Identitas buku :
Judul : Agama Dan Kerukunan
Penulis : A.A.Yewangoe
Penerbit : BPK Gunung Mulia
Tahun : 2002
Jumlah Halaman : 273 hal
Garis Besar Isi :
Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang secara umum mengetengahkan sebuah kondisi kehidupan keagamaan baik secara ideal maupun praksis secara khusus dalam konteks masyarakat yang majemuk di Indonesia. Empat belas topic yang saling terjalin membentuk sebuah benang merah yaitu berkaitan dengan agama-agama dan kerukunan yang meskipun secara historis ada beberapa tulisan memuat sebuah kondisi kehidupan di masa lalu yang sudah tidak lagi relevan, namun memberikan sebuah gambaran umum akan sebuah kondisi yang memperihatinkan.
Bagian pertama mengarahkan pikiran pembaca kepada sebuah keberadaan dan fungsi agama dalam suatu Negara yang demokratis. Pada bagian ini penulis mencoba mengkaitkan idealism sebuah esensi pengajaran dari sebuah agama dengan praksisnya dilapangan yang seringkali justru bersifat kontradiksi.
Bagian kedua meyoroti peran mahasiswa sebagai suatu komponen suatu bangsa dan generasi muda yang sangat strategis perannya dalam menciptakan kehidupan keagamaan yang lebih baik dimasa mendatang. Secara historis peran mereka ini sangat signifikan dalam membangun sebuah perubahan dalam konteks social politik.
Bagian ketiga membahas beberapa upaya atau langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam membangun sebuah bingkai berteologia dalam konteks pluralitas di Indonesia secara yuridis maupun implementasinya dalam masyarakat.
Bagian keempat menyoroti persoalan-persoalan keagamaan yang telah dan sedang terjadi dalam perspektif Teologia Kristen, serta bagaimana seharusnya kekristenan menyikapi masalah-masalah keagamaan ini secara bijak.
Bagian kelima memuat sebuah ajakan untuk berusaha memahami pokok-pokok pengajaran agama lain sebagai sebuah upaya membangun sebuah paradigm baru dalam perpektif keagamaan masyarakat di Indonesia sehingga tercipta kerukunan dan toleransi antar umat beragama.
Bagian keenam membahas signifikansi dan urgensi kerukunan keagamaan di tanah air Indonesia yang secara factual belum menunjukkan sebuah gerak progresif seperti yang kita harapkan karena di lapangan masih terus terjadi konflik keagamaan yang sangat memperihatinkan.
Bagian ketujuh lebih cenderung seperti sebuah refleksi keagamaan berkaitan dengan kemungkinan keberbedaan agama yang dapat dipersatukan melalui sebuah kegiatan berdosa bersama, serta keberatan-keberatanya.
Bagian kedelapan merupakan sebuah prediksi terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia dimasa mendatang, ketika kita memasuki sebuah era baru yaitu era liberalisasi serta bagaiman seharusnya Gereja mempersiapkan sebuah antisipasi terhadap dampak-dampak buruk yang mungkin saja terjadi.
Bagian kesembilan menfokuskan pembahasan pada peran agama dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian antar umat beragama karena pada hakikatnya agama secara autentik dan luhur seharusnya memberikan kesejukan kepada umat manusia.
Bagian sepuluh merupakan bagian yang paling singkat, memuat sebuah seruan agar kebersamaan umat beragama harus dibangun dan keadilan harus ditegakkan sesuai dengan ideology bangsa yaitu pancasila.
Bagian sebelas membahas tanggung jawab Gereja dalam pembangunan politik Indonesia yang menyoroti peran Gereja yang seharusnya berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai sebuah kekuatan moral dan inspirator etik yang terus mengawasi dan mencerahkan dari kesesatan politik.
Bagian keduabelas adalah sebuah pembahasan panjang tentang karakteristik ata keunikan Kristus dari perpektif kemajemukan agama-agama. Tulisan ini dianggap penting dalam kaitannya menyediakan landasan teologis bagi upaya membangun hubungan social kemasyarakatan dalam konteks pluralism di Indonesia.
Bagian tigabelas adalah refleksi teologis terhadap teologi salib dalam konteks Indonesia yang sangat rentan dengan konflik kegamaan. Teologi salib ini seharusnya menjadi milik semua agama dalam menjalankan seluruh ajaran-ajaran keagamaan masing-masing.
Bagian empatbelas memuat sebuah pembahasan mengenai desakan untuk melakukan konstruksi agama-agama dalam memasuki millennium baru.
Tanggapan :
1. Tulisan ini harus kita akui mengungkapkan kebenaran-kebenaran prinsipil berkaitan dengan problematika kehidupan social secara khusus dalam konteks pluralitas di Indonesia, penulis secara jujur menelanjangi kelemahan-kelemahan agama-agama dalam menyikapi berbagai konflik yang terjadi baik yang berkaitan langsung dengan umatnya sendiri maupun tidak langsung. Menurutnya “agama-agama arus utama cenderung bertindak sebagai yang mempertahankan orde yang ada betapapun korupnya orde itu, bahasa teologisnya agama-agama segan memperdengarkan suara kenabiannya…” (hlm 8) pengamatan penulis terhadap fakta ini tidak dapat kita abaikan karena fakta di lapangan membuktikan hal itu karena agama-agama cenderung bersifat politis dan ekonomis. Agama seolah tidur dalam “zona nyaman” dan tidak memberikan solusi yang berarti bagi kehidupan social yang sedang menghadapi krisis. Jika agama seringkali menjadi factor konflik seharusnyalah agama itu sendiri juga bertugas dalam penyelesaiannya “If religion has been such a big part of humanity’s problems, surely it also must be a part of the solution. In order to ponder this question and seek a common understanding to its solution, Kind Abdullah of Saudi Arabia has taken the lead. He brought interfaith leaders in Madrid to begin a dialogue for this purpose. Many prominent leaders of the faith community gathered and agreed that there was enough in common among different group of people to put aside their differences and work for the common good”[1]
Agama secara moral seharusnya ikut bertanggung jawab atas krisis social yang sedang terjadi, penulis setelah melakukan sebuah pengamatan cermat secara historis berkesimpulan bahwa agama dapat berfungsi sebagai pencetus dan pendorong rasa nasionalisme atau kehidupan berbangsa dan bernegara (hal 19), artinya jika kehidupan beragama diarahkan secara tepat maka bukan hanya kerukunan yang terjalin namun cita-cita bangsa ini juga akan terwujud seperti pernyataan Hans Kueng “peace among the religions is the prerequisite for peace among the nations”[2].
2. Dalam hampir keseluruhan buku ini penulis mengungkapkankan bahwa upaya-upaya untuk melakukan penanggulangan dan pencegahan terhadap konflik keagamaan melalui upaya program social seperti pencanangan “Tri Kerukunan”tidak menampakkan hasil yang memuaskan sehingga penulis berpendapat bahwa memajukan kehidupan yang rukun adalah prasyarat mutlak (hlm 30), namun kita harus sadari bahwa solusi ini bersifat sangat kognitif. Masyarakat sebenarnya memahami bahwa membangun kerukunan adalah penting, namun seharusnya setiap agama atau pemerintah tidak boleh berhenti pada indoktrinasi kognitif semata namun seluruh orientasi afektif dan psikomotoris harus juga dilibatkan. Di sisi lain ada factor-faktor social yang seharusnya menjadi perhatian kita jika ingin mengeliminasi segala bentuk konflik, misalnya peningkatan sumber daya manusia dan ekonomi. Seringkali kebodohan dan kekurangan secara ekonomi menjadikan masyarakat lebih rentan dipengaruhi/diprovokasi bahkan mudah melakukan tindakan-tindakan nekat dan destruktif , sehingga seharusnya pemerintah dan lembaga keagamaan berjuang dalam meningkatkan SDM. Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat baik yang menyangkut taraf ekonomi maupun paradigm diharapkan semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya kerukunan dan kedamaian, upaya upaya ini dapat ditempuh melalui menyediakan pendidikan yang memadai dan prorakyat kecil juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada ekonomi kerakyatan.
3. Bagian akhir buku ini memuat harapan besar penulis terhadap para pemimpin bangsa untuk dapat mengontrol permasalahan kerukunan tersebut, bahkan kalau kita cermati sampai saat inipun masalah belum ada perkembangan yang signifikan meskipun presiden sudah berganti kepada tokoh yang notabene nasionalis. Kita tidak seharusnya menaruh harapan terlalu besar kepada pemerintah karena justru disanalah perjuangan untuk mempertahankan orde tertentu yang dikuasai oleh kaum mayoritas sedang berusaha untuk tetap eksis. Semua konflik tetap terus terjadi, pengeboman, terorisme dan bentuk-bentuk kegiatan separatis lain juga tetap terjadi. Keseriusan pemerintah dalam membangun kerukunan keliahatan hanya bersifat normative semata, coba kita perhatikan bagaimana respon pemerintah terhadap beberapa organisasi masyarakat (ormas) agama tertentu yang jelas-jelas sangat destruktif dan separatis namun dibiarkan beroperasi bertumbuh dan berkembang di negeri ini. Kita sepatutnya terus mengupayakan perdamaian itu dari bawah dengan mendidik umat dan menanamkan paradigm yang baru.