BAB I
PENDAHULUAN
Kita saat ini hidup dalam dunia postmodern yang ditandai dengan kebangkitan sistem agama baru yang disebut sebagai agama milenium ketiga. system ini lebih bersifat multidenominasional dan jangkauannya meliputi seluruh dunia. Ciri utama sistem keagamaan ini adalah,
a. pertama, antikemapanan yang ditandai dengan penolakan terhadap sistem keagamaan yang terorganisasi bahkan ada tendensi tergabungnya mereka dalam gerakan abad baru (new age).
b. Kedua, bangkitnya kegandrungan terhadap spiritisme. Keajaiban, mitologi, dan isu Mesianik lebih menarik bagi sebagian besar penganut agama dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah dan rasional.
c. Ketiga, bangkitnya agama-agama dunia ketiga (dunia timur) misalnya Shinto, Taoism, dan kepercayaan-kepercayaan Asia lainnya.
Abad pencerahan dengan rasionalismenya memberikan jasa terbesar dalam menempatkan ilmu pengetahuan hampir sejajar dengan agama, pada abad 19 dengan dukungan pemikiran Nietsche, tren ini mencapai puncaknya dalam filosofi sekuler ‘Tuhan sudah mati” yang diungkapkan dengan lantang oleh Teolog Radikal Thomas JJ Altizer pada tahun 1960-1970an, namun di era posmo countertrend yang kuat dari sebuah kebangkitan agama menyangkal iman yang buta dalam IPTEK. Sekarang keterbatasan dan kelemahan IPTEK telah begitu nyata, karena itu pengetahuan tidak memberi tahu kepada manusia tentang arti sebuah kehidupan dan manusia berusaha mencarinya melalui sastra, seni, dan spiritualitas.
Dalam gereja sendiri sedang terjadi suatu perubahan yang belum pernah terjadi di abad-abad sebelumnya[1]:
1. Bangkitnya gerakan feminism dilembaga-lembaga yang paling bersifat patriakhal, gereja. Terjadi pentahbisan para pendeta wanita besar-besaran di beberapa gereja.
2. Kemunduran dalam gereja-gereja jalan utama yang sudah mantap sistem organisasinya, misalnya : Methodis, Presbiterian, Lutheran, Episcopalian, dll.
3. Munculnya statement “spiritualitas Yes, agama terorganisasi, no” karena gereja-gereja yang sudah mapan cenderung terfokus pada keorganisasian daripada memperhatikan spiritualitas umat. Dan yang paling mencengangkan adalah hasil survey di Amerika menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak ke gereja dewasa ini, berdasarkan banyak pertimbangan lebih religius ketimbang orang yang ke gereja pada dasawarsa yang lalu.
4. Kekristenan terbelah menjadi dua kutub, yaitu fundamentalism dan pengalaman pribadi yang spiritualitas. Ada kecenderungan orang Kristen belajar meditasi, yoga dan beberapa kegiatan yang lain yang sebenarnya berakar dari agama-agama timur.
Dari pemaparan singkat di atas kita dapat mencermati betapa dunia tempat kita tinggal sekarang ini tidak lagi menjadi tempat yang baik untuk menumbuhkan iman yang benar terhadap Allah, melainkan tempat yang subur bagi iblis menyebarkan benih-benih penyesatan terhadap seluruh umat manusia. Kita dapat dengan nyata mengamati betapa cerdik dan sekaligus liciknya iblis dalam menyusun strategi untuk membalikkan manusia dari Allah kepada dirinya, dari spiritualitas yang berTuhan kepada spiritualitas yang anonim. Betolak dari latar belakang tersebut makalah ini berusaha menyajikan satu sisi strategi serangan iblis terhadap salah satu rasul Yesus, yaitu Petrus, dan berusaha menarik suatu prinsip umum yang kiranya dapat memberikan suatu pembelajaran bagi pembaca untuk lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupan beragamanya di era post modern ini.
BAB II
SERANGAN IBLIS TERHADAP PETRUS
DAN KARYA PEMBEBASAN TUHAN ATASNYA
A. Latar Belakang Kehidupan Petrus
Petrus anak seorang yang bernama Yunus (Mat 16:17) adalah seorang nelayan yang dipanggil oleh Yesus menjadi RasulNya, dan dikemudian hari ia menjadi seorang pemimpin Gereja mula-mula (Mat 4:18-20; 16:15-19; Kis 2). Ada kemungkinan nama asli Petrus adalah Simeon sesuai dengan Kisah Rasul 15:14 dan 2 Pet 1:1, tetapi dalam terjemahan bahasa Indonesia nama itu dilafalkan menjadi Simon sebagaimana bunyi dalam bahasa Yunani yang sama dengan penyebutan atau pelafalan nama Simon, pelafalan menurut bahasa Yunani ini juga dilakukan oleh banyak orang Yahudi sezamannya dan hal itu merupakan kelaziman pada masa Perjanjian Baru.[2] Yesus mengubah namanya tersebut dari nama Simon dalam bahasa Ibrani menjadi Kefas dalam bahasa Aram atau Petrus dalam bahasa Yunani, yang memiliki arti “batu karang”.
Petrus berasal dari suatu kota di daerah Golan (Gaulanitis) yaitu Betsaida, yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Yunani (Yoh 1:44). Hal ini yang mungkin yang turut membentuk pola hidupnya yang agak moderat dalam kaitannya dengan pergaulan sehari-hari, termasuk pasca panggilannya menjadi Rasul. Agaknya Petrus bukan hanya memiliki rumah di Kapernaum, di tepi pantai danau Galilea, tempat Petrus mencari nafkah, namun ia juga telah memiliki keluarga (Mark 1:30) yang juga turut mengikutinya dalam perjalanan misinya (I Kor 9:5).
Dari segi kehidupan keagamaan, meskipun Petrus tidak belajar tentang Taurat secara ketat (Kis 4:13) sebagaimana dilakukan kebanyakan kaum laki-laki Yahudi, namun kemungkinan besar ia hidup dengan berpegang pada kesalehan dan teguh berpegang ada pengharapan sebagai umat Yudaisme (Kis 10 :14)
B. Pertobatan dan Panggilan Pelayanannya
Kisah pertobatan Petrus tidaklah dijelaskan secara gamblang dalam kitab-kitab Injil, yang merupakan sumber satu-satunya yang memuat kisah-kisah awal kehidupan Kristen Petrus, melainkan kisah tersebut diceritakan sebagai satu kesatuan yang integral dengan Kisah pemanggilannya oleh Yesus.
Kitab Injil Yohanes memberikan suatu gambaran cerita bagaimana Petrus untuk pertama kali diperkenalkan oleh Andreas, adiknya kepada Yesus (1:41), dan melalui perkenalan pertama inilah memungkinkan ia dikemudian hari lebih mengerti atas pemanggilannya di pantai danau Galilea serta dapat menanggapinya secara tepat (Mark 1:16) sampai pada penetapan nama-nama dua belas rasul Kristus (Mark 3:16).
Petrus adalah murid yang paling awal dipanggil oleh Yesus sehingga disebut paling pertama dalam urutan para murid, bahkan ia dikelompokkan ke dalam 3 diantara kelompok murid paling dekat dengan gurunya (Mark 5:37; 9:2; 14:33). Gelora hati Petrus dalam pelayanan seringkali dilukiskan dalam Alkitab (Mat 14:28; Mark 14:28;Luk 5:8). Di antara para Rasul Petrus bertindak sebagai juru bicara karena dialah yang paling lantang berbicara, bahkan cenderung banyak bicara, sehingga hal ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi kemajuan pelayanannya, misalnya saja ketika ia omong besar dalam mengungkapkan loyalitasnya pada gurunya, maka kisah selanjutnya mengenai kisah penyangkalannya kepada Yesus justru menjadi sangat mencolok (Mark 14:66).
Pada kisah kebangkitan, Petrus ditampailkan paling di depan (Mark 16:7), bahkan ia juga menjadi salah satu murid yang mendapat kunjungan secara khusus dari Gurunya (Luk 24:34; I Kor 15:5) dan tidaklah dapat disangsikan jika ia dikemudian hari juga diberi kedudukan yang paling utama di antara para Rasul. Sesuai dengan Lukas 22:31, menunjukkan bahwa kedudukan Petrus yang begitu penting bukan hanya di lihat oleh Tuhan, tetapi juga iblis. Dan pengetahuan yang jelas tentang penghianatan menunjukkan tugas penggembalannya dikemudian hari sangat berat, dan kebangkitan itu semakin memperkokoh tugas panggilan ini.[3]
C. Karir Pelayanan Petrus
Seperti dijelaskan dalam bagian sebelumnya, bahwa Petrus berperan sebagai pimpinan dalam persekutuan Rasuli (Kis 1:15) sebelum Pentakosta, dan sesudahnya. Ia menjadi pengkhotbah utama (Kis 2:14; 3:12), juru bicara di hadapan penguasa Yahudi (4:8) dan sekaligus pimpinan dalam pelaksanaan tata tertib Gereja mula-mula. Meskipun kekristenan telah menanamkan kesan yang sangat mendalam terhadap masyarakat Palestina, namun Petrus dianggap sebagai rasul yang menerima atau mewarisi kuasa-kuasa adikodrati dari Yesus (5:15).
Sebelum nama Paulus muncul, justru Petruslah rasul pertama yang selalu dikaitkan dengan pelayanan dan penginjilan terhadap dunia non Yahudi sesuai dengan ketetapan Allah (Kis 10:1;15:7). Setelah kematian Stefanus sebagai martir di Yerusalem, kehidupan Petrus mulai sulit dilacak, meskipun beberapa asumsi mengindikasikan bahwa ia melayani di sekitar Palestina (Yope dan Kaisarea) bahkan kemungkinan ia juga sempat dipenjarakan di Yerusalem dan pasca kelepasannya ia pergi ke tempat yang sulit diketahui (Kis 12:17). Kemungkinan terbesar Petrus kemudian pergi ke Antiokia (Gal 2:11), Korintus (I Kor 1:12), Asia Kecil (I Pet 1:1) dan Bitinia (Kis 16:7).
Dari beberapa data di luar kitab-kitab Kanonik[4], Petrus pada akhirnya pergi ke Roma untuk suatu misi khusus, yaitu meredam situasi perpecahan di antara jemaat Kristen. Beberapa masalah kontroversial muncul berkaitan dengan beberapa claim tentang posisi Petrus sebagai Paus pertama dalam Gereja Roma yang didasarkan pada fakta-fakta bahwa Petrus bekerja di sana bahkan kemungkinan besar mati di sana sebagai penggenapan janji baginya sesuai dengan Matius 16:18.[5] namun beberapa tokoh meragukan akan fakta ini, karena tidak cukup bukti bahwa Petrus menjadi bishop di Roma ataupun tinggal lama di sana.[6] Meskipun data-data yang dikemukakan belum diuji kebenarannya dan tidak semuanya benar, namun cerita-cerita tersebut mungkin saja mengandung kebenaran yang tidak dapat dipungkiri.
D. Situasi Krisis Dalam Kehidupan Petrus Akibat Serangan Iblis
- Berjalan Di Atas Air (Mat 13:22-33; Mark 6:45-52; Yoh 6:16-21)
Tidak ada satupun peristiwa yang dialami oleh rasul-rasul Yesus yang sefenomenal peristiwa yang Petrus pernah rasakan, yaitu berjalan di atas air. Peristiwa ketika Yesus menyusul para Rasulnya yang sedang diombang-ambingkan gelombang karena angin sakal pada dini hari di danau Genesaret itu menjadi suatu pengalaman menakjubkan dan paling mengesankan bagi Petrus. Yesus menyusul para murid yang sedang dilanda kekacauan, dengan berjalan di atas air, bukan menjadikan mereka sukacita, melainkan justru mendatangkan ketakutan, namun ketika mereka menyadari bahwa orang yang berjalan di atas air itu bukanlah hantu melainkan adalah Yesus, maka serta merta ketakutan berubah menjadi sukacita dan kekaguman.
Petrus, salah satu murid yang memiliki rasa penasaran sangat tinggi tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, sehingga ia ingin mencoba untuk melakukan apa yang sama seperti dilakukan oleh Yesus dengan meminta agar Ia memperkenankannya untuk berjalan di atas air (Mat 14:28). Atas imannya dan perkenan Yesus iapun dapat berjalan di atas air, namun hal itu tidak berselang lama karena keraguannya itu membuatnya mulai takut dan akhirnya tenggelam (ay 30). Iblis seringkali menyerang sisi pemikiran rasional manusia untuk melemahkan sisi keimanannya, sehingga mereka menjadi pribadi yang tidak bertumbuh. Petrus mampu melakukan apa yang tidak dapat dipikirkan oleh rasionya, oleh karena iman sajalah yang membuatnya dapat melakukan hal itu, namun ketika ia merasakan hembusan angin, otaknya mulai berfikir rasional , maka ketakutan berkekecamuk dalam hati dan membuatnya takut, sehingga iman mulai pudar. Strategi yang luar biasa diterapkan iblis untuk menyerang Petrus dengan melemahkan sisi yang paling sensitive dan fundamental.
- Pemberitaan Pertama Penyaliban Yesus (Mat 16:21-28; Mark 8:31-9:1; Luk 9:22-27)
Sejak peristiwa pemberitaan tentang pembangunan jemaat di atas pengakuan Petrus dalam Mat 16:13-20; Mark 8:27-30; Luk 9:18-21, maka Yesus mulai mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang akan Ia alami termasuk kematianNya di Yerusalem. Berita ini merupakan pukulan bagi para murid, termasuk Petrus, karena seluruh obsesi-obsesi yang selama ini mereka harapkan dari Yesus akan segera hancur bersamaan dengan kematian guru mereka, sehingga sebagai pemimpin dalam kumpulan para murid Petrus berusaha tampil sebagai inisiator dalam menggagalkan rencana pembunuhan terhadap Yesus tersebut. Petrus berfikir dengan membela Yesus dan menyelamatkanNya dari konspirasi para pemimpin agama Yahudi, ia akan menjadi pahlawan dan itu artinya ia berjasa bagi komunitasnya. Disinilah Iblis memainkan perannya dalam memprovokasi Petrus untuk berfikir untuk melakukan tindakan-tindakan yang seolah-olah membela Tuhan dan golongan mereka, tanpa mencoba memahami maksud dan rencana Yesus. Iblis mempengaruhi manusia untuk bertindak seolah-olah baik untuk semua orang, membela agama demi nama Tuhan, namun sebenarnya ia sedang membelokkannya kepada motif dan sasaran yang jutru merugikan.
- Pemberitaan Tentang Penyangkalan di Bukit Zaitun
Yesus sudah menyadari bahwa hari kematianNya sudah sangat dekat, maka pada kesempatan-kesempatan yang ada ketika bersama-sama dengan para murid itulah Ia mulai memberitakan tentang apa yang sebentar lagi akan terjadi, temasuk kematian dan kebangkitanNya. Yesus memberitahukan bahwa para murid akan tercerai berai dan goncang iman menghadapi peristiwa yang akan terjadi, karena mereka belum menyadari dan tak pernah memikirkan hal ini. Mendengar hal itu Petrus, sebagai murid yang paling banyak bicara dan terkesan “besar mulut” ingin tampil sebagai seorang penolong yang paling loyal bagi gurunya. Petrus tidak memahami rencana Allah atas Yesus maupun atas mereka, sehingga ia bereaksi paling keras menentang ide-ide tentang penangkapan Yesus tersebut. Ia dengan yakin menyatakan tidak akan meninggalkan ataupun menyangkal meskipun rekan-rekan para murid lainnya akan goyah imannya.
Melalui penyandaran Petrus terhadap kekuatannya sendiri, perasaan ingin tampil beda dibanding para murid yang lain, ketidak fahamannya terhadap rencana Yesus, dan karakternya yang temperamental dan meledak-ledak itulah menjadi celah bagi iblis untuk menjatuhkannya. Iblis begitu jeli dalam mengamati sisi-sisi kelemahannya, sehingga dikemudian hari pernyatan-pernyataan Petrus ini dijadikan sebagai bumerang bagi Petrus sehingga kisah penyangkkalannya terhadap Yesus menjadi cerita yang sangat mengejutkan.
- Serangan Di Taman Getsemani
Pasca pemberitaan tentang kebangkitanNya di bukit Zaitun, Yesus mengajak tiga orang murid terdekatNya, yakni Petrus, Yohanes, dan Yakobus untuk berdoa di taman Getsemani, karena Yesus nyata-nyata dalam keadaan stress yang sangat dahsyat dan membutuhkan waktu untuk bergumul kepada BapaNya. Ia meminta ketiga muridnya untuk berjaga-jaga (dan tentu juga berdoa) selama gurunya berdoa, namun mereka tidak mampu untuk sebentar saja menunggu sehingga tertidur. Pada jam-jam yang sebenarnya Yesus sangat membutuhkan simpati dan empati dari mereka dengan berdoa bersamaNya, justru mereka tidak mampu memahami kebutuhan gurunya, bahkan sampai tiga kali hal ini terulang.[7]
Iblis memakai kelemahan tubuh Petrus untuk menyerangnya sehingga ia tidak mampu sebentar saja berjaga dan berdoa. Kemampuan berbicaranya yang tidak sepadang dengan kemampuan spiritual dan mentalnya merupakan celah bagi iblis untuk menaklukkannya pada pencobaan, sehingga Petrus ditegur oleh Yesus oleh karena ketidak mampuannya tersebut (Mat 26:40-41). Kelemahan dalam hal berdoa dan berjaga-jaga merupakan celah bagi pencobaan yang dilakukan oleh iblis sehingga melalui peristiwa kegagalannya ini Petrus mendapat pelajaran sehingga mampu menasihati Jemaat dalam suratnya I Petrus 5:8 “sadarlah dan berjaga-jagalah, lawanmu si iblis berjalan keliling seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya’.
- Lepas Kontrol Pada Peristiwa Penangkapan Yesus
Masih dalam peristiwa di Getsemani, ketika Yesus bercakap-cakap dengan ketiga muridnya, dari sinilah peristiwa salib yang sangat mengerikan itu segera dimulai. Yudas dan rombongan orang-orang yang hendak menangkap Yesus berdatangan dengan persenjataan yang lengkap dan hendak menangkapNya. Sudah sangat pasti bahwa kekacauan besar terjadi di taman tersebut, ditengah-tengah situasi yang sangat mencekam, menakutkan dan emosional itulah Petrus[8] seolah tampil sebagai sang pembela Tuhan dengan menghunus pedang dan memotong telinga dari antara salah satu dari hamba Imam Besar.
Temperamen yang emosional dan cenderung sering lepas kontrol merupakan kelemahan Petrus, Dan hal ini sering juga dimanfaatkan oleh iblis untuk mempengaruhinya melakukan tindakan-tindakan yang bodoh dan sangat merugikan dirinya sendiri, maupun orang lain. Meskipun dalam peristiwa ini seolah ia tampil sebagai sosok pahlawan pembela Yesus, namun bukan itu yang Yesus kehendaki, sehingga justru mendatangkan teguran bagi dirinya.
- Hambatan dari Seorang Tukang Sihir[9]
Pada abad kedua muncul sebuah buku yang diberi nama “Kisah Rasul Petrus”[10]yang menceritakan kisah-kisah awal pelayanan Petrus di Roma dan mendirikan suatu jemaat yang cukup besar dan berkembang dengan pesat. Petrus sama seperti Tuhan Yesus, melakukan banyak mujizat dan tanda-tanda ajaib, namun di tengah-tengah kemajuan pelayanannya tersebut Iblis melakukan serangan-serangan terhadap dirinya untuk menghambat pelayanannya dengan cara mengirimkan seorang tukang sihir yang bernama “Simon”, suatu nama yang sama dengan namanya, seorang yang memiliki kemampuan sihir sangat luar biasa, bahkan dalam buku tersebut dikisahkan bahwa penyihir tersebut dapat terbang. Kemungkinan peristiwa ini, merupakan ujian bagi Petrus untuk penyandaran diri dan keteguhan imannya dalam melawan kekuatan-kekuatan supranatural.
- Penyiksaan Oleh Kaisar Romawi
Dalam sejarahnya jemaat Kristus yang ada di Roma terus mengalami tantangan, baik secara internal[11] maupun eksternal. Pelayanan misi Petrus di Roma ini terus menghadapi upaya-upaya sistematik yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi untuk menghambat, bahkan menghentikan pertumbuhan kekristenan di Roma. Iblis menyerang Petrus dengan memakai orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk menindas Petrus bahkan mengancamnya. Penganiayaan yang dilakukan oleh Kaisar Nero, mungkin tercatat sebagai penganiayaan yang paling sadis, brutal, dan menakutkan dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh kaisar-kaisar sebelum dan sesudahnya, sehingga Petrus berupaya untuk menyelamatkan diri dengan menyamar agar dapat keluar dari kota Roma. Iblis tidak hanya memperalat Kaisar Nero saja, namun juga memamakai sahabat-sahabat Kristen Petrus melalui nasihat-nasihat mereka agar Petrus meninggalkan pelayanan di Roma.[12]
E. Dampak Dari Serangan Iblis
- Kedewasaan Hidup Rohani Terhambat
Akibat-akibat kegagalan yang dialaminya dalam beberapa kali peristiwa, misalnya dalam peristiwa di danau Galilea, ketika ia tenggelam karena mengalami ketakutan ketika ia menyadari bahwa ia berada di atas air, membuatnya tidak bertumbuh secara rohani yang akhirnya justru membuat dirinya tenggelam dan mendapat teguran dari Yesus. Bukan hanya satu kali, bahkan beberapa kali ia mendapatkan teguran keras atas tindakannya yang ceroboh, dan imannya yang lemah karena hanya bergantung pada kemampuan akal dan ototnya. Kegagalan karena serangan iblis ini membuatnya tidak mampu menikmati pengalaman yang ajaib bersama dengan Yesus, bahkan membuatnya tidak mampu menangkap maksud dan tujuan Tuhan atas dirinya
- Penyangkalan Terhadap Kristus
Tidak ada pengalaman pahit dan paling tragis dalam hidup Petrus kecuali kisah penyangkalan yang dilakukannya terhadap gurunya, ketika Yesus ditangkap oleh pemuka-pemuka agama Yahudi dan tentara Romawi. Rasa takut dan keraguan yang ditimbulkan oleh iblis dalam hatinya terlalu kuat mempengaruhinya, sehingga seolah-olah tidak ada langkah lain yang harus dia ambil kecuali menyangkal imannya.
Perasaan aman dalam zona nyaman yang selama ini ia rasakan/alami telah menggerogotinya sehingga lebih baik memutuskan untuk menghindar dan melarikan diri dari pada ditangkap dan bersama-sama dengan Yesus dianiaya. Iblis begitu kuat mencengkeram hidupnya sehingga justru dalam situasi-situasi genting dan kehadirannya sangat dibutuhkan oleh Yesus, justru ia meninggalkanNya.
- Penyesalan Yang Sangat Dalam
Rasa bersalah Petrus ditampilkan dalam beberapa peristiwa, meskipun tidak secara eksplisit disampaikan dalam Alkitab, namun betapa Petrus menyesal oleh karena gagal memahami misi Yesus sehingga ia ingin menyelamatkanNya dari konspirasi pembunuhan, melarikan diri dalam kisah penangkapan, bahkan kembali kepada profesinya semula pasca kebangkitanNya. Penyesalan yang sama juga yang membuatnya merasa tidak layak jika hanya mati dengan cara yang sama dengan Kristus melalui salib, sehingga meminta untuk disalib dengan posisi terbalik di kota Roma. Tentu peristiwa-peristiwa ini bukan hanya luapan emosional yang sifatnya insidental, melainkan akumulasi dari kekecawaan yang begitu banyak dan menumpuk yang ia alami semenjak mengikut Kristus. Bukan kecewa kepada Kristus karena harapan Petrus tidak mampu Ia realisasikan, tetapi kekecewaan terhadap diri sendiri karena ketidak mampuannya dalam memahami dan mengerti maksud Tuhan dalam dirinya.
- Keputusan Melarikan Diri Dari Pelayanan
Peristiwa kembalinya Petrus kepada profesinya semula semenjak kebangkitan Yesus, yaitu sebagai nelayan mungkin saja hanya di ceritakan oleh Yohanes (21:1-14) namun kisah ini menjadi sangat menarik karena di tengah kabar sukacita atas kebangkitanNya, bahkan ia juga telah mendengar kesaksian dari malaikat mengenai kebangkitan tersebut seharusnya membuatnya semakin teguh dalam berpegang pada pengharapan kepada gurunya yang telah menunjukkan kedahsyatan kuasaNya tersebut. Petrus justru seolah mengalami antiklimaks dalam panggilan pelayanannya, berusaha mundur dan kembali pada kegiatan masa lalunya. Mungkin Petrus berfikir untuk memulai lembaran baru kehidupannya dan menganggap pengalaman selama tiga tahun bersama Yesus sebagai kenangan indah namun hanya semu belaka karena kini ia harus menjalani hidup sebagai manusia biasa lagi, sebagaimana orang kebanyakan. Suatu dampak dari serangan iblis yang sangat sering terjadi dalam kehidupan hamba Tuhan masa kini, meninggalkan pelayanan karena segala harapan dan ambisinya tidak tercapai.
F. Karya Tuhan Dalam Pembebasan dan Pemulihan
Meskipun seringkali Petrus jatuh bangun dalam pencobaan, namun sesering itu pulalah Tuhan Yesus menunjukkan kasihNya dengan memberikan kelepasan. Dengan berbagai cara dan strategi Ia berusaha membangkitkan Petrus dari kegagalannya dan berupaya mendorongnya untuk bertumbuh sebagai pengikut-pengikut Kristus yang unggul
1. Yesus Berinisiatif Mencari & Memulihkan
Dalam kejatuhannya, terutama pengunduran Petrus dari panggilan pelayanannya, Tuhan berinisiatif mencari dan memulihkannya (Yoh 21:4-5). Yesus secara khusus mendatanginya dan dengan cara-caraNya yang khas Ia menunjukkan kepada Petrus bahwa betapa berharganya dia bagi Tuhan dan betapa kasihNya sangat besar terhadapnya. Peristiwa ini membuat Petrus tidak mampu lagi untuk berkata-kata namun dalam hatinya telah menyadari kekeliruannya selama ini, sehingga api panggilan itu kembali berkobar dan keputusan untuk kembali ke dalam persekutuan para pengikut Kristus semakin menguat. Komitment baru kini telah ia bangun dan dibuktikan dengan meninggalkan pekerjaannya selama ini untuk selama-lamanya dan menggenapi permohonan Kristus untuk tidak lagi menjadi penjala ikan, melainkan menjadi penjala manusia (Mat 4:19).
2. Yesus Menegur Dengan Keras
Teguran yang keras dan terkesan menyakitkan, juga merupakan salah satu cara Yesus mengajar dan mendidik para muridNya. Yesus sebagai guru agung, sangat memahami saat-saat dimana teguran keras sangat dibutuhkan untuk mengingatkan dan membuat seseorang bertobat. Ketika Petrus lemah iman dalam peristiwa berjalan di atas air, ketika ia bereaksi secara keras menentang pemberitaan kematian Kristus, bahkan ketika Petrus berupaya menghalangi orang-orang yang hendak menangkapNya dengan memotong telinganya, Yesus menegurnya dengan sangat keras. Yesus tidak hanya menyatakan ketidak setujuanNya terhadap tindakan Petrus melalui teguran itu, namun juga ingin mendidiknya agar lebih percaya dan bergantung sepenuhnya kepadaNya, bahkan mau belajar memahami misi yang sedang dan akan diembannya kelak dikemudian hari.
3. Yesus Mengkonseling & Mendampingi Secara Pribadi
Kedekatan Petrus dengan Yesus tidak serta merta membuatnya selalu berhasil dalam memahami rencana dan pengajaran gurunya tersebut. Kegagalan demi kegagalan ia pernah alami dan berbagai cara telah Yesus lakukan untuk memulihkan hidupnya. Cara yang paling sering dipakai olehNya dalam membentuk Petrus adalah mengkonseling dan mendampinginya secara Pribadi. Yesus beberapa kali mengajak Petrus secara pribadi berbincang-bincang untuk mendidiknya dalam berbagai hal misalnya saja, dalam peristiwa pemuliaan Yesus di gunung (Mat 17:1-13), pertanyaan yang diajukan kepadanya mengenai siapa Kristus (Mat 16:16), peringatan tentang tugas penggembalaan kedepan (Yoh 21:1-14) dan beberapa peristiwa lainnya. Yesus benar-benar menyadari karakteristik Petrus dan betapa berat panggilan pelayanannya kelak dikemudian hari, sehingga Ia harus terus mendampinginya dan memotivasinya agar terus bertumbuh dalam iman dan pengharapan kepada Tuhan.
4. Mengkuduskan Sifat dan Talenta Petrus
Karakter Petrus yang temperamental, berkemauan keras, ceplas-ceplos seringkali membuatnya jatuh dalam pencobaan, namun ketika Tuhan menyempurnakan karya keselamatan melalui pencurahan Roh Kudus dalam kisah Pentakosta (Kis 2), maka saat itu pulalah Tuhan mentahbiskan sifat dan talentanya dengan harapan, melalui karakteristik yang ada pada dirinya, Petrus mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat meminimalisasi dampak negatif dari sifat dan talenta yang ia miliki sebelum mengenal Tuhan itu, dan dapat mengoptimalkan dampak positif nya dalam pelayanannya.
Karya Tuhan ini sangat tampak bahwa pasca peristiwa Pentakosta itu keberanian Petrus, kemampuannya dalam kaitan dengan kemampuan bicara mampu ia kembangkan untuk pelayanan. Hal ini terlihat dalam beberapa peristiwa :
a. Khotbah yang terbuka dan berani sehingga mentobatkan kurang lebih 3000 jiwa (Kis 2:14-40)
b. Melakukan banyak mujizat dan penyembuhan.
c. Keberanian berkhotbah di serambi Salomo (Kis 3:1126)
d. Perdebatan dengan anggota mahkamah agama (Kis 4:1-22)
e. Keberanian menanggung resiko teguran bahkan dipenjara,
f. Dsb.
Bahkan Lukas menceritakan kisah perjalanan karir pelayanan Petrus yang luar biasa itu hampir separuh dari seluruh isi kitab Kisah Para Rasul.
BAB III
Kesimpulan
Pengalaman iblis dalam menjatuhkan begitu banyak tokoh-tokoh Alkitab telah memberikan gambaran yang jelas kepada kita, secara khusus bagaimana ia telah melihat celah-celah yang berupa kelemahan baik yang menyangkut karakter, fisik, maupun kehidupan rohani, serta kemampuannya menerobos masuk untuk mempengaruhi dan menjatuhkan Petrus sehingga bukan hanya cibiran dari rekan-rekan para rasul yang ia dapatkan, namun juga hardikan keras dari gurunya. petrus menjadi tidak mampu mengenal dan memahami visi Tuhan atas dunia dan atas hidupnya. Namun bertolak dari beberapa kegagalan itu, ia bangkit oleh karena pertolongan dan anugerah Tuhan, berusaha menata kembali kehidupannya dan berhasil bangkit menjadi tokoh Gereja sepanjang sejarah Kekristenan.
Kisah masa-masa krisis dalam kehidupan Petrus memberikan pelajaran berarti bagi kita dalam menghadapi strategi serangan iblis terhadap orang-orang percaya,
Pertama, Penyerahan diri secara total segala hidup kepada Allah merupakan kunci dalam menuntup celah guna menghalangi iblis menyerang kita. Baik kelemahan maupun kelebihan kita (fisik, karakter, talenta,dll) dapat dipakai iblis sebagai bumerang untuk menjatuhkan kita, sehingga penyerahan penuh kepada Tuhan, dan pengudusan atas kesemuanya itu sajalah yang memampukan menyikapi dan mempergunakannya secara tepat dan benar.
Kedua, kebergantungan pada hikmat Allah menjadikan panggilan dan pelayanan kita dapat terwujud sesuai dengan kehendak dan visi Allah.
Ketiga, persekutuan yang intim dengan Tuhan adalah satu-satunya rahasia dalam mengalahkan dan mementalkan serangan iblis atas hidup orang percaya. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin lemah pula pengaruh iblis atas dirinya.
[1] lihat penjabaran lengkapnya dalam, John Naisbitt & Patricia Aburdene, Mega Trends : Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an.
[2] J.D Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 2, (Malang : Gandum Mas, 1995)hlm.255
[3] Ibid, hlm. 257
[4] misalnya kitab I clement, Acts of Peter, dan beberapa kitab Apokripa lainnya.
[5] Luke T. Johnson, The Ensiklopedia Americana International Edition,Vol.21 (Connecticut :Glorier Incorporated, 1985),p.801
[6] Everett F.Harrison,et al, Baker’s Dictionary of Theology, (Grand Rapid : Baker Book House, 1988)p.406
[7] John Walvoord, Rob B.Zuck, The Bible Knowledge Commentary : New Testament (America:Victor Books, 1992),P.83
[8] nama Petrus hanya dimunculkan dalam Injil Yohanes 18:10
[9] Meskipun pembahasan pada poin 6 dan 7 ini adalah di dasarkan pada sumber-sumber sekunder, yang oleh banyak ahli diyakini sebagai cerita rekayasa, namun beberapa teolog tidak menyangkal bahwa ada beberapa fakta yang kebenarannya tidak dapat dipungkiri dari cerita-cerita tersebut.
[10] John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996),hlm.498
[11] Tantangan tersebut sering muncul karena perbedaan latar belakang secara sociologis maupun keagamaan, sebut saja, jemaat Kristen Yahudi, yang mengajarkan “Injil lain” kepada Jemaat Kristen Roma non-Yahudi yang terus juga dituntut untuk melakukan Proselite dan mengdopsi adat budaya Yahudi agar keselamatan yang dilakukan oleh Yesus semakin sempurna dalam hidup mereka.
[12] Joh Drane, hlm.498