Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 14. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 14. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 Mei 2021

Kontekstualisasi Teologi

 

USAHA KONTEKTUALISASI TEOLOGI

 

A. Mengapa perlu kontekstualisasi ?

            Usaha kontekstualisasi sebenarnya telah diprakarsai oleh Allah sendiri ketika Ia mengirimkan AnakNya ke dunia, berinkarnasi menjadi manusia yang dikenal sebagai Yesus Kristus dengan satu tujuan penting yaitu mengkomunikasikan maksudNya kepada umatNya (Ibr 1:1-2), yang kemudian juga diikuti oleh para Rasul dalam setiap pelayanannya dalam rangka mengemban amanat Agung Yesus Kristus. Joseph Tong menyatakan bahwa secara sederhana, Gereja Kristus dan beritaNya dimulai dengan penegasan tentang kontekstualitas dari inkarnasi Kristus. Lebih jauh lagi bahwa Kristus mengkontekstualkan diriNya sendiri dalam peristiwa-peristiwa pekabaran dan pekerjaan injil. Injil kemudian diberitakan melintasi segala rintangan georafis sampai ke ujung dunia. Begitulah dikatakan bahwa peristiwa/proses pengkontektualisasian sejelas kristal.[1]

            Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh kita akan menemukan fakta bahwa dalam proses pengabaran injil dalam situasi apapun, saksi-saksi Injil secara sadar berusaha untuk membuat Injil dan artinya lebih mudah dimengerti oleh pendengar dan dalam setiap perkembangan zaman terjadi perubahan pola pikir sehingga proses terjemahan Alkitab maupun penafsirannyapun juga berubah, sehingga di dalamnya terjadi kontektualisasi dalam kapasitas tertentu.  Bagi Eka Darmaputera teologia memang harus kontekstual, karena di dalamnya mengandung konteks.

            Meskipun kontektualisasi sangat penting dan tidak dapat dihindari namun hal ini tidak berarti bahwa dalam proses penginjilan hal ini merupakan syarat awal yang mutlak harus ada, karena berhasil dan tidaknya suatu penginjilan bukan ditentukan oleh kontekstualisasi maupun dekontektualisasi, melainkan suatu presentasi Firman yang sederhana dan apa adanya karena tidak ada seorangpun dapat datang kepada Yesus jika bukan Allah sendiri yang menariknya (Yoh 6:44).[2]

 

B. Apakah “Kontekstualisasi” itu ?

Istilah kontekstualisasi ini pertama kali dicetuskan melalui terbitan Theological Education Fund (TEF), lembaga yang diprakarsai oleh International Missionary Counsil. Dari dokumen-dokumen TEF kita diberikan suatu informasi bahwa kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih dalam dari itu. Kontektualisasi berkaitan dengan penilaian terhadap konteks-konteks dalam dunia, sehingga kontekstualisasi itu sendiri menandakan kepekaan baru terhadap kebutuhan penyesuaian pemberitaan Injil terhadap konteks budaya. Itulah konsep awal kontekstualisasi, namun istilah dan makna tersebut belum mendapatkan kesepakan dari kalangan kaum Injili sendiri karena kebanyak kaum Injili bersepakat bahwa baik di Timur, maupun di Barat orang Kristen bertugas untuk membiarkan Alkitab menafsirkan Alkitab, mereka harus mengijinkan Alkitab bicara dalam konteksnya sendiri, menilai dan menghakimi mereka dan kebudayaan mereka.[3]

 

C. Kontekstualisasi Teologi di Tengah Kemajemukan Dunia

Beberapa tokoh Injili dengan tegas menolak kontekstualisasi, karena kontekstualisasi sebenarnya akan mencabut suatu kebenaran hakiki dari penyataan iman yang murni, namun demikian ada banyak tokoh juga yang dengan pertimbangan pemikiran yang matang menerima kontektualisasi, mereka beralasan  bahwa setiap usaha berteologi secara kontekstual tidak boleh digeneralisir sebagai usaha mengorbankan kebenaran iman Kristen demi konteks dunia yang plural dan dinamis. Usaha teologi harus tetap berpegang pada kebenaran secara utuh agar setiap orang dapat menikmatinya secara apa adanya dengan cara dikomunikasikan dalam pemahaman mereka. Oleh karena itu teologi Injili menurut Donald G.Bloesch harus menghubungkan nilai-nilai kekekalan dalam karya penebusan Kristus dengan pergumulan hidup sehari-hari[4] tanpa menghilangkan ortodoksi dari Injil itu sendiri. Togardo Siburian mengatakan bahwa tugas teologi injili adalah mengkontekstualisasikan kerugma doctrinal di dalam pergumulan umat sehari-hari agar dapat memahaminya menurut pemahaman mereka (in loco).[5] Pada intinya kita akan dibawa kepada pemahaman bahwa berteologi secara kontekstual di sini tidak lain dari usaha untuk memikirkan pendaratan kekristenan dalam konteks kehidupan manusia beserta segala aspek hidupnya sehari-hari.

Memang setiap usaha berteologi merupakan suatu upaya yang dinamis dan akan terus bersentuhan, dan tidak akan pernah terlepas dari benturan-benturan antar budaya, Charles H.Kraft mengungkapkan suatu statement bahwa

Theologizing is a matter of dynamic-equivalence transculturation and of witness to Christianity in terms of culture. All theologizing is culture-bound interpretation and communication of God’s revelation. Good theologizing is spirit led, even though culture-bound. In spite of the impression often given that theology is an absolute, once for all kind of thing, theologizing is a dynamic, continous process. Static, once for all theologies are dead theologies. Dynamic-equivalence theologizing is the reproducing in contemporary cultural contexs of the theologizing process that Paul and other scriptural authors exemplify.[6]

Sehingga setiap teologi yang sehat adalah hasil dari setiap usaha berteologi secara dinamis yang mempertimbangkan konteks budaya kontemporer dan sebenarnya tak ada satupun teologi yang terbebas dari suatu pengkontekstualisasian, atau dengan istilah lain semua teologi merupakan produk dari sebuah kontekstualisasi, oleh karenanya Robert McAfee dengan tegas mengatakan bahwa “all theologies are contextually conditioned, there is nothing wrong with theology being contextually conditioned”.[7]

 

 

 

 



[1] Joseph Tong, Jurnal Teologi Stulos : Katholiksitas Dan Kontektualitas Gereja Dalam Hermeneutika, (Bandung : STT Bandung, 2006),hlm.4

[2] Luther pernah berkata “I simply read, teach and preach  the word, I did nothing but God do everything”

[3] Sebagai bahan pembanding bdg, David J.Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004

[4] Donald G.Bloesch, Essentials Of  Evangelical Theology, 2 vols.(San Fransisco: Herper, 1978),p.1-4

[5] Togardo Siburian, Op cit,hlm.19

[6] Charles H.Kraft, Christianity In Culture : A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural Perspective, (New York : Orbis Book, 1979),p.291

[7] Robert McAfee Brown, The Rootedness of All Theology : Christianity in Crisis, (n.p : n.p, 1977),p.170


Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...