DOKTRIN TENTANG MANUSIA
(CHRISTIAN ANTROPOLOGY)
Mungkin sempat terbersit dalam pikiran kita suatu pertanyaan mengapa pengajaran tentang manusia ini penting dalam teologia Kristen? bukankah sebenarnya secara eksplisit maupun implicit ajaran-ajaran tersebut sudah banyak dibahas dalam doktrin-doktrin Kristen lainnya ? misalnya saja dalam doktrin soteriologi dan hamartologi yang paling banyak menekankan pengajaran tentang nature manusia. Penulis menyadari betul bahwa dalam seluruh rangkaian doktrinal dalam teologia kita sudah mencakup bahkan saling terkait di antara satu dengan yang lainnya, namun pembahasan secara khusus tentang doktrin ini sangat penting, berdasakan pada beberapa pertimbangan berikut ini
1. Doktrin ini penting karena sangat berkaitan dengan doktrin lainnya.
2. Doktrin ini perlu dibahas secara khusus, karena sekarang ini banyak pengajaran tentang manusia yang ditinjau dari perspektif multi disiplin ilmu.
3. Doktrin ini sangat penting berkaitan dengan krisis yang sedang melanda pengertian manusia itu sendiri.
4. Doktrin ini sangat penting karena pemahaman kita akan sangat mempengaruhi bagaiman kita akan melayani, konsepsi kita tentang manusia dan tujuannya akan mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan mereka dan apa yang sedang kita cari untuk melakukan sesuatu bagi mereka.
A. Pengertian
Dalam konteks teologia Kristen, anthropologi teologis mengacu pada suatu studi terhadap “manusia” yang dikaitkan atau dihubungkan dengan Allah, inilah yang membedakannya dengan konsep anthropologi dalam konteks umum yang biasanya lebih menekankan studi perbandingan antara keadaan fisik dan karakteristik social dari manusia sepanjang zaman dan tempat.
Satu aspek mendasar dalam studi tentang kodrat manusia, yang seringkali dipahami sebagai nature alamiah manusia, adalah penekanan pada hubungan antara unsure-unsur pembentuk dari manusia, yaitu tubuh, jiwa dan roh, yang merupakan satu kesatuan utuh seperti digambarkan dalam Kitab suci. Sekarang ini dalam teologi Kristen sendiri ada tiga pandangan tradisional yang memahami konstitusi pembentuk manusia tersebut secara berbeda, yaitu trkotomi, dikotomi, dan monisme.
Trikotomi memahami bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh, dikotomi meyakini manusia hanya meliputi aspek materiil dan non materiil, sedangkan monisme lebih menekankan pada keutuhan manusia. Lebih lanjut tiga teroi tersebut akan dibahas dalam bagian lain.
- Asal Mula Manusia
Alkitab secara jelas memberikan sebuah informasi tentang proses penciptaan secara gmblang dalam kitab kejadian pasal 1 dan 2, namun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan permasalahan teologis yang sangat besar terhadap keyakinan keagamaan ini, terutama berkaitan dengan asal-muasal manusia. Teori evolusi dengan segala argumentasi dan evidensi telah mengemukakan bahwa kepercayaan Kristen selama ini seolah-olah hanyalah sebuah mitos atau dongeng belaka. Charles Darwin, melalui bukunya “The Origin of Species” mengemukakan suatu teori bahwa penciptaan alam semesta terlepas sama sekali dari unsur-unsur supranatural. Dunia terbentuk melalui suatu proses yang panjang, manusia adalah hasil dari sebuah proses seleksi alam dan gerak progresif dari makhluk yang lebih sederhana. Intinya Allah tidak terlibat dan tidak terkait dengan alam semesta dan jelas implikasinya adalah bahwa manusia tidak harus bertanggung jawab kepada Allah atas apapun juga.
Guna menjembatani pandangan tradisional yang berpegang teguh pada pengajaran Alkitab yang mengajarkan bahwa alam semesta adalah merupakan karya Allah selama enam hari masa penciptaan dengan teori-teori science modern, maka munculah pengajaran “Evolusi teistik” atau humanistic, yang berpandangan bahwa Allah telah memulai penciptaan itu melalui proses evolusi dan Allah terus malakukan supervisi terhadap proses itu. Teori ini menerima seluruh penemuan ilmiah dan usaha-usaha untuk mengahronisasikan hipotesa evolusi dengan Alkitab.
Pengajaran evolusi teistik mendatangkan suatu masalah yang sangat besar karena :
a. Jika manusia adalah hasil dari sebuah Evolusi maka, Adam bukanlah pribadi yang histories, sehingga analogi anatar Adam dan Kristus dalam Roma 5:12-21 sangat tidak benar.
b. Pandangan bahwa manusia berasala dari nenek moyang yang bukan manusia akan bertentangan dengan Kej 2:7.
c. Pemberian gender sangat jelas sebagai karya penciptaan langsung oleh Allah seperti dalam Kej 1:27, bukan merupakan hasil evolusi.
- Komponen Pembentuk Manusia
1. Tubuh/Body
Tubuh (Greek σῶμαsoma) merupakan corporal atau aspek fisik dari seorang manusia. Kekristenan telah memiliki keyakinan tradisional bahwa tubuh akan dibangkitkan pada akhir zaman. Tubuh merupakan aspek yang terdiri dari unsure-unsur material
2. Jiwa/soul
Istilah jiwa, secara sematik berasal dari bahasa Alkitab yang diambil dari bahasa Ibrani “nepes” yang berarti “breath” atau “breathing being” . kata ini tidak bermakna sebagaian dari makhluk yang hidup, melainkan suatu keseluruhan atau kehidupan fisik. Dalam Septuaginta kata nepes paling banyak diterjemahkan sebagai psyche (ψυχή) kecuali dalam kitab Yosua yang diterjemahkan sebagai empneon (ἔνμπεον).Perjanjian baru mengikuti terminology Septuaginta dengan menggunakan kata “psyche” yang artinya sebuah kekuatan yang tidak tampak yang memberikan hidup dan dorongan terhadap tubuh.
Pengajaran para bapa Gereja, sekitar akhir abad kedua menyatakan bahwa jiwa dipahami lebih menekankan makna dari istilah Yunaninya dari pada Ibraninya, dan itu sangat bertentangan dengan tubuh. Pada abad ketiga oleh pengaruh Origenes doktrin keabadian dari jiwa dengan nature ilahinya semakin dikokohkan. Origen juga mengajarkan tentang perpindahan jiwa dan preeksistensinya, namun paham ini kemudian ditolak pada tahun 553 oleh Fifth Ecumenical Council . keabadian yang melekat pada jiwa diterima baik oleh teolog barat maupun timur pada abad pertengahan, dan sesudah reformasi yang dibuktikan dalam the Westminster Confession.
Disisi lain, beberapa tokoh Protestan modern mengadopsi pandangan “conditional immortality”, misalnya Edwar Fudge dan Clark Pinnock, walaupun demikian mayoritas tokoh Kristen masih berpegang teguh pada doktrin tradisional. Pada akhir decade ke enam, conditional immortality atau “immortality by grace” (κατὰχάρινἀθανασία, kata charin athanasia) secara luas diterima oleh teolog ortodoks timur.
3. Roh/Spirit
Roh dalam bahasa Ibrani disebut “ruach” yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani “Pneuma”, adalah komponen immaterial yang sering dipakai secara bertukaran dengan istilah jiwa “psyche” meskipun teori trikotomi yakin bahwa roh sangat berbeda dengan jiwa. Karena roh memiliki kualitas dan fungsi yang lebih tinggi.
C. Seputar Tiga Teori
1. Teori Dichotomi
istilah dikotomi berasal dari bahasa Yunani “dicha” yang artinya dua dan “temno” artinya memotong, jadi artinya manusia adalah keberadaan yang terdiri dari dua bagian. Kekristenan tradisional memandang bahwa manusia terdiri dari dua aspek atau komponen saja, yaitu material (tubuh/daging) dan non material (jiwa atau roh). Jiwa atau roh akan meninggalkan tubuh saat mati dan akan bersatu kembali dengan tubuh pada saat kebangkitan.
Dukungan terhadap teori ini adalah dari Kej 2:7, ketika Allah menciptakan manusia dari debu dan meniupkan nafas sehingga menjadi makhluk yang hidup (bdg Ayub 27:3). Selain itu beberapa kali teks Alkitab menggunakan antara istilah roh dan jwa secara bergantian untuk menunjukkan suatu obyek yang sama misalnya dalam Kej 41:8; Maz 42:6, Ibrani 12:23, dan wahyu 6:9.
2. Teori Trichotomi
Sebagian kecil teolog memiliki alasan yang kuat bahwa manusia diciptakan dengan tiga komponen yang berbeda, yaitu tubuh, jiwa dan roh. Hal ini secara teknis dapat diketemukan dalam beberapa nats Alkitab misalnya dalam 1 Thessalonians 5:23 dan Hebrews 4:12. pandangan ini menyatakan bahwa roh dan jiwa sangat berbeda baik fungsi maupun substansinya. Tubuh dipahami sebagai kesadaran akan dunia, jiwa adalah kesadaran akan diri dan roh adalah kesadaran akan Tuhan. Dukungan terhadap pandangan ini adalah pandangan Paulus terhadap keseluruhan aspek hidup dalam I Tes 5:23. dan I Kor 2:14-3:4.
3. Monisme
Kebanyakan teolog modern berpegang pada pandangan yang sedang berkembang, yaitu bahwa manusia adalah kesatuan yang utuh. Inilah yang disebut holisme atau monism. Tubuh dan jiwa adalah komponen dari pribadi yang tidaklah dapat dipisahkan, melainkan hanyalah dua penampakan yang semuanya adalah satu. Alasan ini merupakan alasan yang sangat dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan pengajaran bahasa Ibrani, karena dualisme antara tubuh dan jiwa adalah ciri khas dari filsafat Yunani dan pengajaran Platonisme. Monism juga menampakkan konsistensinya dengan “neuroscience” modern yang menyatakan apa itu yang disebut sebagai “fungsi tingkat tinggi” dari pikiran yang erat terkait dengan otak.
D. Manusia Sebagai Gambar dan Rupa Allah
Alkitab mengajarkan sesuai dengan Kejadian, bahwa manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, makna dari istilah ini dipahami secara beragam oleh beberapa tokoh dan kelompok tertentu.
1. Pemahaman Para Bapa Gereja
Athanasius (373) memahami gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia sebagai keadaan manusia yang berakal budi. Kemampuan berfikir manusia merupakan refleksi dari Allah yang berfikir dan memiliki kecerdasan intelektual, pada Tahun 397, Ambrosius mengemukakan pandangannya yang justru meyakini bahwa gambar Allah itu, berkaitan dengan jiwa manusia, bukan intelektualitasnya. Augustinus(430) mengembangkan konsep ini lebih luas dengan mengajarkan bahwa konsep ini berkaitan dengan tiga kesanggupan batin yang ada pada diri manusia, yaitu ingatan, akal budi, dan kasih, yang merupakan refleksi dari hakekat Allah Tritunggal.
2. Pandangan Roma Katholik
Pandangan Katholik cenderung membedakan antara gambar dan rupa. Gambar merupakan gambaran alamiah milik manusia sebagai makhluk yang diciptakan termasuk di dalamnya aspek rohani, kehendak bebas, dan hakekat kekekalan, sedangkan rupa merupakan gambaran moral yang bukan milik manusia ketika manusia diciptakan, melainkan sebagai atribut tambahan, misalnya kebenaran dan kekudusan, sehingga ketika manusia jatuh ke dalam dosa maka rupa Allah itu hilang dan gambar Allah masih tetap dimiliki. Melalui sakramen-sakramen yang dilakukan oleh Gereja maka rupa itu dapat di peroleh kembali.
3. Pandangan Injili
Kaum Injili berpendapat bahwa rupa Allah adalah keseluruhan dari diri manusia, yaitu kehidupan, intelektualitas, kehendak, dan moralitasnya. Beberapa teolog Injili berkeyakinan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang fundamental antara pengertian gambar dan rupa, sehingga tidak perlu lagi mencari-cari perbedaan di antara keduanya.
Istilah Gambar Allah dalam istilah Ibraninya “Tselem /Greek : eikon, sedangkan Rupa dipakai kata Demut/Greek : homoiosis, yang selanjutnya bermakna “likeness” untuk beberapa abad dipahami sebagai karakteristik kepribadian manusia, yang setelah kejatuhannya dalam dosa, semuanya itu terhilang atau dirusakkan. Pada abad 16 beberapa sarjana Yahudi menyimpulkan bahwa kedua kata tersebut sebenarnya sinonim, tapi oleh karena tradisi kuno, pemahaman yang sudah terlanjur tertanam itu terbawa terus dalam memahami bahwa gambar Allah itu merupakan kemampuan pikiran manusia dalam membedakan antara yang jahat dan yang baik.
Memang sangat tidak mudah kita membuat suatu rumusan yang baku mengenai konsep gambar dan rupa Allah ini, tetapi beberapa teolog akhir-akhir ini telah memberikan suatu gambaran yang dapat membantu kita dalam memahami konsep tersebut, misalnya pandangan yang mengatakan bahwa
The image (likeness of God refer to a permanent aspect of our created nature which was not affected by the fall. It is the special characteristic of the human race, which distinguishes us from other cratures and make our salvation a matter of supreme concern to God. At the same time the word image is often used in the New Testament so as to allude to the creation account in Genesis, without specifically referring to it.[1]
Desmond membantu kita dalam memahami konsep gambar Allah sebagai aspek permanen yang merupakan karakteristik manusia, yang membedakannya dengan ciptaan lainnya, namun membingungkan kita dalam kaitannya dengan pemahamannya yang menyatakan bahwa kondisi dari gambar itu tidak terpengaruh oleh kejatuhannya.
Pandangan Hodge dapat membantu kita memahami konsep tersebut secara komperehensif bahwa makna gambar Allah memiliki dua aspek yaitu aspek konstitusional dan aspek moral, selanjutnya ia menjelaskan “Now when God made man in His own image, He made the spirit rational and moral and made it capable of free will”[2] sehingga saat manusia jatuh ke dalam dosa seluruh gambaran Allah dalam dirinya tidak hilang secara keseluruhannya, namun hanya aspek moralnya saja karena aspek konstitusionalnya tidak akan pernah hilang
This constitutional image of God never was lost, and never will be lost. But beside this, created Adam in the moral image of God that is in knowledge, rightousness, and true holiness, so that the new created man was in the image of God. And when we take on the new man in Christ Jesus we take on His image, as in the creation-that is, by regeneration. It was the moral image of God which was implanted in the will which made Adam holy and good.[3]
Sehingga menurut AA Hodge, jika manusia ingin kembali kepada gambarannya yang semula ia harus mengalami kelahiran kembali dalam Yesus Kristus, sehingga menjadi manusia yang baru karena gambaran Allah itu diimplantasikan dalam dirinya.