. Spanos, Hassan, Sontag, dan Fiedler), anthropologi (Clifford, Tyler dan Marcus), sosiologi (mis. Denzin) dan juga dalam bidang geografi (mis.Soja).[4] oleh sebab itu tidak ada satu linipun dalam kehidupan kita yang terbebas sama sekali dari pengaruh posmodernisme termasuk dalam ranag teologis filosofis Kristen.

 

B. Sistem Keagamaan Dunia Postmodern

Dunia posmodern ditandai dengan kebangkitan sistem agama baru yang disebut sebagai agama milenium ketiga yang bersifat multidenominasional di seluruh didunia. Ciri utama sistem keagamaan ini adalah,

pertama,  antikemapanan yang ditandai dengan penolakan terhadap sistem keagamaan yang terorganisasi bahkan ada tendensi tergabungnya mereka dalam gerakan abad baru (new age).

Kedua, bangkitnya kegandrungan terhadap spiritisme. Keajaiban, mitologi, dan isu Mesianik lebih menarik bagi sebagian besar penganut agama dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah dan rasional.

Ketiga, bangkitnya agama-agama dunia ketiga (dunia timur) misalnya Shinto, Taoism, dan kepercayaan-kepercayaan Asia lainnya.

               Abad pencerahan dengan rasionalismnya memberikan jasa terbesar dalam menempatkan ilmu pengetahuan hampir sejajar dengan agama, pada abad 19 dengan dukungan pemikiran Nietsche, tren ini mencapai puncaknya dalam filosofi sekuler ‘Tuhan sudah mati” yang diungkapkan dengan lantang oleh Teolog Radikal Thomas JJ Altizer pada tahun 1960-1970an, namun di era posmo countertrend yang kuat dari sebuah kebangkitan agama menyangkal iman yang buta dalam IPTEK. Sekarang keterbatasan dan kelemahan IPTEK telah begitu nyata, karena itu pengetahuan tidak memberi tahu kepada manusia tentang arti sebuah kehidupan dan manusia berusaha mencarinya melalui sastra, seni, dan spiritualitas.

            Dalam gereja sendiri sedang terjadi suatu perubahan yang belum pernah terjadi di abad-abad sebelumnya[5]:

1.     Bangkitnya gerakan feminism dilembaga-lembaga yang paling bersifat patriakhal, gereja. Terjadi pentahbisan para pendeta wanita besar-besaran di beberapa gereja.

2.     Kemunduran dalam gereja-gereja jalan utama yang sudah mantap sistem organisasinya, misalnya : Methodis, Presbiterian, Lutheran, Episcopalian, dll.

3.     Munculnya statement “spiritualitas Yes, agama terorganisasi, no” karena gereja-gereja yang sudah mapan cenderung terfokus pada keorganisasian daripada memperhatikan spiritualitas umat. Dan yang paling mencengangkan adalah hasil survey di Amerika menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak ke gereja dewasa ini, berdasarkan banyak pertimbangan lebih religius ketimbang orang yang ke gereja pada dasawarsa yang lalu.

4.     Kekristenan terbelah menjadi dua kutub, yaitu fundamentalism dan pengalaman pribadi yang spiritualitas. Ada kecenderungan orang kristen belajar meditasi, yoga dan beberapa kegiatan yang lain yang sebenarnya berakar dari agama-agama timur.

 

C. Tiga Masalah Utama Dunia Postmodern[6]

Seperti istilah kontemporer, sebenarnya tidak ada satupun  definisi istilah ”postmodern” yang benar-benar postmodern, karena dengan berusaha mendefinisikan istilah ini dengan tepat, maka kita justru kehilangan karakteristiknya yang postmodern. Karena dalam dunia postmodern menolak samasekali ketunggalan makna. Ditengah isu-isu yang berkembang mengenai dunia posmo ini kita menemukan tiga permasalahan utama :

  1. Posmo menentang metafisika representasional, yaitu bahwa realitas merupakan fakta yang sebenarnya (given) dan siap dieksplorasi. Bilamana dunia ini given, berarti dunia ini dapat dimengerti secara obyektif dan pasti. Sebaliknya posmo berpendapat bahwa realitas adalah bentukan atau hasil konstruksi, realitas tidak serta merta dapat didekati. Manusia tidak mungkin menjelaskan dengan benar dan tepat dengan cara menjalin fakta-fakta kedalam kerangka kaidah-kaidah penalaran yang logis.

 

  1. Posmo menyangkal dasar-dasar yang menjamin obyektifikasi tersebut. Posmodernis berkeyakinan pengetahuan manusia tidak sama sekali didasarkan pada satu atau beberapa keyakinan dasar yang pasti benar dan tidak mungkin dikoreksi. Willard Van Orman mengatakan bahwa pengetahuan atau kepercayaan terikat pada pengalaman historis dan geografis. Pengetahuan  tidak lebih dari sekedar pilihan pada satu, dan bukan yang lain karena dianggap cocok dengan kondisi kontemporer, oleh sebab itu sangat mungkin suatu pengetahuan dikoreksi. Ketika satu pengetahuan dikoreksi maka pengetahuan yang lainpun juga terbuka bagi penijauan ulang. Pengetahuan lahir dari konteks historis-geografis maka pengetahuan terikat oleh komunitas, jadi komunitaslah yang menjadi penentu berlaku atau tidaknya sebuah pengetahuan.

 

  1. Pengetahuan yang berakar dan bertumbuh pada dalam konteks komunitas tidak mungkin terpisah dari unsur linguistik. Bahasa menjadi unsur perting pembentuk suatu identitas komunitas. Posmo membalikkan keadaan dunia modern yang menjunjung “kemahamampuan penalaran manusia” kepada “kemahamampuan linguistik/bahasa”. Bagi posmodernis manusia tidak mungkin sampai kepada realitas tanpa bahasa. Dunia maupun cara berfikir merupakan jalinan tekstual yang dibentuk oleh bahasa, bahasalah yang membuat sesuatu bermakna. Meskipun demikian bahasa juga tidak bisa mewakili realitas apapun karena suatu kata-kata tidak pernah mewakili realitas apapun diluar dirinya, yang ada adalah sebuah kata selalu mengacu kepada kata-kata lainnya. Tidak ada satupun yang ada dibalik sebuah teks. Penulis maupun motif dibalik penggunaan kata-kata dalam teks sudah mati, dan teks itu menjadi independen. Oleh sebab itu yang berlaku sekarang adalah sebuah penanda. Satu tanda berbada dengan yang lainnya, sehingga sebuah kata tak mungkin dipahami dan dimengerti secara mutlak.


[1] I.Bambang Sugiarto, Posmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat, (Yogjakarta : Kanisius, 1996)hlm.24

[2] Panca W.Yahya, Pengaruh Pascamodernisme Terhadap Hermeneutika Biblika,  dalam VERITAS vol.10. .Hlm119

[3] sebagai referensi baca Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta : Gramedia, 1986)

[4] Sugiarto,Hlm.23        

[5] lihat penjabaran lengkapnya dalam, John Naisbitt & Patricia Aburdene, Mega Trends : Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an.

[6] Ringkasan dari tulisan Nindyo Sasongko dalam Veritas Vol 4 no.2 thn 2003

Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...