PENDIDIKAN KRISTEN DALAM PLURALITAS INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi Pendidikan Kristen bukan semata-mata muncul atau di dasarkan pada perintah Amanat Agung Tuhan Yesus (Matius 28:29-30), meskipun secara biblical alasan ini dapat juga dibenarkan, namun pada hakikatnya pendidikan Kristen merupakan esensi kekristenan itu sendiri. Maksud inkarnasi Kristus selain bermakna soteriologis, namun juga terkait dengan misi pedagogis Allah sendiri dalam upaya mendidik, mengajar dan membimbing umatNya agar hidup seturut dengan kehendakNya. Pendidikan Kristen sejak mulanya selalu beroperasi dan berkarya dalam konteks kemajemukan, sehingga jika kita membahas PAK dalam masyarakat majemuk, sebenarnya bukanlah hal yang semata-mata baru.
Dinamika pendidikan Kristen secara historis sebenarnya diperkaya oleh konteks yang mejemuk itu, karena tantangan, hambatan dan peluang-peluang yang ditimbulkannya menjadikan pendidikan ini terus melakukan refleksi, evaluasi dan inovasi untuk menjaga gerak progresifnya. Sejujurnya kemurnian dan keunggulan kekristenan justru teruji dan memancarkan kemurniannya ketika diperhadapkan pada situasi yang secara social, ekonomi dan politis tidak kondusif, seolah-olah menantang dan mengancamnya. Namun demikian ada pekerjaan besar dan berat yang diperhadapkan pada kekristenan dalam kaitannya mewujudkan pendidikan Kristen yang otentik dan alkitabiah tanpa harus menimbulkan sebuah krisis, konflik, bahkan perpecahan dalam masyarakat yang sangat jamak ini.
Indonesia dengan segala kekayaan yang seluas-luasnya, baik yang bersifat material, maupun non material, merupakan tantangan sekaligus peluang bagi pendidikan Kristen dalam mewujudkan tujuan misi, yang merupakan karakteristik kekristenan itu sendiri. kita ditantang untuk memahami serta memanfaatkan karakteristik Indonesia yang majemuk ini sebagai modal potensial yang sangat berarti dalam menciptakan damai sejahtera bagi bangsa, melakukan pembaharuan untuk pendidikan Kristen yang transformative dan misiologis. Dalam tulisan ini akan dibagi menjadi tiga topic utama, pertama pembahasan tentang hakekat dan karakteristik Pendidikan Kristen dari perpektif teologis filosofis, kedua adalah sebuah pembahasan mengenai kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia, serta pembahasan ketiga adalah bagaimana kedua variable tersebut di atas dipertemukan dalam sebuah konteks Pendidikan Kristen.
BAB II
PEMAHAMAN DASAR TENTANG PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Dalam bagian ini akan dibahas tentang hakekat Pendidikan Kristen dari perpektif teologis filosofisnya, sehingga karakteristik dari kekristenan yang otentik dan fundamental tercermin dalam pembahasan berikut ini.
A. PENDAHULUAN
Apakah yang menjadi perhatian dan tugas utama Yesus di dunia ini? merupakan pertanyaan yang sering timbul dalam benak kita. Terlepas dari misi soteriologis Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia, maka jawaban yang seringkali diberikan adalah bahwa Yesus sangat beratensi terhadap masalah pendidikan, oleh sebab itu Ia lebih banyak mengajar atau mendidik. Pekerjaan yang paling sering dilakukan dan sekaligus paling menonjol sepanjang hidup-Nya yang kita ketahui melalui kitab-kitab Injil adalah mengajar[1], oleh sebab itu tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa pekerjaan utama-Nya adalah mengajar, bahkan mengajar itu pun juga menjadi pesan yang terakhir kepada para pengikut-Nya sebelum Ia diangkat kembali ke surga (Mat 28 :19-20). Hal ini membuktikan dan sekaligus menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam perpektif Tuhan Yesus yang menyorotinya dalam dimensi kerajaan Allah itu dilaksanakan dalam setiap kehidupan manusia.
Perhatian Yesus terhadap pengajaran kepada anak-anak juga turut mewarnai konsep pendidikan secara umum yang Ia ajarkan kepada para pengikutNya, sehingga perhatian kita juga harus arahkan kepada pendidikan sebagaimana perhatianNya. Yesus benar-benar concern pada pentingnya pendidikan dilaksanakan secara serius dan hati-hati, bahkan secara tegas Ia pernah menyatakan bahwa barang siapa yang mendidik secara tidak bertanggung jawab maka lebih baik dikalungi batu kilangan di leher dan dilemparkan ke laut.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan ini membuat Gereja dari abad pertama terus terlibat dalam kegiatan belajar dan mengajar, baik dalam lingkup pendidikan umum maupun dalam konteks gerejawi, bahkan ketika dunia membutuhkan pendidikan untuk memperbaiki peradaban, Gereja dan biara-biara tampil menjadi suatu pusat pendidikan, dan tidak sedikit dari tokoh-tokoh Kristen/teolog yang berperan sebagai ilmuwan bukan hanya dalam bidang teologi saja tetapi juga dalam disiplin ilmu yang lain, misalnya saja Kirilus sebagai ahli bahasa bangsa Slavia, Paus Gregorius XIII sebagai seorang astronom, Robert Boyle seorang filsuf sekaligus Scientist, Gregor Johann Mendel seorang ahli bidang hereditas, dan banyak lagi tokoh yang lainnya.
Pendidikan berkembang dengan cepat dan menjadi begitu kompleks, beberapa tokoh di bidang filsafat, pedagogi, psikologi, maupun teologi banyak menanamkan pengaruh sesuai dengan bidang kajiannya, baik itu dalam konteks pendidikan secara umum maupun pendidikan Kristen. Dalam pendidikan yang Kristen sekalipun juga sangat dipengaruhi oleh beberapa pandangan teologi beberapa tokoh Gereja. Fenomena ini memancing begitu banyak pertanyaan, pandangan manakah yang paling Alkitabiah ? pandangan yang manakah yang cocok untuk Gereja saya ? pandangan yang manakah yang relevan untuk pendidikan Kristen pada masa post modern ini ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus menjadi stimulus bagi kita untuk mencoba menemukan rumusan filosofi Pendidikan Kristen yang fundamental, bukan menurut pandangan kita, bukan menurut pandangan Gereja kita, ataupun menurut tren dunia pendidikan masa kini, tetapi semuanya perlu diarahkan kepada kebenaran dan otoritas yang absolut dari Firman Tuhan, dan tentunya tanpa mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari kekayaan penelitian yang telah dihasilkan oleh beberapa tokoh dari disiplin ilmu yang lainnya, sehingga filosofi pendidikan Kristen tersebut terimplementasi dalam suatu proses pendidikan yang benar, relevan dan Alkitabiah. Filosofi pendidikan ini berperang penting dalam menentukan arah dari suatu pendidikan secara khusus dalam konteks Gereja, oleh sebab itu perlu dirumuskan secara luas dan mendalam. “Luas” karena harus melibatkan beberapa pertimbangan dari beberapa pengajaran teologi, dan sekaligus pertimbangan dari multi disiplin ilmu, dan “dalam” karena harus melalui suatu proses penelaahan Firman Tuhan secara hati-hati.
B. KONSEP PENDIDIKAN KRISTEN
Secara umum pendidikan didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[2] Ada perbedaan yang sangat krusial antara pendidikan secara umum dengan pendidikan dalam konteks Kristen. Letak perbedaan itu bukan hanya dari segi definisi saja tetapi juga menyangkut dasar filosofi, tujuan, metode, maupun isinya, sehingga Samuel Sidjabat, tokoh Pendidikan Kristen Indonesia mengutip pandangan Robert W. Pazmino, mengemukakan pandangannya tentang pendidikan Kristen :
Pendidikan Kristen merupakan usaha bersengaja dan sistematis,
ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, terutama dalam Yesus Kristus.[3]
Jika kita memperhatikan definisi tersebut maka akan tampak tiga aspek penting sebagai unsur pembentuk konsep Pendidikan Kristen, yaitu deskripsi, fungsi, dan filosofi. Bertolak pada aspek ini Werner G.Graendorf mengatakan bahwa :
Christian education is..
Descriptive a bible based Holy Spirit empowered (Christ center) teaching learning process
Functional that seek to guide individuals at all levels of growth through contemporary teaching means toward knowing and experiencing God’s purpose and plan through Christ ini every aspect of living, and to equip them for effective ministry.
Philosopic with the overall focus on Christ the master educators example and command to make mature disciples.[4]
Secara deskriptif pendidikan Kristen merupakan proses belajar mengajar yang bersumber dari Alkitab yang dihidupi dan diterangi oleh kuasa Roh Kudus dan keseluruhannya diarahkan dan berpusat pada Kristus, secara fugsional pendidikan Kristen merupakan proses pembimbingan secara pribadi pada segala level perkembangan melalui pengajaran yang relevan dengan maksud anak didik mengetahui dan mengalami tujuan dan rencana Allah melalui Kristus dalam setiap aspek hidupnya dan memperlengkapinya untuk pelayanan yang efektif, sedangkan secara filosofi pendidikan Kristen merupakan pendidikan yang keseluruhannya berfokus pada keteladanan Kristus guru agung dan perintahNya untuk mendewasakan anak didik.
Dari definisi tersebut kita menemukan beberapa karakteristik penting bahwa pendidikan Kristen merupakan pendidikan yang berdasar pada Firman Tuhan, bergantung pada kekuatan dan penerangan Roh Kudus, berpusat pada Yesus Kristus, dengan maksud pendewasaan anak didik (membentuk anak didik menjadi pribadi yang berkembang dan berfungsi secara optimal) yang kemudian berimplikasi pada kehidupan pribadi, kehidupan social dan pelayanannya.
C. PENTINGNYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KRISTEN
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan sangat perlu dilaksanakan dan diberikan kepada setiap manusia, hal ini dipengaruhi oleh konsep tentang manusia sebagai sesuatu pribadi yang utuh. Siapa manusia itu ? jawaban atas pertanyaan ini sekaligus mendasari pentingnya pelaksanaan pendidikan. Manusia pada mulanya diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, yang memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang. Manusia bukan sekedar makluk biologis yang pembentukan mental dan fisiologis terjadi secara mekanis dan kebetulan saja. J.Edward Hakes berpendapat bahwa :
man is not merely a biological being who has the mechanism to make mental and physical adjustment ini relation to his environment. His psycophysical structuredoes not constitute the fullness of his being. On this subject the scripture ia clear when it says in Genesis 1:27 “so God created man in His own image, in the image of Gog created Him…” likewise we read in Genesis 2:7 “then the Lord God formedman of dust from the ground, and breathed into nostrils the breath of life, and man became a living being (RSV).[5]
Secara umum manusia adalah makhluk yang berkembang, yang diciptakan Allah dengan karakteristik yang bervariasi, dan masing-masing berbeda tingkatan perkembangannya antara satu dengan yang lainnya dan itulah yang membuat mereka menjadi pribadi yang sangat unik. Hal ini dijelaskan oleh Warner bahwa :
Learned must be understood as developing people. God has ordined that individuals grow through various stages in life. Each stage contributes to and lays a fondation for the stages that follow. As the individual develops, different kinds of needs or met each stage has its growth, developmental patterns, and characteristics that are generally typical of that stage. However, each individual may display differences in the developmental pattern that make him uniquely an individual.[6]
Tetapi perlu disadari bahwa keadaan ini menjadi rusak oleh karena dosa manusia, sehingga segala potensi maupun karakteristik yang telah diberikan oleh Allah sebelumnya, cenderung mengarah kepada hal-hal yang jahat. Manusia perlu dipulihkan dan membutuhkan penolong yaitu Yesus Kristus yang mampu memulihkan dan membangun kembali gambar dan rupa Allah itu dalam dirinya melalui penebusan. Kaum injili berpendapat bahwa “ Through redemption the marred imago dei is in the process of being restored, and meaningless existence is radically righted”.[7] Bertolak pada fakta yang demikian, maka Pendidikan Kristen perlu dilaksanakan untuk membantu manusia mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Yesus.
D. TUJUAN PENDIDIKAN KRISTEN
Pada dasarnya semua pengajaran bertujuan membuat sesuatu terjadi dalam hidup sang murid atau dengan istilah lain pendidikan menghendaki adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari anak didik, Clarence H Benson mengungkapan hal itu melalui statementnya dengan mengatakan bahwa “ the object of our teaching is to make something happen in life our pupil, the test of our teaching is what happens in life of our pupil”[8]. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pada intinya tujuan pendidikan Kristen ataupun pendidikan secara umum menghendaki terjadinya suatu perubahan dalam hidup anak didik, hal ini memancing suatu pertanyaan yaitu perubahan seperti dan dalam hal apa yang diharapkan terjadi ? Cornelius Jaarsma menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan :
when one has learned, he can do something he could not do before, he knows something he did not know before, he feels for or against something he felt differently toward before, and he want something he did not want before, in short, some change has taken place in one’s behaviour in general that influences him in his relationship to future situation comforting him.[9]
perubahan itu meliputi kemampuan, pemikiran maupun pemenuhan kebutuhan yang kemudian berpengaruh pada keseluruhan tingkah laku secara umum yang berhubungan dengan situasi masa datang yang diperhadapkan pada dirinya.
Pendidikan Kristen sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya dalam hal penetapan tujuan, karena pendidikan Kristen bukan hanya mengutamakan pemindahan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan guru kepada murid saja, tetapi lebih dari pada itu menghendaki adanya transformasi kehidupan guru kepada murid. Lawrence O. Richard menyatakan :
Much education is concerned with helping people know what their teachers know. Christian education is concern with helping people become what their teacher are…we are concern about transformation, we teach to communicate and to build up the lift of God which faith in Christ plans firmly in the believer. In Christian education seeks to support a process of growth; the gradual growing up of believer into Christ and into ever more adeguate representation of His character.[10]
Pendidikan Kristen bertujuan membangun kehidupan anak didik menuju kematangan pada tingkat tertentu yaitu suatu proses menuju kepada keserupaan dengan Kristus (Christlikeness). Hal ini (tujuan pendidikan) juga diungkapkan oleh Kenneth O.Gangel yang dapat kita lihat melalui penjabarannya mengenai dasar pelaksanaan program pendidikan Kristen di Gereja yang isinya sebagai berikut :
1. The church’s educational ministry is carry on by those who are first gifted by God to teach and then given to the church for that purpose.
2. the purpose of the church’s educational ministry is to make God’s people mature so that they can minister. Maturity is an edification or a”building up” process.
3. If the church’s educational ministry is properly carry on, the end resul will be maturity in individual believer and harmonious relationship between the believer collectively. The process of growing into this maturity and harmony is the process of becoming more like Jesus Christ.
4. The church’s educational ministry is highly theological, producing discerning students of truth of who are able-because of understanding of truth-to detect and avoid error.
5. A properly functioning church educational ministry will effectively combine truth and love, and not sacrifice either one on the altar of the other. A mature Christian will be like His Lord, “full of grace and truth”.
6. A properly fuctioning church educational program does not concist only of few teachers and many learners but will actually be carried on for mutual edification as God’s people help each other to grow in spirituality.[11]
Menurutnya pendidikan itu penting karena merupakan karunia Tuhan untuk memenuhi tujuan-Nya, yaitu membentuk umat-Nya menjadi dewasa/matang (Christlikeness), sehingga dapat melayani. Kedewasaan itu juga akan terimplementasi kepada hubungan yang harmonis di dalam kehidupan kelompoknya. Pendidikan itu juga akan menghasilkan murid-murid dalam kebenaran yang mampu (oleh karena pengetahuannya akan kebenaran) menghindari kesalahan/pelanggaran, murid yang penuh dengan belas kasih yang mampu membangun orang lain dalam kehidupan rohani. Dari berbagai pandangan tentang maksud ataupun tujuan yang telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, Eli Tanya menyimpulkannya menjadi enam tujuan, yaitu :
1. Kesadaran akan kehadiran Allah Roh Kudus dalam kehidupan
manusia.
2. Kesadaran akan Kristus dan menghargai pribadi serta ajaran-
Nya.
3. Mengembangkan watak Kristus.
4. Berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat.
5. Berpartisipasi dalam pembangunan Gereja.
6. Menganut falsafah hidup Kristen.[12]
Dari segi isi, tujuan pendidikan Kristen ini pada hakekatnya tidaklah jauh berbeda dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh komisi PAK Dewan Gereja-Gereja Indonesia yang isinya sebagai berikut :
Mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh Kudus ia datang ke dalam suatu persekutuan hidup dengan Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam kasihnya terhadap Allah dan sesamanya manusia, yang dihayati dalah hidupnya sehari-hari, baik dengan kata-kata, maupun perbuatan selaku anggota tubuh Kristus yang hidup.[13]
Dari beberapa penjabaran tujuan pendidikan Kristen tersebut dapatlah kita tarik suatu kesimpulan bahwa tujuan itu tidak hanya berpusat pada kematangan kehidupan rohani (Christlikeness) diri pribadi saja, melainkan kematangan kehidupan pribadi itu juga terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam pelayanan Gerejawi.
E. BAGAIMANA TUJUAN PENDIDIKAN DAPAT DICAPAI
Tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya tidak secara otomatis terwujud di dalam dan melalui suatu proses belajar dan mengajar. Program-program yang disusun untuk mencapai tujuan (goals) perlu dikelola sedemikan rupa sehingga mampu mewujudkan tujuan akhir (aims) yang telah ditetapkan. Perlu adanya kerja keras untuk mewujudkan tujuan tersebut, Eli Tanya berpendapat bahwa tujuan akhir itu bisa dicapai melalui system organisasi atau administrasi yang cermat :
Program-program PAK Gereja atau jemaat haruslah dikelola,
diadministrasi, disupervisi, diorganisasi dan dievaluasi dengan perencanaan yang hati-hati, jikalau Gereja atau jemaat menghendaki hasil yang sebaik mungkin. Kurikulum yang dirancang dengan baik, metode atau teknik yang sesuai dengan kelompok tertentu dan pengetahuan tentang para pelajar cukup, kesemuanya ini tidak memberi keberhasilan yang diharapkan tanpa adanya organisasi atau administrasi pendidikan Gereja yang baik.[14]
System pengorganisasian dan pengadministrasian sangat menentukan tercapai atau tidaknya suatu tujuan. Banyak orang di kalangan Kristen sendiri yang beranggapan bahwa masalah organisasi atau administrasi itu tidak Alkitabiah dan cenderung secular, sehingga penggunaan sistem itu di Gereja atau dalam pendidikan Kristen perlu ditolak. Sebenarnya kita tidak perlu memperdebatkan masalah ini sepanjang organisasi atau administrasi itu menggunakan asas-asas yang Kristiani. Randolf C.Miller menjabarkan asas-asas pengorganisasian Pendidikan Kristen yang alkitabiah menjadi 4 (empat) hal, yaitu :
1). Sederhana : artinya hubungan dari berbagai kegiatan pedagogis dari komisi atau departemen jangan menjadi kacau/tumpang tindih.
2). Fleksibel : artinya sesuai kebutuhan yang ada, maka orang dapat diubahkan untuk memenuhi kebutuhan jemaat/untuk menghindari rutinitas.
3). Penyesuaian : menurut tingkatan atau golongan dengan bermacam-macam kebutuhan.
4). Demokrasi : dimana terdapat prosedur demokratis dan pendelegasian pertanggung jawaban yang menjamin efisiensi pekerjaan.[15]
Pengorganisasian atau pengadministrasian dalam pendidikan Kristen tidak berarti menghilangkan peran Roh Kudus di dalamnya. Roh Kudus tetap memegang peran sentral yang tidak bisa digantikan oleh pribadi dan system apapun. Pendidikan Kristen tidak akan berhasil mencapai tujuannya jikalau hanya bergantung pada hukum-hukum alamiah dan prinsip-prinsip pendidikan secara umum saja, perlu ada karya Roh Kudus untuk menghidupi suatu proses pengajaran
Christian teaching must follow very definite principles. The laws of mind are as fixed as any other law are, and the child in his spiritual growth and development, uses and is dependent basically upon the same mental processes that apply to education in other lines. Though this be true, the teaching of Christian truth does not imply the God exists as a reality : no amount of teaching avails apart from the operation of the Holy Spirit in the heart and life of the one taught.[16]
Pernyataan yang diungkapkan oleh CB Eavey tersebut mengungkapkan dengan jelas bahwa belum cukup jika pengajaran Kristen hanya mengandalkan prinsip-prinsip alamiah saja, perlu keterlibatan Roh Kudus di dalamnya.
Oleh sebab itu untuk mencapai tujuan akhir perlu memperhatikan hal-hal berikut : unsur-unsur pendidikan, visi dan misi, kurikulum, metode, administrasi, serta proses pembelajaran, yang kesemuanya itu dikelola dengan baik dengan melibatkan Roh Kudus untuk mengarahkan sampai terwujudnya tujuan akhir yang dikehendaki.
F. KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KRISTEN
Bagaimana pendidikan memandang konsep tentang manusia sangat menentukan konsep dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Siapa manusia itu dalam pendidikan Kristen ? untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan penelaahan secara hati-hati sehingga pendidikan yang diberikan akan tepat mengenai sasaran sesuai dengan maksud Tuhan. Pada bagian sebelumnya (pentingnya pelaksanaan pendidikan Kristen) sudah dijelaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang mewarisi segala potensi untuk dapat berkembang, seperti yang dikatakan oleh B.Samuel Sidjabat bahwa :
Maksudnya guru dalam perspektif pendidikan Kristen harus memiliki keyakinan bahwa anak didik bukanlah semata makluk biologis, psikologis, sosiologis dan cultural, tetapi terutama bahwa ia adalah makluk religius. Ini sesuai dengan dengan penjelasan Alkitab bahwa manusia diciptakan Allah sesuai dengan “gambar dan rupa-Nya”(kej 2:7). Manusia diciptakan untuk menguasai dirinya sehingga dapat memainkan perannya, mengembangkan segala daya dan potensinya dalam terang kehendak Allah.[17]
Tetapi fokus pendidikan Kristen perlu diarahkan juga kepada suatu fakta teologis bahwa manusia atau anak didik adalah pribadi yang telah berdosa. Gambar dan rupa Allah itu telah hancur, sehingga manusia hidup dalam kegelapan dan dalam keadaan yang tidak berpengharapan. Kenneth O. Gangel mengutip pendapat Torrey mengatakan bahwa ;
The bible teaches us, of course, that man was made in the image of God but that image was marred at the fall. In his classic text, what the bible teaches (revell)….torrey develops seven other propotions and the concludes : the persent standing or condition of man out of Christ is pictured in the bible as dark and hopeless.[18]
Kejatuhan manusia ke dalam dosa ini mengakibatkan kelumpuhan segala potensi dan seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga muncul kecenderungan yang sifatnya negatif dan destruktif. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan Kristen, Samuel Sidjabat juga menyatakan
Meskipun demikian guru tidak boleh lengah. Ia tidak boleh menutup mata terhadap realitas kecenderungan negatif dan destruktif dalam diri peserta didik. Bahkan terhadap kecenderungan negatif dalam diri guru sendiri…kelemahan yang dimaksud mencakup kurang percaya diri, ketakutan, kecemasan, kemalasan, kekerasan hati, atau kedegilan, bahkan kebodohan secara intelektual dan moral. Kita tahu bahwa Alkitab memberi jawaban atas masalah sisi negatif imi karena kejatuhan manusia ke dalam dosa (kej 3). Selanjutnya dosa telah memasuki dan berusaha melumpuhkan secara potensi dan segi-segi kepribadian umat manusia.[19]
Konsep anthropologi dalam pendidikan Kristen harus melihat manusia dari berbagai sisi kehidupannya secara seimbang, oleh sebab itu kita juga perlu mempertimbangkan konsep anthropologi yang Kenneth O.Gangel tawarkan, yaitu “Image Centered” yang dibagun di atas dasar kebenaran yang alkitabiah :
The image approach to Christian anthropology is based on three
biblical truths :
- Man was created in the image of God (Gen 1:26).
- When sin entered the race through Adam, the image of God in man
was marred (Rom 5:19).
- God has provided a means, Christ’s death on the cross, through which man can be restored to salvation and fellowship with god ( I Cor 15:22).[20]
Prinsip itu adalah manusia diciptakan menurut citra Allah, ketika dosa masuk citra itu menjadi rusak, Allah memulihkan keadaan itu melalui karya Kristus di kayu salib sehingga citra itu dibangun kembali sehingga manusia mampu berhubungan kembali dengan Allah, Oleh sebab itu melalui pendidikan Kristen di Sekolah Minggu, manusia atau anak didik dituntun untuk menyadari jati dirinya dan kebutuhannya akan pemulihan dari kondisi saat ini, mempertemukannya dengan Kristus, membimbingnya kepada pengenalan akan Tuhan secara benar, dan bertumbuh kepada kedewasaan iman, sehingga seluruh potensi itu dapat dioptimalkan dalam hidupnya.
G. PENGETAHUAN MENURUT PENDIDIKAN KRISTEN
Istilah pengetahuan tidak dapat dilepaskan dalam konteks pendidikan karena pengetahuan adalah sasaran dilaksanakannya suatu proses pendidikan, namun demikian istilah ini merupakan salah satu istilah yang paling banyak mendatang interpretasi dari para tokoh multi disiplin ilmu dalam sepanjang sejarah. Ada banyak definisi yang dikemukakan baik secara filosofi, pedagogi maupun dari sisi yang lain. Lorens Bagus berpendapat bahwa pengetahuan merupakan
Proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subyek) memiliki yang diketahui (obyek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[21]
Pengetahuan merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu proses (belajar) secara sadar di dalam kehidupan.
Allah telah menunjukkan suatu fakta melalui kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa dalam kitab Kejadian 3, bahwa Iblis telah menawarkan suatu pengetahuan di luar Allah kepada manusia, dan pengetahuan inilah yang membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Fakta prinsipil inilah yang seharusnya dipahami dalam suatu Pendidikan Kristen, bahwa segala daya dan upayanya seharusnya diarahkan untuk mendapatkan pengetahuan seperti yang Allah sendiri janjikan, karena jika tidak, maka iblislah yang akan mengambil kesempatan ini untuk menawarkan suatu pencarian pengetahuan di luar Tuhan yang pada hakekatnya adalah semu.
Dalam konteks kekristenan salah satu ayat penting yang menjelaskan tentang pengetahuan adalah Kitab Amsal 1:7, ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa pengetahuan yang dimaksud adalah hikmat, artinya pengetahuan tentang kebijaksanaan, tentang apa yang seharusnya dicari oleh manusia sebagai pedoman bagi kehidupannya.[22] Untuk mendapatkan itu memang memerlukan suatu proses, tetapi hal yang terpenting adalah usaha atau proses tersebut harus didasari oleh rasa takut akan Tuhan sehingga dalam pendidikan Kristen segala orientasinya harus diarahkan pada rasa takut terhadap Tuhan ini.
H. KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN KRISTEN
Pengertian kurikulum pada awalnya, berbeda dengan pengertian yang kita pahami saat ini. Peter P.Person menjelaskan pengertian itu sebagai berikut :
the word curriculum comes from the latin word ‘curro” which means “to run” the curriculum is thus “race track” educationally speaking it is the ground we must cover in order to reach our goal”. The word curriculum “implies activity, but activity without a goal is merely riding on a merry go round”[23]
kurikulum arti sebenarnya adalah gelanggang pertandingan atau perlombaan yang kemudian dalam pendidikan diberi makna sebagai dasar yang perlu diusahakan untuk menjangkau suatu tujuan.
Dalam konteks pendidikan Kristen, kurikulum merupakan perencanaan yang spesifik dari Gereja untuk menyempurnakan tujuan akhir atau aktifitas guru dan murid yang berhubungan dengan Firman Tuhan demi tujuan membantu murid dalam mencapai kedewasaan secara penuh di dalam Yesus Kristus. “The curriculum of Christian education may be defined as the specific plans of a church agency for accomplishing its aims or as the activities of teachers and pupils in relation to scripture for the purpose of leading pupils toward maturity in Christ”[24]
demikian pandangan yang dikembangkan oleh Louis E Le Bar, bahwa inti dari sebuah kurikulum adalah suatu perencanan yang dirancang untuk mencapai sebuah tujuan.
Ada dua elemen penting yang merupakan bagian integral dari sebuah kurikulum, yang keduanya harus ada dan saling melengkapi, yaitu unsur isi dari kurikulum, maupun unsur pengalaman. Lois juga mengatakan bahwa
the two elements that constitute the curriculum may be expressed as content and experience, or factor outside the pupil and factor inside the pupil. Both are necessary. In Christian content without experience is empty; experience without content is blind. The way in which these two elements are related to other determines the result that will be achieved.[25]
kurikulum harus memuat dua unsur penting tersebut karena jika isi kurikulum tanpa diimbangi dengan pengalaman maka kurikulum itu menjadi tidak berarti (kosong), dan juga sebaliknya pengalaman tanpa diimbangi dengan isi maka kurikulum akan kehilangan arah dan tujuan (buta), oleh sebab itu akan terjadi ketimpangan jika kurikulum pendidikan Kristen hanya difokuskan kepada isinya saja. Kenneth O.Gangel mengungkapkan hal ini, sekaligus mengutip peryataan Wyckoff dengan mengatakan bahwa :
The traditional definition of curriculum, now accepted by very few, focused only on the content or actual material used in educational. More recently Wyckoff defined curriculum as “selected educational procedures used to further the achievement of the aim of Christian education”.[26]
Definisi kurikulum tradisional yang telah diterima secara umum selama ini hanya berfokus pada isi atau materi actual saja. Baru-baru ini Wyckoff mendefinisikan kurikulum sebagai prosedur-prosedur pendidikan terpilih yang digunakan sebagai prestasi teknik lebih lanjut dari tujuan pendidikan Kristen.
Jadi kurikulum pendidikan Kristen perlu disusun dengan bebagai pertimbangan yang menyangkut isi maupun pengalaman, Kurikulum harus dibangun berdasarkan dan berlandaskan pada firman Tuhan (bible as Curriculum fondation), diarahkan/difokuskan kepada Kristus (Christ as curriculum focus), dan murid adalah obyek atau sasaran dari kurikulum tersebut (pupil as curriculum object). Prinsip-prinsip inilah yang perlu dikembangkan dalam kurikulum pendidikan Kristen.
I. METODE PENDIDIKAN KRISTEN
Metode merupakan salah satu unsur penting yang turut menentukan berhasil dan tidaknya dalam pendidikan Kristen. Menurut Werner G.Graendorf “method is an instrument used by the teacher to communicate to the learner the knowledge, ideal or truth under consideration”[27] Metode merupakan instrument yang dipakai oleh guru untuk mengkomunikasikan pengetahuan, ide-ide, atau kebenaran yang sedang dipertimbangkan.
Meskipun peranan metode sangat penting dalam menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan perlu disadari bahwa metode hanya sebatas alat saja, dan tidak boleh posisinya tergeser menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri, I.H.Enklaar menyatakan :
Metode senantiasa hanya jalan dan alat saja, bukan tujuan. Kita harus selalu menuju kepada maksud Firman Allah; tidak boleh kita mempergunakan metode kita supaya mendapat hasil dan sukses secara duniawi. Dengan rendah hati dan setia patutlah kita melayani Firman Tuhan dengan cara yang kita pakai dalam pekerjaan kita, serta mengharap bahwa metode-metode itu akan menghasilkan iman, pengetahuan dan penuturan yang sejati dalam hidup murid-murid kita.[28]
Metode haruslah tetap menjadi alat dalam mengarahkan perhatian anak didik, membantu mereka dalam memahami isi Alkitab, mengkorelasikannya dengan kehidupan serta memelihara komitmen pribadi mereka. Metode hanya alat yang dipakai oleh guru untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu perubahan dan pertumbuhan. Hal ini yang diungkapkan oleh Werner G.Graendorf dalam mengembangkan konsep tentang metode yang tercermin dalam pernyataannya :
our definition of method must point toward something that can be used in such areas as securing the interest of the student, assisting the student in understanding the biblical content, relating the biblical content to life, and securing personal commitment ; thus methods are instruments (tools, vehicles, activities, processes) the teacher utilizes in leading a student through a learning experiences that causes the learner to change and grow.[29]
Penekanan dan perhatian yang terlalu berlebihan pada metode akan berdampak negatif tetapi jika metode dipahami dan dipakai secara proporsional maka Allah juga bekerja melaluinya dalam memelihara dan mengasuh kehidupan rohani umatnya dalam pendidikan “the holy Spirit works through methods to bring about spiritual nurture the creative use of a variety of methods facilitates learning and thus fasters spiritual change and maturation”[30].
Ada beberapa factor penting yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan. Peter P.Person menjabarkannya menjadi 5 faktor :
The choice of method will depend upon five factor :
- the teacher’s skill and interest.
- the curriculum used
- the age of the pupils
- the specific objective of the course
- the environment and equipment.[31]
lima faktor ini meliputi : keterampilan dan ketertarikan guru, kurikulum yang dipakai, usia anak didik, obyek dari pembelajaran, serta sarana dan prasarana akan turut menentukan metode apa yang harus dipilih dalam suatu proses pendidikan. Samuel Sidjabat juga memberikan kontribusi bagi pengajaran Kristen agar mempertimbangkan beberapa hal sebelum memilih metode, yaitu :
- Kemampuan dan keterampilan guru dalam menggunakan metode.
- Kebutuhan peserta didik.
- besarnya kelompok.
- Tujuan pembelajaran.
- Keterlibatan peserta didik.
- Kesesuaian dengan bahan pengajaran.
- Fasilitas yang tersedia.
- Waktu tersedia.
- Variasi pengalaman belajar.
- Keterampilan tertentu peserta didik.[32]
Ada banyak jenis metode yang dapat dipakai dalam pendidikan Kristen, dari jenis metode yang konvensional sampai jenis yang lebih modern, namun secara garis besar jenis-jenis metode dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu :
1. One type communication : there is teacher to student communication and student to teacher communication.
2. Two way communication between teacher and student.
3. Group activities.
4. Non classroom activity.[33]
Demikian penting peranan metode pada suatu proses pembelajaran guna membantu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang serius sebelum memilih dan menggunakan metode tertentu, sehingga metode itu sendiri dapat berfungsi secara optimal.
J. ISI PENDIDIKAN KRISTEN
Tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pendidikan Kristen turut mempengaruhi isi atau content daripada pendidikan itu sendiri, tetapi pada dasarnya isi pendidikan itu disusun berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dan mengikuti prosedur-prosedur yang sesuai dengan Alkitab. Bertolak pada pemikiran ini Eli Tanya mengemukakan beberapa prosedur isi dalam pendidikan Kristen, yaitu :
1). Sesuai dengan Alkitab, meskipun bahan tidak selalu dari Alkitab.
2). Sesuai dengan pengakuan/ajaran Gereja.
3). Kurikulum harus memanfaatkan ilmu pedagogi.
4). Kurikulum harus memperhatikan petunjuk-petunjuk psikologis belajar.
5). Kurikulum harus memperhatikan penemuan-penemuan sosiologi.
6). Kurikulum harus disesuaikan dengan kubutuhan Gereja
7). Kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan pengajaran yang diberikan (sekolah
minggu, dewasa, atau yang lain).[34]
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka mencoba merumuskan isi pendidikan itu sebagai berikut :
1). Iman Kristen yang berisi dogma-dogma
2). Alkitab sebagai Firman Allah.
3). Kehidupan Kristen.
4). Masalah-masalah social.
5). Hubungan dunia.[35]
Lebih lanjut Iris V.Cully menjabarkan apa yang sebenarnya menjadi inti dari isi pendidikan Kristen kedalam 3 (tiga) garis besar, yaitu tentang kegiatan Allah, karya penyelamatan Allah, dan pekerjaan Roh Kudus.[36]
Diperlukan beberapa pertimbangan dalam menyusun suatu isi dari pendidikan Kristen, tetapi prinsip utamanya adalah Alkitab harus menjadi dasar pijakan dari setiap materi pendidikan.
K. KESIMPULAN
Pendidikan Kristen merupakan suatu konsep pendidikan yang didasarkan pada Firman Tuhan, bergantung sepenuhnya pada kekuatan dan penerangan Roh Kudus, dan segala daya upaya tersebut dipusatkan pada pribadi dan karya Yesus Kristus, dengan maksud pendewasaan kehidupan anak didik (membentuk anak didik menjadi pribadi yang berkembang dan berfungsi secara optimal) yang kemudian berimplikasi pada kehidupan pribadi, kehidupan social maupun dalam pelayanan.
Pendidikan Kristen ini perlu dilaksanakan karena manusia telah diciptakan serupa dan segambar dengan Allah sendiri, yang memiliki potensi serta karakteristik yang unik, namun oleh karena dosa citra Allah itu menjadi hancur dan segala potensi tersebut cenderung digunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif. Manusia membutuhkan pemulihan dari keadaan yang demikian, sehingga pendidikan Kristen dilaksanakan untuk tujuan membantu mereka mengalami perjumpaan dengan Kristus, mengalami pemulihan dari kehancuran, dan memiliki kedewasaan dalam Kristus (Christlikeness). tujuan ini tidak serta merta terwujud, diperlukan suatu usaha yang terencana dan terkelola (terorganisasi dan teradministrasi) dengan baik, dan tentunya dengan melibatkan peran Roh Kudus di dalamnya.
Manusia atau anak didik sebagai sasaran pendidikan Kristen harus dipahami secara komprehensif, yaitu sebagai citra Allah yang telah dirusakkan oleh dosa, hidup dalam kegelapan dan tidak berpengharapan memerlukan juru selamat. Mereka tidak berpengetahuan, artinya mereka tidak memiliki pengetahuan tentang kebijaksanaan, tentang apa yang seharusnya dicari oleh manusia sebagai pedoman bagi kehidupannya dengan berdasarkan rasa takut akan Tuhan. Hal inilah yang perlu diberikan dalam pendidikan Kristen.
Pelaksanaan pendidikan Kristen memerlukan kurikulum yang mengarahkannya kepada tujuan, yaitu suatu set tatanan atau perencanaan yang spesifik dari Gereja untuk menyempurnakan tujuan akhir atau aktifitas guru dan murid yang berhubungan dengan Firman Tuhan demi tujuan membantu murid dalam mencapai kedewasaan secara penuh di dalam Yesus Kristus. Perencanaan tersebut memerlukan suatu metode yang tepat untuk mengimplementasikannya dalam suatu proses pengajaran, pemilihan metode yang tepat akan membantu tercapainya tujuan pendidikan. Isi atau content pendidikan juga harus disesuaikan dengan beberapa pertimbangan, tetapi Alkitab harus tetap menjadi dasar yang berotoritas dalam penyusunan ini.
BAB III
PERGUMULAN PENDIDIKAN KRISTEN DI INDONESIA
Pergumulan Pendidikan Kristen sejatinya terus terjadi dalam sepanjang sejarahnya, namun dalam konteks Indonesia tantangannya menjadi lebih kompleks karena kondisi pluralitas masyarakatnya yang sangat tinggi. Kesulitan-kesulitan pendidikan ini tidak hanya ditimbulkan dari permasalahan-permasalahan yang semata-mata bersifat sosialkultural, namun upaya atau “scenario besar” yang telah dirancang oleh penguasa bangsa ini guna menghambat kekristenan sudah sangat tersistematisasi dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan, baik secara yuridis, social dan politik.
Sejak terbitnya GBHN tahun 1998, scenario untuk membatasi ruang gerak dan eksistensi pendidikan swasta secara khusus yang bernuansa Kristen mulai dihilangkan. Tuntutan pengajaran pendidikan agama sesuai dengan kepercayaan atau agama peserta didik merupakan scenario politis untuk menghapuskan karakteristik pendidikan Kristen di Indonesia, terutama dalam perguruan swasta.[37] Rencana besar ini terus berkembang dan berpuncak pada terbitnya undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Indonesia no 20 tahun 2000 yang secara yuridis menafikan karakteristik pendidikan keagamaan yang secara historis telah eksis dan mewarnai dunia pendidikan di Indonesia bahkan sebelum Negara ini merdeka dan berdaulat. Beberapa upaya protes dan permohonan peninjauan ulang terhadap rancangan undang-undang pendidikan bahkan sampai menjadi UU SISDIKNAS pun telah ditempuh oleh banyak kalangan, namun pada akhirnya perjuangan ini belum menampakkan hasil yang signifikan sehingga kecerdikan dan strategi taktis dari kita yang harus dioptimalkan dalam memanfaatkan “celah”dari setiap ketetapan-ketetapan politis tersebut.
Pendidikan Kristen di Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan yang bersifat eksternal dari pemerintah yang telah dikuasai oleh kaum mayoritas sehingga segala kebijakannya selalu tidak berpihak kepada golongan minoritas, namun Pendidikan Kristen juga menghadapi tantangan internal yang oleh Aris Pangtuluran[38] diidentifikasi sebagai berikut :
· Tentang kondisi sumber daya manusia, terutama kurangnya tenaga guru baik secara kuantitas dan profesionalitas.
· Keadaan pembiayaan terhadap sekolah-sekolah Kristen yang secara statistic memang banyak terdapat di kawasan Indonesia timur dan secara social ekonomi masih sangat rendah.
· Kondisi budaya dan agama yang beragam masih membutuhkan kecermatan penampilan agar tidak melanggar hak asazi manusia.
· Kurangnya kepedulian Gereja terhadap Pendidikan Kristen dan ditambah dengan terlalu banyaknya denominasi menyebabkan sukar untuk menyatukan pemahaman dan pandangan tentang identitas dan karakteristik pendidikan agama Kristen.
Meskipun pendidikan Kristen diperhadapkan dengan berbagai macam problematika, namun bukan berarti pendidikan itu harus menyerah, berjalan tanpa visi yang jelas, serta berhenti dalam keikutsertaanya untuk turut serta membangun manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan karakteristiknya yang Kristiani. Melalui konferensi Gereja dan Masyarakat yang dilaksanakan pada tanggal 29 september sampai 3 0ktober 1998 yang menerbitkan 12 butir pesan teologis, hendaknya pesan itu menjadi dinamisator pendidikan kita yaitu dengan mengimplementasikan visi dan misi Pendidikan Kristen sampai pada tataran kurikuler dan praksinya setiap hari, menekankan daya restorative, menjadi pusat pembentukan kepribadian yang Kristiani, menjadi lembaga yang visioner untuk menyongsong masa depan, menyiapkan kurikulum yang menjawab kebutuhan lapangan, mengembangkan life skills yang essensial, memberi perhatian pada human development, kurikulumnya mencerminkan kebhinekaan, menjaga integritas alkitabiahnya, mengembangkan artistic skill, menjadi agen perubahan paradigma, dan tetap bergantung pada control Roh Kudus.[39]
BAB IV
PLURALISME MASYARAKAT DI INDONESIA
Kekristenan di Indonesia bertumbuh dalam konteks masyarakat yang sangat pluralistic, baik keragaman dalam budaya, suku, bahasa, ras, maupun keyakinan agama. Sehingga tantangan yang dihadapinyapun juga sangat komplek/multi dimensional. Kehidupan yang demikian sebenarnya bukan hal baru, karena kondisi ini telah terjadi ribuan tahun dan telah membentuk kultur bangsa Indonesia yang sangat menghargai kebhinekaan. Dalam konteks agama, keragamanan dalam keyakinan/beragama di satu sisi dapat menjadi factor pemersatu setiap warga negara, namun di sisi lain kita sadari juga bahwa agama seringkali justru menjadi faktor pemecah belah dalam masyarakat Indonesia yang plural. Hal tersebut tercermin dalam sejarah bangsa ini, yang tidak jarang mengalami konflik, peperangan dan perpecahan karena faktor agama, pembakaran tempat ibadah, peperangan antara kelompok agama, dan sebagainya. Memang pada dasarnya setiap peristiwa yang bersifat destruktif ini tidak semata-mata berkaitan dengan pengajaran agama-agama tertentu yang untuk melakukan penindasan terhadap orang lain, melainkan ada “sesuatu atau unsur lain” yang seringkali ikut membonceng dengan mengatasnamakan agama.
If matters of faith were kept clean of politics then life on this planet would be a lot easier. Wherever people of faith gather to ponder over what to them matters at the deepest level of their being, they come up with the same answer. That there is one transcendal Being who we refer to as God, Yahweh, Allah, or any other name regardless of what our religion is. Unfortunately the matter then does not rest here. It goes from there to religion with its demand for rituals and obligations. This creates a divide from others whom we begin to perceive as less perfect or in fact inferior, further drawing a moat around our faith-based group identity. Historically territorial expansion and acquisition of power and control of resource have all been done in the name of religion and vice versa. That is, the basic ambitions and needs primarily of people or groups to expand, acquire, and control territory and resources, have been given a religious identity in many instances like the crusade/jihad, holy war etc. Thus with all these ideas and attitudes emerging out of one single category of faith, mankind has remained divided, involved in endless internecine battles throughout history. Enormous destructions, loss of lives and resources continue to pile up through our history, all in the name of religion[40].
Masuknya unsur-unsur politik, perang kepentingan antar kelompok-kelompok tertentu dengan maksud tertentu dan sebagainya semakin menambah atau memperkeruh keadaan bangsa yang sudah carut marut ini.
Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan cita-cita utama bangsa kita sejak merintis upaya kemerdekaan dari penjajahan, maka untuk mengaktualisasikan mimpi tersebut maka kerukunan antar umat beragama yang merupakan syarat mutlak harus ada di dalamnya merupakan suatu pilihan dalam mewujud nyatakan NKRI sehingga dirumuskanlah UUD 1945 dan PANCASILA sebagai dasar dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara bagi seluruh masyarakat Indonesia. Jika agama telah menjadi salah satu dari bagian atau entitas dari permasalahan bangsa ini, sepatutnyalah agama itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari jalan keluarnya
If religion has been such a big part of humanity’s problems, surely it also must be a part of the solution. In order to ponder this question and seek a common understanding to its solution, Kind Abdullah of Saudi Arabia has taken the lead. He brought interfaith leaders in Madrid to begin a dialogue for this purpose. Many prominent leaders of the faith community gathered and agreed that there was enough in common among different group of people to put aside their differences and work for the common good.[41]
Agama menjadi salah satu dari solusi dalam mewujudkan keharmonisan dalam berbangsa dan bernegara, karena agama merupakan sarana kontrol social yang berisikan nilai-nilai (tentang yang baik dan yang tidak baik) dan kaidah-kaidah moral (berkaitan dengan hal-hal yang dilarang dan yang diperbolehkan) yang mampu memberikan arah bagi sikap dan prilaku para penganutnya. Dengan ketaatan beragamalah segala nafsu jasmaniah dan hasrat duniawi yang menyesatkan dapat dikekang.[42]
Dalam usaha membangun suatu kerukunan antar umat beragama tentu ada begitu banyak pendekatan maupun metode, salah satunya adalah usaha dilakukannya dialog antar umat beragama, yang merupakan suatu pendekatan yang paling popular dilakukan di Indonesia sampai saat ini. Pendekatan melalui dialog harus diakui sangat dibutuhkan dalam konteks masa kini meskipun mungkin belum menghasilkan dampak, atau memberi kontribusi yang cukup signifikan[43].
BAB V
PENDIDIKAN KRISTEN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Menurut beberapa pengamat social/sosiolog, pendidikan keagamaan di negara kita belumlah memberikan hasil atau dampak yang sesuai dengan harapan atau cita-cita luhur bangsa ini, dan alasanya menurut Daniel Stefanus[44] adalah pendidikan agama yang cenderung bersifat formalistic, ritualistic dan simbolik, sasaran pendidikan yang hanya memenuhi kebutuhan kognitif, pengabaian terhadap masalah etika dan moralitas, pemahaman terhadap pendidikan agama yang dianggap semata-mata sebagai ilmu bukan tata laku, ekslusivitas pendidikan agama, serta kurangnya peran serta keluarga dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa apa yang diungkapkan oleh Daniel merupakan sebuah realitas yang sedang terjadi sehingga Gereja harus melakukan perubahan-perubahan signifikan agar Pendidikan Kristen benar-benar relevan dan efektif dalam membangun kekristenan serta menjadi berkat bagi sesama dalam arti menjalankan amanat agung tanpa mengabaikan mandate budaya. Lalu langkah atau model pendidikan Kristen seperti apakah yang relevan bagi konteks masyarakat majemuk di Indonesia ? pendidikan Kristen yang terbuka merupakan kebutuhan paling utama untuk konteks pluralitas di Indonesia pada masa sekarang ini
Pendidikan yang terbuka artinya pendidikan Kristen harus dilepaskan dari sekat-sekat primordial[45] dan harus menekankan nilai-nilai pluralitas tetapi tidak harus menjadi pluralism. Banyak kalangan (secara khusus golongan oikumenis) yang berpandangan penanaman nilai-nilai pluralism dalam pendidikan agama adalah hal yang mendesak, namun hal ini sebenarnya justru membahayakan bagi kehidupan keagamaan peserta didik karena jutru akan mendistorsi keyakinan dan keimanan terhadap agamanya. Pluralism cenderung akan menggiring mereka kepada relativisme berkaitan tentang religiusitas sehingga dapat menimbulkan dampak yang kurang baik karena mereka akan cenderung menjadi pribadi-pribadi yang sekuler dan materialis karena agama dianggap memberikan sesuatu yang hanya bersifat relative, tidak ada keistimewaan dan tidak membanggakan.
Pendidikan agama yang menekankan pluralitas merupakan penanaman nilai-nilai keagamaan dari perspektif keragaman atau kemajemukan. Meskipun mengajarkan karakateristik dan hal-hal fundamental keagamaan, yang sesungguhnya masing-masing sangat bersifat ekslusif dan fanatic, namun harus disampaikan dalam koridor penghargaan terhadap begitu banyak perbedaan. Pendidikan ini harus menjadikan peserta didik menjadi orang-orang yang beragama secara baik dan loyal/setia tanpa harus menjadikan mereka sebagai pembenci-pembenci orang lain, tanpa menjadikaan mereka seorang fundamentalis maupun sparatis.
Pekerjaan-pekerjaan ini memerlukan sebuah perubahan paradigm yang signifikan dari pola pendidikan yang informative, dogmatis, dan kognitif kepada pendidikan yang tranformatif, glokalisasi (berfikir global bertindak local) dan utuh (kognitif, afektif dan psikomotor). Pendidikan harus benar-benar mengaktualisasikan hukum kasih Yesus di dunia yang majemuk ini, yaitu pendidikan yang berlandaskan dan berorientasi kepada “kasih terhadap sesama”. Segala bentuk primordialisme seharusnya tidak mendapat tempat dalam pendidikan Kristen kita jika hokum kasih itu diaktualisasikan sebagaimana dalam teladan Yesus dalam sejarah.
Perubahan-perubahan yang pada dasarnya bersifat konseptuaal ini harus diimplementasikan dalam tindakan-tindakan kongkrit dan dilatihkan dalam konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Pendidikan Kristen harus mengejawantahkan konsep-konsep ini pada sebuah tataran praktis yang lebih applicable dan valuable sehingga perubahan akan terus terjadi. Dekonstruksi kurikulum dan mempertimbangkan metodologi yang tepat dalam Pendidikan Kristen adalah beberapa pertimbangan yang sangat urgen dilakukan oleh Gereja Tuhan masa kini.
BAB VI
PENDIDIKAN AGAMA DALAM PERKEMBANGAN MORAL SERTA PERILAKU
Pembahasan dalam bagian ini disampaikan berdasarkan pada beberapa pertimbangan perubahan tata laku yang berlaku dalam masyarakat global sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi. Filsafat dunia yang terus mengalami perubahan sebagai salah satu dampak globalisasi tersebut tentu sangat berpengaruh dalam membentuk paradigm masyarakat secara umum, sehingga jika kita menginginkan pendidikan Kristen tetap efektif dalam membentuk pribadi-pribadi yang dewasa di dalam Kristus pada segala zaman dan konteks maka sebuah studi yang berkesinambungan harus terus dilaksanakan guna memahami tuntutan kebutuhan zaman.
A. Moralitas di Era Posmodern
Kita seringkali menemukan dua istilah yang sangat mirip yaitu antara posmodernitas dan posmodernisme. Dua istilah ini seringkali mengecoh dan membuat kita salah memaknainya. Posmodernitas merupakan situasi dan tatanan social produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana public, usangnya Negara bangsa, serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[46] Posmodernisme lebih menunjuk pada reaksi terhadap modernism. Posmodernisme tidak mudah dipahami karena sangat bervariasinya definisi yang disampaikan oleh banyak ahli.
Jean Francois Lyotard menyebutnya “akhir dari narasi-narasi besar” atau “ketidak percayaan terhadap narasi-narasi besar” Fredric Jameson, “upaya untuk mengatur suhu jaman tanpa alat bantu dan dalam situasi di mana kita bahkan tidak yakin lagi adanya sesuatu yang begitu koheren sebagai jaman atau semangat zaman atau system” Terry Eagelton ‘ragam gaya hidup dan permainan bahasa yang heterogen yang menyudahi nostalgia desakan untuk mentotalkan serta mengesahkan dirinya sendiri” atau Richard Bernstein, “suatu serangan melawan humanism serta legasi pencerahan”[47].
Para pengikut postmodern sendiri tidak ada kebulatan pengertian dalam memahami hal tersebut, karena bagi mereka memformulasikan definisi yang utuh, bulat dan sama justru akan mendistorsi makna posmodernisme itu sendiri, namun secara garis besar keragaman pengertian itu dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu yang memaknai sebagai Periodisasi, yang terjadi setelah masa modern, dan yang kedua sebagai Produk Budaya yang menolak, menyempurnakan, merevolusi atau mendekonstruksi modernism.
Modernism yang membangun sebuah konsep epistemologis maupun etis (moralitas dan etika) pada sebuah apriori kebenaran yang bersifat absolute dan obyektif, tidak demikian halnya dengan posmodernisme yang justru menafikannya dan justru lebih mengagungkan subyektifitas dan relativisme. Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas secara detail tentang perubahan-perubahan itu, namun secara umum system moralitas di era ini telah berubah secara drastic sehingga manusia menjadi tolok ukur kebenaran dan kebaikan tertinggi bukan lagi Alkitab/pernyataan Allah. Perubahan ini mengindikasikan kecenderungan kebangkitan kembali humanism sekuler dengan cirri kemahampuan manusia.
B. Sistem Keagamaan Dunia Postmodern
Dunia postmodern juga ditandai dengan kebangkitan sistem agama baru yang disebut sebagai agama milenium ketiga yang bersifat multidenominasional di seluruh dunia. Ciri utama sistem keagamaan ini paling tidak dapat kita cermati secara garis besar seperti berikut ini,
Pertama, antikemapanan yang ditandai dengan penolakan terhadap sistem keagamaan yang terorganisasi bahkan ada tendensi tergabungnya mereka dalam gerakan abad baru (new age).
Kedua, bangkitnya kegandrungan terhadap spiritisme. Keajaiban/mujizat, mitologi, dan isu Mesianik[48] lebih menarik bagi sebagian besar penganut agama dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat ilmiah dan rasional.
Ketiga, bangkitnya agama-agama dunia ketiga (dunia timur) misalnya Shinto, Taoism, dan kepercayaan-kepercayaan Asia lainnya.[49]
Abad pencerahan dengan rasionalismnya memberikan jasa terbesar dalam menempatkan ilmu pengetahuan hampir sejajar dengan agama, pada abad 19 dengan dukungan pemikiran Nietsche, tren ini mencapai puncaknya dalam filosofi sekuler ‘Tuhan sudah mati” yang diungkapkan dengan lantang oleh Teolog Radikal Thomas JJ Altizer pada tahun 1960-1970an, namun di era posmo countertrend yang kuat dari sebuah kebangkitan agama menyangkal iman yang buta dalam IPTEK. Sekarang keterbatasan dan kelemahan IPTEK telah begitu nyata, karena itu pengetahuan tidak memberi tahu kepada manusia tentang arti sebuah kehidupan dan manusia berusaha mencarinya melalui sastra, seni, dan spiritualitas.
Dalam gereja sendiri sedang terjadi suatu perubahan yang belum pernah terjadi di abad-abad sebelumnya[50]:
1. Bangkitnya gerakan feminism di lembaga-lembaga yang paling bersifat patriakhal, gereja. Terjadi pentahbisan para pendeta wanita besar-besaran di beberapa gereja.
2. Kemunduran dalam gereja-gereja jalan utama yang sudah mantap sistem organisasinya, misalnya : Methodis, Presbiterian, Lutheran, Episcopalian, dll.
3. Munculnya statement “spiritualitas Yes, agama terorganisasi, no” karena gereja-gereja yang sudah mapan cenderung terfokus pada keorganisasian daripada memperhatikan spiritualitas umat. Dan yang paling mencengangkan adalah hasil survey di Amerika menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak ke gereja dewasa ini, berdasarkan banyak pertimbangan lebih religius ketimbang orang yang ke gereja pada dasawarsa yang lalu.
4. Kekristenan terbelah menjadi dua kutub, yaitu fundamentalism dan pengalaman pribadi yang spiritualitas. Ada kecenderungan orang kristen belajar meditasi, yoga dan beberapa kegiatan yang lain yang sebenarnya berakar dari agama-agama timur.
C. Filsafat Mengancam Moralitas Kisten
Dalam tulisannya Harry Blamires[51] dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada lagi pemikiran Kristen, pemikiran manusia modern telah tersekularisasi. Sebagai contoh ia menambahkan bahwa pemikiran manusia modern telah membuang semua orientasi kepada hal-hal supranatural. Fakta ini mungkin tidak akan muncul sedemikian tragis seandainya teologi Kristen memberikan perlawanan terhadap arus sekularisme yang sedemikian gencar merasuk dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia, tapi sangat disayangkan teologi Kristen telah tunduk sampai pada taraf ketidakberdayaan yang tiada bandingnya dalam sejarah Kekristenan. meskipun semua orang masih tetap beragama (menerima moralitas, penyembahan, dan budaya spiritualitasnya) tetapi mereka menolak wawasan hidupnya yang religius dan mau meletakkan seluruh isu duniawi di dalam konteks kekekalan.[52] Fenomena ini tidak hanya dirasakan oleh para teolog barat saja, kaum injili di Asia pun juga mencermati hal yang sama. Seorang Teolog injili Asia Han Chul Ha mengungkapkan bahwa teologi Injili sekarang ini mengalami pergeseran focus perhatian oleh pengaruh sekularisme “In this age of secularism the focus of attention of even the evangelical Christian leader has been shifted from the original biblical concern of salvation unto eternal life to present day social concern”[53]
Dalam konteks Indonesia saat ini, teologi Kristen juga harus menghadapi ujian berat terhadap gencarnya usaha kaum pluralis yang sedang memperjuangkan semangat pluralisme dalam konteks kehidupan beragama, sehingga orang Kristenpun tidak luput dari racun pluralis yang menimbulkan kecenderungan menerima hal-hal yang sifatnya relative dan dampaknya sudah bisa ditebak, yaitu munculnya asumsi bahwa tak sesuatupun dari Allah mampu dipahami dan dimengerti oleh manusia, hal itu juga diungkapkan oleh Robert Morey bahwa “since relativisme is dominant today, many people assume that no one really know anything about God. It is assumed that any and all views of God are acceptable because they are only personal preferences and not abjective truth”.[54] Dan akhirnya kebenaran jelas bisa ditemukan dimana saja, finalitas agama menjadi suatu yang mustahil.
D. Seluruh Kehidupan Kristen Telah Terkontaminasi.
Pada decade 1980 organisasi Gallup melakukan suatu penelitian terhadap orang-orang Amerika yang hasilnya dipublikasikan secara luas di media dari hasil survey itu menujukkan sesuatu fenomena yang sangat mengejutkan bahwa lebih dari 60 juta orang Amerika mengaku telah mengalami suatu pengalaman pertobatan secara pribadi dan mereka percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, namun ironisnya mereka tidak mengetahui isi Firman Tuhan, sejarah kekristenan, termasuk teologi Kristen klasik, dan sangat mengenaskan bahwa iman Kristen mereka sedikit, dan bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupan mereka maupun kebudayaan mereka.
Kondisi ini tidak hanya di alami oleh kekristenan di barat saja, dalam kontek Indonesia, kehidupan kekristenan juga sedang mengalami krisis dan dekadensi moral yang cukup memperihatinkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa generasi muda Kristen banyak yang telah terjerumus ke dalam kehidupan secular seperti, freesex, narkotika, fandalisme, individualism dan berbagai-bagai bentuk penyelewengan yang lain. Salah satu dampak globalisasi ini, yaitu sekularisme telah membuang segala orientasi kekekalan yang telah ditanamkan oleh kekristenan dalam hidup mereka sehingga muncul kecenderungan untuk mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan tradisi melainkan menonjolkan kebebasan tanpa batas. Krisis global inilah yang menjadi tantangan berat bagi pendidikan Kristen di masa sekarang.
E. Pendidikan Kristen Menjadi Agen Perubahan
Gereja secara actual telah berupaya bukan hanya melakukan upaya-upaya preventif dengan semakin menggalakkan kegiatan-kegiatan yang diharapkan dapat mengeliminasi tingkat permasalahan ini, namun gereja atau kekristenan juga telah membangun lembaga-lembaga rehabilitasi, panti-panti social untuk upaya pemulihan yang diharapkan dapat mengatasi semua permasalahan yang terjadi di bangsa ini.
Upaya-upaya tersebut di atas akan menjadi sangat tidak berarti jika Gereja melalui Pendidikan Kristennya tidak berupaya melakukan encounter/perlawanan terhadap secularism yang telah menerjang sebegitu derasnya dalam kehidupan Kristen kita. Pendidikan Kristen harus melakukan indoktrinasi[55] terhadap orang-orang percaya. Pendidikan kita tidak mungkin terus mempertahankan konsep konvensional yang telah di warisinya dari teologia barat dengan karakteristiknya yang permisif.
Pendidikan seyogjanya melakukan pembersihan (brainwashing) terhadap konsep-konsep yang terlanjur ditanamkan oleh filsafat jaman ini, dan menanamkan kembali ortodoksi iman Kristen, bukan sekedar pada tataran epistemologisnya semata-mata, namun juga sampai dengan masalah-masalah praktisnya, sebab konsep yang bersifat epistemologis ini jika tidak diejawantahkan dalam dunia yang nyata dan praktis akan menjadi konsep yang kering dan tidak bermakna.
BAB VII
IDENTITAS MISIONER DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Sesungguhnya tidak ada satu agamapun di muka bumi ini yang tidak missioner sebab setiap agama memiliki pengajaran-pengajaran fundamental yang harus mereka wartakan kepada generasi penerus, maupun kepada orang lain. Tingkat militansi masing-masing agama sangat berbeda dalam meresponi tugas misiologis tersebut, dan hal ini biasanya terkait erat dengan eksplisitas dari amanat tersebut yang termuat dalam kitab sucinya, misalnya kekristenan sangat bersemangat dalam sepanjang sejarahnya dalam melakukan penginjilan di dunia ini karena memang tugas itu diperintahkan langsung oleh Yesus dan secara eksplisit tercantum dalam kitab suci, sama seperti Islam dengan konteks “dakwahnya”.
Pendidikan Kristen pada hakikatnya adalah bagian dari misi Yesus Kristus yang diungkapkan melalui amanat agungNya, yang merupakan bagian integral dalam upaya menjadikan seluruh bangsa murid Yesus. Perintah ini disampaikan untuk dikerjakan tanpa ada limitasi atau batasan dimensional baik waktu, tempat dan konteks. Dan di sisi lain sebagai warga dari sebuah negara yang majemuk kita dituntut untuk hidup dalam toleransi dan penerimaan penuh terhadap keberbedaan. Dilematika orang-orang percaya di Indonesia pada akhirnya menjadikan kekristenan terpolarisasi dalam dua kutub, kutub pertama secara ekstrim meresponi perintah amanat agung dengan penuh semangat melakukan penginjilan dengan segala keberanian dalam menanggung resiko, memberitakan injil tanpa mempertimbangkan konteks sosiokultural dan politis, sedangkan di sisi lain muncul kelompok-kelompok yang berupaya mencari posisi aman dengan menjadi orang-orang Kristen yang cenderung pluralis dan permisif sehingga esensi Injil tak pernah disampaikan kepada orang lain dengan berbagai macam alasan yang sangat rasional.
Mencermati dilematika tersebut, Pendidikan Kristen harus tetap memancarkan karakteristiknya yang missioner, namun tanpa harus mengsampingkan peran sosiologis kita sebagai entitas dari sebuah bangsa yang majemuk dalam mengupayakan kedamaian dan kerukunan di antara masyarakat Indonesia. Daniel Stefanus[56] mengungkapkan bahwa dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, identitas missioner kita harus dimplementasikan melalui dua langkah strategis, yaitu
Pertama, misi Kristen yang dibangun atas dasar teologis bahwa Allah menghendaki umatNya menjadi agen penyelamat dunia, bukan sebagai penghakim dunia (Yoh 3:16-21). Kesaksian dan pemberitaan Firman tidak seharusnya sebuah apologia untuk menghakimi, menuduh dan menyalahkan agama dan kepercayaan lain, namun sebuah presentasi Firman yang jujur dan fair tentang karya penyelamatan Allah bagi dunia. Pemberitaan tentang kepedulian Allah atas seluruh umat manusia tanpa memandang status social harus menjadi perhatian dan secara intens diberitakan melalui cara yang damai. Kekristenan tidak harus memaksakan kebenaran dan keyakinan kepada orang lain, membujuk untuk berpindah agama, maupun menganjurkan menghujat agamanya sendiri untuk diselamatkan, namun harus mengupayan sebuah respon atau tanggapan iman dengan berlandaskan perasaan saling menghargai.
Kedua, misi Kristen harus berorientasi dan bertujuan mendatangkan damai sejahtera bagi bangsa Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Kehadiran kekristenan harus menjadi entitas integral dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bangsa yaitu menjadi bangsa yang berdaulat, adil, makmur serta turut membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Sebagaimana Allah pernah memmerintahkan Yesaya untuk ikut mengupayakan kesejahteraan kota, maka demikianlah orang-orang percaya harus bahu membahu bersama orang lain untuk berjuang memberikan karya nyata bagi bangsa melalui bidang pelayanan masing-masing.
Demikianlah seharusnya identitas missioner Kristen tidak harus diruntuhkan oleh konteks dunia yang pluralistic, menjadi warga Negara yang baik dalam kaitannya menciptakan kerukunan dan toleransi umat beragama tidak harus membatasi tugas kita dalam bermisi. Identitas missioner kekristenan harus dipahami secara seluas-luasnya sehingga misi tersebut justru tidak menjadi penghambat kita dalam bermisi.
BAB VIII
STRATEGI PAK DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Dalam pembahasan sebelumnya telah diungkapkan 12 (dua belas) poin teologis yang harus menjadi landasan epistemologis dalam mengembangkan Pendidikan Kristen dalam konteks pluralitas Indonesia yaitu mengimplementasikan visi dan misi Pendidikan Kristen sampai pada tataran kurikuler dan praksinya setiap hari, menekankan daya restorative, menjadi pusat pembentukan kepribadian yang Kristiani, menjadi lembaga yang visioner untuk menyongsong masa depan, menyiapkan kurikulum yang menjawab kebutuhan lapangan, mengembangkan life skills yang essensial, memberi perhatian pada human development, kurikulumnya mencerminkan kebhinekaan, menjaga integritas alkitabiahnya, mengembangkan artistic skill, menjadi agen perubahan paradigma, dan tetap bergantung pada kontrol Roh Kudus. Namun demikian beberapa pemikiran lain harus juga menjadi bahan pertimbangan bagi kita dalam strategi Pendidikan Kristen dalam masyarakat majemuk.
A. Kontekstualisasi Teologi Sebagai Dasar Pendidikan Kristen Dalam Kemajemukan
Pada dasarnya teologia Kristen dan pendidikan Kristen merupakan bagian yang integral dan tidak dapat dilepas pisahkan. Jika di dalam teologia ada upaya memformulasikan kebenaran secara konseptual, maka kebenaran itu diejawantahkan melalui pendidikan Kristen sehingga menjadi kebenaran yang hidup. Sebagaimana Pendidikan Kristen sangat dipengaruhi oleh Teologia Kristen yang mendasarinya, demikian Pendidikan Kristen di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh teologia Kristen yang sebenarnya diadopsi dari Teologia Barat dengan segala karakteristik homogenitas socioculturalnya, sehingga sebenarnya kurang tepat untuk diimplementasikan untuk konteks Indonesia dengan karakteristik heterogenitasnya. Pendidikan Kristen Indonesia harus dibangun dan diimplementasikan bersesuaian dengan kontek socioculturalnya, atau dalam arti lain harus ada upaya kontekstualisasi agar mengenai sasarannya.
1. Pentingnya Kontekstualisasi
Usaha kontekstualisasi sebenarnya telah diprakarsai oleh Allah sendiri ketika Ia mengirimkan AnakNya ke dunia, berinkarnasi menjadi manusia yang dikenal sebagai Yesus Kristus dengan satu tujuan penting yaitu mengkomunikasikan maksudNya kepada umatNya (Ibr 1:1-2), yang kemudian juga diikuti oleh para Rasul dalam setiap pelayanannya dalam rangka mengemban amanat Agung Yesus Kristus. Joseph Tong menyatakan bahwa secara sederhana, Gereja Kristus dan beritaNya dimulai dengan penegasan tentang kontekstualitas dari inkarnasi Kristus. Lebih jauh lagi bahwa Kristus mengkontekstualkan diriNya sendiri dalam peristiwa-peristiwa pekabaran dan pekerjaan injil. Injil kemudian diberitakan melintasi segala rintangan georafis sampai ke ujung dunia. Begitulah dikatakan bahwa peristiwa/proses pengkontektualisasian sejelas kristal.[57]
Jika kita cermati dengan sungguh-sungguh kita akan menemukan fakta bahwa dalam proses pengabaran injil dalam situasi apapun, saksi-saksi Injil secara sadar berusaha untuk membuat Injil dan artinya lebih mudah dimengerti oleh pendengar dan dalam setiap perkembangan zaman terjadi perubahan pola pikir sehingga proses terjemahan Alkitab maupun penafsirannyapun juga berubah, sehingga di dalamnya terjadi kontektualisasi dalam kapasitas tertentu.
Meskipun kontektualisasi sangat penting dan tidak dapat dihindari namun hal ini tidak berarti bahwa dalam proses penginjilan dan pendidikan hal ini merupakan syarat awal yang mutlak harus ada, karena berhasil dan tidaknya suatu penginjilan dan pendidikan bukan ditentukan oleh kontekstualisasi maupun dekontektualisasi, melainkan suatu presentasi Firman yang sederhana dan apa adanya karena tidak ada seorangpun dapat datang kepada Yesus jika bukan Allah sendiri yang menariknya (Yoh 6:44).[58]
Kontekstualisasi dalam pendidikan Kristen memungkinkan upaya pengkomunikasian kebenaran dasar Firman Tuhan ke dalam konteks pembelajaran yang paling dapat diterima atau dipahami secara actual, namun juga dapat diimplementasikan oleh peserta didik dalam seluruh aspek hidup personalitas dan sosialnya, serta dalam tugas panggilannya dalam penginjilan yang kontekstual dan actual dengan segala pertimbangan teologis, antropologis, cultural, etis dan sosiologisnya.
2. Apakah “Kontekstualisasi” itu ?
Istilah kontekstualisasi ini pertama kali dicetuskan melalui terbitan Theological Education Fund (TEF), lembaga yang diprakarsai oleh International Missionary Counsil. Dari dokumen-dokumen TEF kita diberikan suatu informasi bahwa kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih dalam dari itu. Kontektualisasi berkaitan dengan penilaian terhadap konteks-konteks dalam dunia, sehingga kontekstualisasi itu sendiri menandakan kepekaan baru terhadap kebutuhan penyesuaian pemberitaan Injil dan pendidikan Kristen terhadap konteks sociokultural. Itulah konsep awal kontekstualisasi, namun istilah dan makna tersebut belum mendapatkan kesepakan dari kalangan kaum Injili sendiri karena kebanyakan kaum Injili bersepakat bahwa baik di Timur, maupun di Barat orang Kristen bertugas untuk membiarkan Alkitab menafsirkan Alkitab, mereka harus mengijinkan Alkitab bicara dalam konteksnya sendiri, menilai dan menghakimi mereka dan kebudayaan mereka.[59] Meskipun masih belum ada kesepakatan dalam mengartikan konsep kontekstualisasi, dalam konteks pendidikan Kristen kentotektualisasi teologi dipahami sebagai upaya memahami maksud dan kehendak Tuhan dalam kitab suci dalam konteks sociokultural Indonesia yang terimplementasi dalam pemberitaan dan pengajaran yang sesuai dengan konteks local.
3. Kontekstualisasi PAK di Tengah Kemajemukan Indonesia
Beberapa tokoh Injili dengan tegas menolak kontekstualisasi, karena kontekstualisasi sebenarnya akan mencabut suatu kebenaran hakiki dari penyataan iman yang murni, namun demikian ada banyak tokoh juga yang dengan pertimbangan pemikiran yang matang menerima kontektualisasi, mereka beralasan bahwa setiap usaha berteologi secara kontekstual tidak boleh digeneralisir sebagai usaha mengorbankan kebenaran iman Kristen demi konteks dunia yang plural dan dinamis. Usaha teologi harus tetap berpegang pada kebenaran secara utuh agar setiap orang dapat menikmatinya secara apa adanya dengan cara dikomunikasikan dalam pemahaman mereka. Oleh karena itu teologi Injili menurut Donald G.Bloesch harus menghubungkan nilai-nilai kekekalan dalam karya penebusan Kristus dengan pergumulan hidup sehari-hari[60] tanpa menghilangkan ortodoksi dari Injil itu sendiri. Togardo Siburian mengatakan bahwa tugas teologi injili adalah mengkontekstualisasikan kerugma doctrinal di dalam pergumulan umat sehari-hari agar dapat memahaminya menurut pemahaman mereka (in loco).[61] Pada intinya kita akan dibawa kepada pemahaman bahwa berteologi secara kontekstual di sini tidak lain dari usaha untuk memikirkan pendaratan kekristenan dalam konteks kehidupan manusia beserta segala aspek hidupnya sehari-hari.
Memang setiap usaha berteologi merupakan suatu upaya yang dinamis dan akan terus bersentuhan, dan tidak akan pernah terlepas dari benturan-benturan antar budaya, Charles H.Kraft mengungkapkan suatu statement bahwa
Theologizing is a matter of dynamic-equivalence transculturation and of witness to Christianity in terms of culture. All theologizing is culture-bound interpretation and communication of God’s revelation. Good theologizing is spirit led, even though culture-bound. In spite of the impression often given that theology is an absolute, once for all kind of thing, theologizing is a dynamic, continous process. Static, once for all theologies are dead theologies. Dynamic-equivalence theologizing is the reproducing in contemporary cultural contexs of the theologizing process that Paul and other scriptural authors exemplify.[62]
Sehingga pendidikan Kristen yang sehat adalah hasil dari setiap usaha berteologi secara dinamis yang mempertimbangkan konteks budaya kontemporer karena sebenarnya tak ada satupun teologi yang terbebas dari suatu pengkontekstualisasian, atau dengan istilah lain semua teologi merupakan produk dari sebuah kontekstualisasi, oleh karenanya Robert McAfee dengan tegas mengatakan bahwa “all theologies are contextually conditioned, there is nothing wrong with theology being contextually conditioned”.[63]pendidikan Kristen yang kontekstual diharapkan tepat sasaran dalam menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat local Indonesia.
B. PENDIDIKAN KRISTEN , APOLOGIA KRISTEN DAN DIALOG
Pendidikan Kristen merupakan upaya bersengaja yang dilakukan Gereja untuk menanamkan dasar pemahaman teologia yang alkitabiah dan kokoh kepada umat Tuhan sehingga mereka mampu mengemban tugas panggilannya di dunia untuk menjadi terang dan garam dunia. Dengan landasan teologia tersebut umat Allah mampu mempertahankan iman (defense of faith) di tengah tantangan kemajemukan agama, mempertanggung jawabkan iman (apologetic) dan sekaligus melaksanakan tugas panggilannya dalam Amanat Agung untuk mengabarkan Injil Tuhan kepada segala umat. Pendidikan Kristen memiliki tugas fundamental dalam menyiapkan umat untuk beberapa tugas penting tersebut sehingga mereka bukan hanya dapat hidup damai dengan sesamanya namun juga tetap dapat menunaikan tugas panggilannya sebagai umat Allah.
Dari sudut pandang kekristenan, setiap orang percaya diperintahkan untuk hidup berdampingan secara damai dengan orang lain, hal itulah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika mengajarkan tentang hukum kasih (Mat 22:37-40) sehingga kerukunan antar umat beragama seperti yang dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya tentulah bagian dari cakupan pengajaran Yesus itu sendiri dan Dialog tentulah merupakan salah satu cara yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun oleh pemimpin-pemimpin agama untuk mewujudkan impian besar tersebut, namun di satu sisi kita juga harus dipertemukan dengan suatu tugas yang tidak kalah penting yaitu kesiap sediaan untuk selalu memberikan pertanggung jawaban iman atau yang lazim disebut apologia, yang mana setiap pengikut kristus harus selalu membela keyakinan imannya di hadapan orang-orang yang meragukan, menanyakan, menafsirkan secara salah, atau bahkan mungkin melecehkan iman Kristennya dan tentulah langkah yang diupayakan dalam apologia tersebut adalah cara-cara yang masih dalam koridor atau batasan-batasan pengajaran Kristus yaitu cara yang damai.
Dalam dua tugas ini (dialog dan apologia) kita mencermati dua hal yang paradoks, di satu sisi dalam dialog itu seolah-olah kita diajak untuk berkompromi, agar dengan rela meyakini bahwa ada kebenaran lain yang terdapat pada agama-agama lain, sedangkan dalam apologia kita perlu menyatakan keyakinan-keyakinan yang fundamental dalam iman Kristen terutama keunikan dan finalitas Kristus. bagian ini berupaya untuk mencari tahu apakah dalam dialog antar umat beragama apologia masih relevan ? jika masih relevan, sejauh mana tingkat relevansinya ? jika apologia sudah tidak relevan apa yang menjadi alasan-alasannya?
1. Pemahaman Tentang Apologia Kristen
Apologetika merupakan bagian atau cabang dalam disiplin ilmu teologia Kristen. Jika apologia lebih menekankan pada suatu tindakan aktif melalui usaha membenarkan secara rasional kebenaran-kebenaran ilahi dari suatu iman sedangkan apologetika merupakan disiplin ilmu yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumentasi-argumentasi yang masuk akal.
Pada dasarnya apologetika terkandung dalam system teologi khatolik dan Ortodoks, sedangkan Protestantisme cenderung menolak apologetika seraya berpegang pada keyakinan yang bertumpu pada keunggulan iman atas rasio.[64] Bagi kebanyakan kaum Protestan, dalam apologetika terkandung suatu kelemahan pada dirinya sendiri karena di satu sisi apologetika menekankan penggunaan rasio, sementara di pihak lain menyatakan bahwa dogma-dogma agama yang pokok tidak dapat ditangkap oleh rasio manusia, dengan kata lain apologetika rasional dalam bentuk tetapi irasional dalam isi.[65]
2. Pengertian Tentang Apologia Kristen
Apologetik menurut seorang teolog Khatolik, Gerald O’Collins dan Edward G.Farrugia adalah suatu pembelaan secara ilmiah keyakinan Kristiani mengenai Allah Kristus, gereja dan tujuan hidup umat manusia, pembelaan ini dapat ditujukan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggung jawabkan (I Petrus 3:15)[66]. Pengertian ini juga disokong oleh pandangan Edward V.Stanford yang berpandangan bahwa apologetika adalah “the science which has for its purpose the explanation and defense of fundamental truths of Christianity …it is reasoned explanation of those truths about God and religion which can be known without the aid of supranatural revelation”[67], jika penjabaran sebelumnya Gerald lebih menekannkan pada upaya pembelaan yang ilmiah namun Edward Stanford menyorotinya dari sisi upaya kekristenan dalam memberikan pemahaman mengenai keyakinan fundamental iman Kristen tanpa melalui wahyu khusus Allah dan bukan hanya itu Edward juga mengutip definisi dari Webster Dictionary bahwa apologetika merupakan “…systematic argumentative discourse in defense, especially of the divine origin and authority of Christianity”[68] yang lebih menekankan argumentasi sistematik mengenai doktrin Kristen.
Pada dasarnya apologetik Kristen sangat berbeda, baik mengenai konsep maupun isinya dengan apologetik yang dimiliki oleh agama lain karena obyek yang dibela atau dipertahankan adalah keyakinan iman kepada Tuhan dan kebenaran-kebenaran yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu Edward V.Stanford menyatakan bahwa
In the study apologetics we deal with such fundamental truths as existence of supreme being is the creator of the universe, the existence of spiritual and immortal soul in man, the need that man has to practice religion and necessity of a divine revelation to keep him from going astray, the existence of Jesus Christ as both God and man, and finally the identification of the church which Christ founded with the command that all men should hold membership therein establishing the validity of all these truths, reliance is placed upon sound reasoning rather than on the authority of faith and revelation.[69]
Beberapa kebenaran fundamental dari kekristenan merupakan esensi dari apologetika tersebut, yaitu keyakinan dasar akan eksistensi ilahi sebagai pencipta alam semesta, eksistensi rohani dan kefanaan jiwa manusia akibat dosa, kebutuhan akan tuntunan iman dan wahyu ilahi agar terlepas dari penghukuman kekal, eksistensi Yesus sebagai Allah sejati dan manusia sejati, keberadaan Gereja sebagai perwujudan dari perintah Yesus agar setiap orang menjadi anggotanya.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, meskipun Protestantisme cenderung menolak apologetika (termasuk kelompok Reformed/Injili yang merupakan bagian di dalam Protestantisme), namun hal ini tidak sekaligus membuang apologetika itu sendiri dalam tatanan dogmatikanya, mereka memiliki perbedaan yang substansial berkaitan dengan pemahaman mengenai apologetika secara epistemology sehingga secara praksis upaya apologia dan dan studi apologetika tetap dipertahankan, hal ini tersermin dalam pandangan Van Till yang tidak membuang sama sekali peran apologia
apologetic theology is theology that holds that the message of the gospel does not come down from above, like a plumbline, without any relation to culture or without having any anticipations within culture. Apologetic theology relates to culture. There are anticipations of the gospel, it is said, within the cultural milieu. Possibly culture is said to ask the questions and theology give the answers.
Apologetic theology of this kind has taken radical forms. It is suggested that the question concerning the gospel arises even from the deepest denial of the gospel witness, that an affirmation of God and his grace arises even from the most profound denial of him and the most solid repudiation of his grace. This line of thought intends to break the back of any position that holds to a doctrinal Christianity that comes to us with divine authority.[70]
Penjabaran lebih lanjut dapat juga ditemukan dalam beberapa pemikiran kaum reformed yang salah satunya dijabarkan melalui The Transcendental Perspective Of Westminster's Apologetic.[71] Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemahaman tentang apologetik bersifat multi tafsir, namun urgenitas maupun signifikansinya tidak dapat diabaikan sama sekali.
3. Urgenitas dan Alasan-Alasan Berapologi
Pembahasan mengenai topik ini akan disoroti dan dijabarkan melalui tiga sudut pandang, yaitu dimensi epistemologis, dimensi teologis dan dimensi praktisnya
Dimensi Epistemologis
Gereja-gereja sejak abad pertengahan dengan kebulatan tekad telah menerima rumusan-rumusan ortodoksi Kristen klasik dari Rene Descartes dan beberapa pemikir Kristen lainnya bahwa “Fides Quarens Intellectum” artinya iman dan keyakinan merupakan kunci pembuka dari segala pengertian, dan rumusan yang berkata “Credo Ut Intelligam” suatu keyakinan bahwa diperlukan kepercayaan terlebih dahulu supaya kita mampu mengerti akan kebenaran Allah. Dua aksioma tersebut di atas merupakan kebenaran yang tidak bisa kita abaikan begitu saja, namun di sisi lain hal ini mengindikasikan suatu perjuangan untuk mengesampingkan atau mengorbankan aspek rasionalitas secara naïf sebab bagaimanapun juga menurut Peter Kreeft, ada begitu banyak hal yang Allah ingin bukan hanya dipercayai secara imani tapi juga dapat dibuktikan dengan kemampuan rasionalitas manusia yang digunakan secara benar.[72]
Di era postmodern ini, dunia juga sedang menghadapi krisis filosofis maupun krisis intelektual karena postmodern sedang memperjuangkan kebenaran subyektif ketimbang obyektif, sehingga relativisme menjadi momok utama dalam apologia Kristen. Di tengah isu-isu yang berkembang mengenai dunia posmo ini kita menemukan tiga permasalahan utama[73] :
· Posmodern menentang metafisika representasional, yaitu bahwa realitas merupakan fakta yang sebenarnya (given) dan siap dieksplorasi. Bilamana dunia ini given, berarti dunia ini dapat dimengerti secara obyektif dan pasti. Sebaliknya posmo berpendapat bahwa realitas adalah bentukan atau hasil konstruksi, realitas tidak serta merta dapat didekati. Manusia tidak mungkin menjelaskan dengan benar dan tepat dengan cara menjalin fakta-fakta kedalam kerangka kaidah-kaidah penalaran yang logis.
· Posmodern menyangkal dasar-dasar yang menjamin obyektifikasi tersebut. Posmodernis berkeyakinan pengetahuan manusia tidak sama sekali didasarkan pada satu atau beberapa keyakinan dasar yang pasti benar dan tidak mungkin dikoreksi. Willard Van Orman mengatakan bahwa pengetahuan atau kepercayaan terikat pada pengalaman historis dan geografis. Pengetahuan tidak lebih dari sekedar pilihan pada satu, dan bukan yang lain karena dianggap cocok dengan kondisi kontemporer, oleh sebab itu sangat mungkin suatu pengetahuan dikoreksi. Ketika satu pengetahuan dikoreksi maka pengetahuan yang lainpun juga terbuka bagi penijauan ulang. Pengetahuan lahir dari konteks historis-geografis maka pengetahuan terikat oleh komunitas, jadi komunitaslah yang menjadi penentu berlaku atau tidaknya sebuah pengetahuan.
· Pengetahuan yang berakar dan bertumbuh pada dalam konteks komunitas tidak mungkin terpisah dari unsur linguistik. Bahasa menjadi unsur perting pembentuk suatu identitas komunitas. Posmo membalikkan keadaan dunia modern yang menjunjung “kemahamampuan penalaran manusia” kepada “kemahamampuan linguistik/bahasa”. Bagi posmodernis manusia tidak mungkin sampai kepada realitas tanpa bahasa. Dunia maupun cara berfikir merupakan jalinan tekstual yang dibentuk oleh bahasa, bahasalah yang membuat sesuatu bermakna. Meskipun demikian bahasa juga tidak bisa mewakili realitas apapun karena suatu kata-kata tidak pernah mewakili realitas apapun diluar dirinya, yang ada adalah sebuah kata selalu mengacu kepada kata-kata lainnya. Tidak ada satupun yang ada dibalik sebuah teks. Penulis maupun motif dibalik penggunaan kata-kata dalam teks sudah mati, dan teks itu menjadi independen. Oleh sebab itu yang berlaku sekarang adalah sebuah penanda. Satu tanda berbada dengan yang lainnya, sehingga sebuah kata tak mungkin dipahami dan dimengerti secara mutlak.
Dasar pemikiran filosofis yang demikianlah yang pada akhirnya memproduksi paham-paham pluralisme dalam agama-agama di dunia. Di tengah-tengah arus kesesatan yang seperti ini, kekristenan ditantang untuk menyediakan suatu rumusan filosofis yang dapat menghadang dan meluruskan kembali pemikiran dunia kepada pemikiran yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Dimensi Teologis
Beberapa kali Allah menuntut umatnya untuk senantiasa siap sedia dalam melakukan pertanggung jawaban iman kepada siapapun yang meragukan atau bahkan yang lebih jauh lagi sampai menentang keyakinan iman kita, kepada orang yang meminta klarifikasi dari keabsahan kebenaran yang kita anut, dan juga kepada orang yang berusaha memperoleh informasi yang absah tentang keyakinan keagamaan kita. Ayat sentral yang menjadi dasar apologia Kristen adalah dalam I Petrus 3: 15, dalam ayat ini ada suatu perintah “pros apoligian panti” yaitu untuk senantiasa bersiap dalam pembelaan terhadap tiap-tiap orang[74], sasaran pertanggung jawaban adalah sangat jelas yaitu “aitounti = aitew + umas logou” yaitu orang yang meminta pertanggung jawaban. Dari ayat ini tercermin tentang sikap bagaimana dalam apologia, yaitu harus dengan lemah lembut dan hormat. Apologia dalam konsep Kristen dipahami sebagai karunia Roh (bdg.Mar 13:11, Kis 6:10, 25:25, 26:24-28) yang timbul dari hati nurani yang murni.[75]
Perintah ini muncul karena ada dasarnya yaitu munculnya begitu banyak orang-orang yang meragukan keabsahan pengajaran Kristus pada gereja mula-mula, dan bahkan menolaknya, sehingga perintah ini akan selalu relevan selama masih ada orang-orang yang masih memerlukan atau meminta pertanggung jawaban atas iman Kristiani.
Dimensi Praktis
Peradaban Barat yang selalu diidentikan dengan nilai-nilai Kristen telah kehilangan inti kehidupannya yang kristiani. Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh multikulturalisme multidimensional, melainkan oleh karena justru monokulturalisme sekularisme yang bebas sehingga mematik munculnya kehidupan yang kontradiksional yaitu kecenderungan fundamentalisme, dan suatu pola kehidupan bebas yang tanpa batas yaitu sekuler.
Untuk konteks di Indonesia, pluralitas yang berkembang mendorong suatu upaya apologia yang sehat dari tantangan-tantangan yang dimunculkan oleh penganut agama lain, terutama muslim yang terus menyerang dan mempertanyakan keabsahan pengajaran Kristen yang paling fundamental.
Dari penjabaran tiga alasan mendasar dari apologetika Kristen tersebut, muncul banyak keberatan-keberatan, yang utamanya tidak senang atau mengabaikan apologetika karena alasan bahwa di dalam apologetika tampak bersifat intelektual, abstrak dan terlalu rasional. Di antara beberapa keberatan tersebut mengungkapkan bahwa kehidupan, kasih, dan kekudusan jauh lebih penting dari pada akal manusia. Fakta-fakta yang sedemikian sebenarnya adalah suatu paradoks karena di satu sisi ketika orang berkeberatan untuk berapologia dengan mengungkapkan statementnya, mereka sedang lupa bahwa sedang ada dalam suatu proses apologia, yaitu berfikir. Berapologetika memang tidak dapat dihindari, satu-satunya yang dapat dihindari adalah berapologetika atau melakukan apologetika secara benar, oleh sebab itu alasan-alasan atau fakta-fakta bahwa apologetika tidak sepenting teologia praktis lainnya tidak membuktikan bahwa apologetika sangat-sangat tidak penting.
C. PENDIDIKAN KRISTEN DAN DIALOG KEAGAMAAN : Wacana Menuju Kerukunan Dalam Masyarakat Indonesia
Sejarah pendekatan dialogis antar pemeluk umat beragama di dunia dimulai sejak dilakukannya diskusi-diskusi mengenai perbedaan doctrinal di negara-negara Eropa, secara khusus Jerman. Hal ini diupayakan oleh karena masuknya secara bersama-sama orang-orang Yahudi, Kristen, dan katholik dalam ranah intelektual level tertinggi. Dan tipe diskusi tersebut kemudian disebut dialog. Kemudian tipe diskusi ini terus berkembang dan diupayakan bukan hanya dalam lingkup internal suatu bangsa yang memiliki keberagaman keyakinan iman, namun juga diupayakan oleh suatu lembaga yang jangkauannya lebih luas lagi, salah satunya seperti Dewan Gereja Dunia, dan lembaga-lembaga sejenisnya.
1. Pemahaman Tentang Dialog
Istilah dialog dalam bahasa Yunani berarti “berbicara bersama” yang kemudian berkembang menjadi suatu diskusi yang jujur antara dua orang yang mempunyai keyakinan berbeda, dengan harapan mencapai kesepakatan atau sekurang-kurangnya mendekatinya.[76] Memang dialog pada awalnya dipahami sebagai suatu usaha argumentative untuk dan cenderung memunculkan perdebatan untuk mencapai suatu kemenangan yang bersifat argumentative pula
Discussions of this type have been called dialogs, probably to remove them from the realm of debate, a form of argumentation in which one seeks by his arguments to overcome his opponent and register a victory. In dialog the efford is made to explain one’s point of view to be successful it must be conducted with patience and be founded on charity, knowledge, and understanding, and goodwill.[77]
Bertolak dari pemahaman tersebut di atas maka dialog dikonotasikan sebagai suatu wadah diskusi ilmiah antar pemeluk agama yang seolah-olah mencari pemenang yang penentuannya disyaratkan melalui pengajaran-pegajaran agama mana yang paling unggul, sehingga keberhasilan dari suatu dialog yang demikian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh seseorang mampu menjabarkan argumentasi secara logis dan menyentuh terhadap lawan diskusi maupun audience atau pendengar
If you wish to succed in presenting your argument, you must try to understand the situation of your hearer and then make your explanation and proofs clear and convincing to him. Do not make valid or general statements and then jump to your conclution. Develop your argument patiently and logically, using comparisons and examples freely to drive home your point[78]
Namun dalam perkembangan berdasarkan konteksnya, pada akhirnya konsep dialog terus mengalami beberapa perubahan terutama berkaitan dengan essensi maupun sasarannya. Dialog antar agama pada akhirnya dipahami sebagai upaya untuk mencari jalan keluar terhadap konflik-konflik yang ditimbulkan oleh keberagaman kepercayaan :
Religious pluralism is sometimes used as a synonym for interfaith dialogue. Interfaith dialogue refers to dialogue between members of different religions for the goal of reducing conflicts between their religions and to achieve agreed-upon, mutually desirable goals. Inter-religious dialogue is difficult if partners adopt a position of particularism, ie if they only care about the concerns of their own group, but is favoured by the opposite attitude of universalism, where care is taken for the concerns of others. Interfaith dialogue is easier if a religion's adherents have some form of inclusive- ism, the belief that people in other religions may also have a way to salvation, even though the fullness of salvation can be achieved only in one's own religion. Conversely, believers with an exclusivist mindset will rather tend to proselytise followers of other religions, than seek an open-ended dialogue with them.[79]
Untuk konteks Indonesia, dialog terus diupayakan sebagai suatu wacana dengan maksud saling memahami karakteristik keyakinan orang lain, dan mencari pengertian yang tepat dan jujur tentang hal itu seperti yang diungkapkan oleh DC Mulder bahwa dialog adalah
Suatu percakapan atau pertemuan dimana orang-orang yang berbeda agama berusaha dengan sungguh-sungguh untuk paham memahami pandangan-pandangan yang dianut. Dalam dialog itu para peserta berusaha untuk mendengarkan dan berbicara, berbicara dan mendengarkan. Mereka mencari pengertian yang tepat dan jujur tentang agama orang lain[80].
Pemahaman ini juga didukung oleh beberapa tokoh Kristen dari golongan arus utama (oikumenikal) yang inklusif dan cenderung pluralis terhadap keragaman dan dialog, Weinata Sairin misalnya berpandangan bahwa dialog merupakan suatu percakapan yang bertolak pada upaya untuk mengerti mitra percakapan dengan, saling mendengar pendapat masing-masing. Dialog karena itu merupakan pertukaran pikiran yang di dalamnya peserta mengungkapkan pendapatnya/keyakinannya, mempertimbangkannya dan berusaha memahami pendapat orang lain.[81]
Pandangan-pandangan yang terus mengalami perubahan dan cenderung terbuka tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir Kristen seperti misalnya Choan Seng Song dan Pannikar yang cenderung menyetujui kalau dialog merupakan suatu perjumpaan yang sejati dengan orang lain, kepercayaan dan ideology lain, dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang kita telah pelajari sehingga pada akhirnya Song mengkritisi pemahaman yang telah dikembangkan selama ini oleh kekristenan (secara khusus kelompok ekslusivism) agar kekristenan mengalami pertobatan dialogis, yaitu berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk mengubah iman iman kepercayaan lain dan melangkah masuk kedalam kehidupan mitra-mitra dialog.[82] Berdasarkan beberapa pandangan tersebut maka dapatlah kita menyimpulkan bahwa dialog adalah suatu komunikasi aktif, multi arah, jujur, dan terbuka di antara pemeluk agama yang berbeda, yang didorong oleh keinginan luhur yaitu menciptakan kerukunan antar umat beragama.
2. Karakteristik dan Model-Model Dialog
Sangat beralasan jika beberapa tokoh menyatakan bahwa dialog agama merupakan sebuah obsesi-obsesi positif tertentu yang diperlukan sebagai salah satu pendekatan alternatif sehingga perlu adanya pembelajaran terhadap aturan-aturan yang perlu dijaga jika sebuah dialog mau berhasil, karena jika dialog hanya dipakai sebagai alat untuk membujuk agar seseorang atau kelompok tertentu masuk agama tertentu, atau bahkan dijadikan sebagai alat pemersatu keragaman hal ini adalah mustahil karena sangat tidak mungkin menyatukan agama-agama yang saling mempertahankan keunikannya sendiri-sendiri. Dialog masih terus dikembangkan untuk maksud-maksud dan konteks tertentu, misalnya Winata Sairin[83] mengemukakan dua model dialog yaitu dialog Formal, yang membahas suatu tema tertentu dalam suatu pertemuan yang pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-masing, dan kedua adalah dialog Informal, yang terjadi dalam bentuk-bentuk pergaulan, kerja sama dan hubungan social antar umat beragama melalui kesempatan itu mereka saling mengenal satu sama lainnya. Dalam pendekatan dialog kedua itulah kekristenan dapat terlibat lebih banyak, namun diperlukan beberapa pertimbangan yang matang tentang
- Pendalaman tentang isi kepercayaan/agama sendiri, menjelaskan secara jujur baik yang bersifat doctrinal, maupun tradisi.
- Pemahaman terhadap agama lain.
- Sikap saling menghormati tanpa memandang latar mayoritas dan minoritas.
- Dialog bukan berarti merelatifkan injil atau menuju kepada sinkretisme, dialog bukan pengganti atau identik dari misi tetapi melaluina kesaksian Kristiani bisa diungkapkan.
Tidak terlalu berbeda dengan Weinata[84], Victor I.Tanja salah seorang tokoh yang cenderung pluralis mengemukakan empat model dialog[85] yang selama ini telah dilakukan dan akan terus diupayakan untuk dilakukan, yaitu :
q Dialog kehidupan, merupakan perjumpaan yang terjadi antar pemeluk agama pada taraf kehidupan, tidak dimaksudkan untuk terjadi pertukaran pengalaman keagamaan secara eksplisit, namun saling membagi nilai-nilai dan kaidah-kaidah keagamaan yang dapat memperkaya hidup.
q Dialog melalui Percakapan, merupakan dialog dengan melalui percakapan antar pribadi yang berbeda agama tentang ajaran agama masing-masing. Dialog ini merupakan dialog yang bersifat elit karena biasanya bersifat tidak pragtis, namun keunggulan bisa mempertemukan suatu pola piker yang lebih baik.
q Dialog spiritualitas, merupakan dialog yang menembus aspek spiritual dengan melakukan sharing pengalaman spiritual.
q Dialog dalam tindakan, dialog yang diimplementasikan melalui aksi, menekankan kerjasama, dan kebersamaan dalam kehidupan pragtis.
Memang ada begitu banyak model dialog yang berkembang, namun hal terpenting sekarang ini yang patut untuk dipikirkan kembali adalah aspek kesiapan setiap orang untuk hidup secara damai berdampingan dengan yang lain, dan melakukan dialog itu dengan fair dan terbuka, tanpa ada prasangka buruk seperti yang dikemukakan oleh Eka Darmaputera bahwa
The problem is : we are ready to do so? My general impression is, we are not perhaps we are ready to live together side by side peacefully but without any real interaction, perhaps we are ready to relate ourselves with others in a polemical and apologetical way or perhaps we are even ready ti live in tension and conflict with others. But are we sincerely enter into a dialogical relationship with others? Ready to accept others as they are? Ready to speak with and to listen to them? Ready to give and to receive? Agree to disegree without closing the possibility to continue the dialog and communication? Dialog needs of course, psychological readiness but it also needs theological readiness. Thus, for axample, we must ask ourselves, who is really our partner in dialog? Are they our neigbours or our rivals? Are they God’s beloved ones or the cursed ones? Do their existence and presence have a meaning at all before God.[86]
Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ada begitu banyak model dialog antar agama yang selama ini pernah dilakukan dalam konteks masyarakat di Indonesia, namun dalam pembahasan ini sebenarnya kita tidak bisa menolak tiga usulan model dialog yang multi tujuan dari Henri Efferin[87], yaitu
q Pertama, Dialog untuk membangun hubungan kemanusiaan, menyingkirkan keterasingan dan saling penghargaan.
q Kedua, dialog untuk memahami konsep kebenaran. Termasuk pemahaman tentang doktrin.
q Ketiga, dialog untuk melakukan proyek pembangunan yang bermanfaat bersama-sama.
Ketiga model dialog tersebut sangat representatif dalam merealisasikan cita-cita bersama yaitu menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, karena di satu sisi setiap agama tidak perlu mengalami ketakutan terhadap polemik yang kemungkinan dimunculkan dalam suatu dialog, dan di sisi lain setiap umat beragama dapat secara co-eksisten hidup bersama dalam kerja sama yang saling menguntungkan.
3. Kontribusi Pendekatan Dialogis Dalam Kehidupan Beragama Di Indonesia
Beberapa kalangan evangelical yang cenderung ekslusive sedikit pesimis bila melalui dialog itu sendiri dapat mereduksi permasalahan yang sedang mengancam kerukunan antar umat beragama di Indonesia, misalnya saja tokoh yang paling banyak bersuara menentang Pluralisme, Stevri Lumintang beranggapan bahwa dialog, tanpa di sadari telah berubah arti dan hakekatnya yaitu dari suatu wadah persekutuan antar umat beragama kini menjadi suatu usaha memahami sampai pada taraf menerima keabsahan dan kebenaran semua agama.[88] Masih menurut Stevri, konsep dan praktik pendekatan dialogis sesungguhnya merupakan pendekatan yang berbahaya bagi semua agama karena menurutnya pendekatan ini tidak hanya menganjurkan untuk tidak mempercayai kebenarannya sendiri dan kalaupun mengakuinya hanya sebagian saja sehingga harus dilengkapi dengan kebenaran agama lain. Pendekatan ini menghancurkan semua agama.[89] Memang kaum ekslusive tidak menolak perlu diadakannya dialog karena bagi merekapun dialog dianggap sebagai salah satu dari tugas gereja (orang percaya) sebagai alat memberitakan Firman kepada dunia. Jadi bagi mereka dalam dialog harus selalu ada proklamasi Injil yang berpusat pada finalitas Kristus. Pandangan ini tidak mengharamkan suatu dialog, asal saja dalam dialog itu dengan cara apapun yang penting Injil disampaikan atau dalam istilah lain. Dialog dianggap sebagai salah satu metode penginjilan.
Secara de facto dialog antar umat beragama memang belum menampakkan hasil yang cukup signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap kerukunan di Indonesia, buktinya dalam tiga puluh tahun terakhir ini masih saja banyak gereja yang dibakar, dirusak, diresolusi bahkan tahun 90-an kondisi ini semakin memuncak. Menurut Franz Magnis Suseno fakta dialog menunjukkan bahwa biasanya tema dan terms of reference cukup baik, makalah-makalah bercorak sloganistic dan normative yang cenderung menjunjung tinggi toleransi, namun pada akhirnya wakil dari agama minoritas seringkali menjadi terdakwa dan sasaran serangan dari mayoritas. Dari fakta ini menunjukkan bahwa sikap dasar yang diandaikan dalam sebuah dialog belum ada, kadang sulit menghindari kesan bahwa mereka yang berbicara dari posisi kuat semakin tidak merasa perlu menyembunyikan agresi-agresi yang mereka rasakan. Dialog lalu bisa merosot menjadi kesempatan untuk menghantam yang tidak dapat memukul kembali. Kenyataan ini tidak berarti bahwa dialog menghadapi jalan buntu dan tidak relevan lagi, justru hal ini mendorong bagi setiap pemimpin agama untuk tidak banyak berharap sesuatu yang tidak mungkin diberikan oleh dialog itu sendiri sehingga perlu adanya pengertian terhadap perbedaan sosiologis, budaya, dan visi sejarah. Mulder pernah menyarankan agar tidak menghindari suatu dialog yang bersifat teologis filosofis sekalipun, meskipun akan jauh dari kesepakatan bersama mengenai kebenaran religius sehingga sering yang dicapai adalah “agree to disegree”, namun ini justru akan menetapkan suatu kaidah-kaidah yang berlaku dalam dialog yang baik, misalnya
- Kita berusaha untuk menerima pengertian yang sebaik mungkin tentang keyakinan orang lain dengan melepaskan prasangka-prasangka dan pra-anggapan-pra anggapan mengenai agama lain.
- Kita berbicara dengan jujur mengenai agama kita sendiri dengan tidak menyembunyikan kelemahan-kelamahan kita.
- Kita sanggup belajar dari agama lain.[90]
Pandangan Mulder ini juga disokong oleh pandangan Victor I.Tanja yang dengan tegas menyatakan bahwa dialog apapun bentuknya, memunculkan suatu pengalaman baru, yakni dari orang-orang beragama lain dengan mengalami pengalaman keagamaan lain itu maka seseorang dapat mengalami penyuluhan pengalaman keagamaannya sendiri.[91] Pandangan Viktor memang tidak sepenuhnya benar, namun hal ini juga tidak sepenuhnya salah sebab bagaimanapun juga melalui dialog itu, tidak satupun yang tidak menunjukkan titik-titik kelemahan baik yang menyangkut pemahaman kita tentang iman kita sendiri maupun praksisnya dalam masyarakat yang majemuk.
4. Relevansi Apologia Kristen Dalam Dialog Antar Agama
Bertolak pada penjabaran sebelumnya, seolah-olah umat Kristen menghadapi tantangan yang paradoksal karena di satu pihak kita mendapat mandat untuk senantiasa bersiap sedia memberikan pertanggung jawaban iman (berapologia) kepada siapapun, namun di satu pihak dalam konteks sosiopolitik sebagai warga negara perlu mewujudkan suatu kehidupan berdampingan yang harmonis dengan pemeluk agama lain, yang salah satunya diupayakan melalui pendekatan dialogis. Permasalahan yang muncul adalah bahwa dalam dialog, seolah-olah menuntut kita untuk hadir di dalamnya dan berada pada posisi yang netral, penuh penghargaan terhadap keragaman keyakinan, dan toleran dengan klaim-klaim kebenaran agama lain, sehingga upaya membenarkan diri atau dalam istilah lain mengabsolutkan kayakinan diri sendiri, dan berusaha membela diri, sedapat mungkin atau semaksimal mungkin untuk dapat dihindari dengan tujuan menjadikan dialog itu menjadi berhasil. Apologia seolah menjadi salah satu penghambat dalam mencapai kesuksesan suatu dialog karena akan memunculkan polemik yang baru. Pada dasarnya pandangan yang demikian tidak selalu benar. Apologia masih relevan untuk konteks dialog masa kini karena di dalamnya tidak ada kontradiksi dengan esensi maupun tujuan dari dialog itu sendiri dan justru dalam apologi itu dialog akan lebih hidup dan berwarna.
Apologia Memperkaya Dialog yang Jujur dan Terbuka
Seperti dikemukakan sebelumnya, dalam bentuk dialog guna memahami konsep kebenaran termasuk pemahaman tentang doctrinal, diperlukan suatu diskusi yang masing-masing memaparkan suatu pengajaran-pengajaran yang fundamental mengenai topik seperti yang telah disepakati bersama dalam term reference. Tentu saja dalam dialog tidak hanya terjadi presentasi-presentasi doctrinal semata dan kemudian para pendengar, yang adalah penganut agama lain dituntut menghargai dan mengabsahkannya tanpa perlu adanya klarifikasi-klarifikasi yang ditimbulkan oleh perbedaan pressuposisi, kerangka berfikir, maupun control belief masing-masing. Dalam dialog yang jujur dan terbuka pintu terbuka lebar untuk klarifikasi, kritik, maupun sanggahan meskipun arah tujuannya bukanlah untuk mencari-cari kesalahan, meremehkan pengajaran agama tertertentu, melainkan untuk melihat titik kelemahan diri sendiri dan mencari kebenaran-kebenaran yang Allah juga wahyukan kepada agama lain seperti yang oleh Arthur Holmes nyatakan bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah dimanapun itu ditemukan.[92] Dalam diskusi berkaitan dengan usaha mencermati kerusuhan yang terjadi di Tasikmalaya dan beberapa wilayah di Indonesia, Abdulrahman Wahid pernah menyatakan bahwa perbedaan interpretasi terhadap Allah dan pengajaran-pengajaran tentang Allah seharusnya tidak menjadi alat pemecah belah dan pertimbangan untuk saling mengkafirkan yang lain, sehingga apologia seharusnya menjadi sebagai alat untuk mengklarifikasi terhadap perbedaan tersebut.[93]
Apologia memiliki peran dalam menjawab setiap keberatan, klarifikasi, maupun sanggahan, sehingga melaluinya orang lain memperoleh bahan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan dalam setiap pengambilan keputusan. Apologia tidak dimaksudkan untuk membujuk orang lain agar percaya dan mengadopsi keyakinan kita, tetapi di dalamnya menyediakan alasan-alasan yang mendasari seseorang meyakini akan sesuatu, meskipun tidak menuntup kemungkinan salah satu sasaran dari apologia adalah meyakinkan orang lain tentang apa yang telah kita yakini.
Apologia Sebagai Upaya Mewujudkan Tugas Gereja Melalui Dialog
Telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya bahwa pendekatann dialogis oleh sebagian orang Kristen secara khusus golongan yang ekslusif dipandang sebagai salah satu alat untuk mewujudkan tugas gereja yaitu menjadi saksi Kristus, sehingga dalam dialog, apologia merupakan bagian dalam tugas tersebut. Eddy Paimoen dalam disertasinya menyatakan bahwa
in a world of religious pluralism and competing claims of truth, Christians must be prepared to witness to their faith in any context and to give an answer to anyone who ask for reason for the Christian hope. This demands and implies the principle of dialog. In English usage, implies conversation and exchange of ideas. Jesus used conversational dialogue as the teaching method. So did the apostle Paul. But dialogue in the Socratic and Greek sense of discussion with a view to the discovery of truth is not to be found in the Old and New Testament.[94]
Menurutnya dialog merupakan suatu pembicaraan dan pertukaran ide, dimana masing-masing dilegalkan untuk menyatakan keyakinan maupun memberi jawaban atas keyakinannya. Pandangan ini bertolak pada keteladanan Yesus yang menggunakan metode dialog dan apologia sebagai bagi dari salah satu metode pengajaranNya.
Bagi beberapa tokoh yang berposisi pada pandangan tersebut di atas, dialog semata-mata dipahami sebagai suatu metode untuk dapat mendengarkan orang lain dengan baik dengan tujuan agar mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai pemahaman/keyakinan dasar dari orang lain sehingga kita mampu menangkap kebutuhan dasariah mereka dalam hal keyakinan tersebut “for Christian, dialogue is a method of mutual listening, as well as speaking, in order to understand the basics of beliefs or main points of the subject matter and the needs of others”[95] sehingga bertolak dari hal ini, maka tujuan atau sasaran dialog adalah berupaya untuk membangun jembatan guna menyampaikan injil seperti yang dinyatakan oleh Kraemer “its aim is to build brindges and to understand men of other faiths so as to communicate the gospel compassionately, persuasively, and effectively in any context”[96].
Jadi bertolak pada pemahaman bahwa setiap orang Kristen adalah saksi-saksi Kristus dan perlu mengejawantahkannya dalam masyarakat yang mejemuk ini, maka dialog dipahami sebagai suatu peluang untuk mengaktualisasikan tugas tersebut, dan apologia merupakan unsure atau aspek yang mutlak diperlukan agar tugas tersebut dapat dikerjakan secara efektif.
Apologia Menyediakan Dasar Bagi Dialog Sejati
Meskipun dalam pemaparan sebelumnya dijelaskan bahwa apologia relevan, berdasarkan pertimbangan bahwa dialog dipahami sebagai sarana untuk menyampaikan berita tentang pengajaran fundamental dari iman Kristen, namun bukan berarti setiap dialog haruslah demikian idealnya. Ada begitu banyak pertimbangan yang seharusnya dipahami secara mendalam oleh setiap orang percaya berkaitan dengan tugas ‘menjadi saksi”tersebut, sebab pemahaman yang salah justru dapat menimbulkan permasalahan yang sangat fatal. Hal ini pernah diungkapkan oleh W.Bonar Sirait bahwa
The awareness of the life of a Christian as a witness, or as a bearer of testimony for some thing; is quite decisive in the issue of religious tolerance. The misunderstanding of the implications of witness will eventually engender in tolerance attitude to others. Particulary at the present the Christians should realized that their life as a Christians is merely to be token for something that took place in the act of Jesus. Without being the victims of any kind of fatalistic views of life, they should know the proper place their destiny in the world. The nature of our twentieth century forces us back to realized this, just as the Christians in the early centuries were aware of their task of witnessing. It ought to be mentioned, that these have been many occasions when tha later Christian were not conscious of this task, be it due to misunderstanding of the Gospel, or on account of the assimilation of other elements into Christianity.
To mention in advance, there was a time when the Christians thought that their task was to prove the superiority of Christianity over every other form of religion and philosophy. This they did either in the quasi-scientific manner or in show arrogant condemnations of other religions and philosophies. These “defender of faith” proved to have failed, curiously enough to the advantage of the church. Hence, we may state that the present return to the life of witnessing in the churches and the world may be caused either by the real understanding of the “kerygma” itself or because of the failure of those so called “defender of faith” in their plea for superiority of Christianity over other religions and philosipies[97].
Meskipun Bonar Sirait dalam pernyataannya secara jelas menolak konsep apologia dalam dialog karena rentan menimbulkan kesalahpahaman, sehingga menganjurkan untuk mengimplementasikan tugas “menjadi saksi” untuk masa kini melalui pemahaman dan karya nyata yang benar tentang konsep “kerygma”, dan pandangan yang demikian tidak sepenuhnya dapat diterima karena beberapa alasan namun, beliau mengingatkan bahwa kesalahan mungkin saja terjadi melalui apologia dalam suatu dialog, jika kita tidak memahami secara benar mengenai konsep “bersaksi” maupun konteks dialog yang mungkin saja akan menghancurkan banyak hal positif yang selama ini telah kita bangun untuk mewujudkan amanat agung tersebut.
Pemahaman dan praktik apologia dalam dialog harusnya diarahkan kepada argumentasi yang bersifat “defense” atau pertahanan (pertanggung jawaban verbal) sesuai dengan hakekat apologi itu sendiri, bukan yang oleh beberapa tokoh sebut sebagai “apologetis polemis”[98] atau mempertahankan keyakinan iman lalu menyerang keyakinan lain sebagaimana terjadi selama ini dalam dialog-dialog antar agama di negara kita. Apologia justru menjadikan dialog itu beranjak dari anggapan bahwa tiap-tiap agama mempunyai tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak dapat dinisbikan. Perumusan kembali tidak akan menghilangkan perbedaan, namun dengan membiarkan pembahasan teologi kita dipengaruhi teologi agama lain sehingga kita terpaksa menjadi makin jujur dan lebih memperdalam kehidupan rohani kita. Prasyarat untuk dialog bukanya menyelaraskan semua keyakinan, melainkan pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang teguh dan mutlak dan bahwa keyakinan-keyakinan ini berbeda dan di sinilah apologia itu berperan.[99]
DC Mulder pernah memberikan laporan mengenai perkembangan dialog antar umat beragama di dunia dan menyatakan bahwa
Kebanyakan pertemuan itu membicarakan soal-soal yang etis sifatnya. Pokok pembicaraan yang paling utama ialah: bagaimana kita dapat hidup bersama sama dengan damai? Sumbangan apa yang dapat diberikan oleh agama kita masing-masing kepada perdamaian dan keadilan dunia dalam ini? Mungkinkah kita bekerja sama dalam perdamaian itu? Akan tetapi dengan membicarakan soal-soal etis itu, soal-soal ajaran agama memang tidak dapat dijauhi[100]
Bertolak dari praktek dialog dalam sejarah yang cenderung mengarah kepada suatu pola yang tetap, yaitu selalu menyentuh pada ranah pengajaran agama, meskipun term of referencenya beragam, jelas bahwa praktik apologia juga akan terus tetap relevan dalam segala bentuk dialog.
Apologia Kristen Mengarahkan Dialog Kepada Rekonsiliasi
Agama-agama samawi yang berkembang di dunia ini, yaitu Yudaisme, Kristen (Khatolik maupun Protestan), dan Islam, memiliki akar yang sama dalam berbagai aspek, namun sangat disayangkan karena kesamaan akar inilah yang justru seringkali menjadi akar pemicu perpecahan di antara ketiganya. Perpecahan dan kekerasan timbul karena masing-masing memiliki klaim ekslusif yang dianggap melampaui klaim-klaim yang ada pada keyakinan yang lainnya, keadaan ini terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama antara Kristen-Islam karena keduanya merupakan agama-agama yang terkenal memiliki jiwa missioner tinggi.
Eksistensi Kristen- Islam pada dasarnya tidak dapat dilepaskan begitu saja karena ada begitu banyak keterkaitan di antara keduanya. Robbyanto pernah menyatakan bahwa
The existence of islam as religion since its inception cannot be divorced from Christianity. To admitted or not, it is from the Al Quran it self as the Islam ultimate authority that we can find many hints, which expose the fact that there are resembling figures and accounts as those of the bible. These happen especially concerning several Old Testament stories such as of Abraham, Isaac, Jacob, Ishmael, and Joseph, and of the birth of Jesus story. Despite the denial of muslim scholars who asserted that these similiarities were not borrowed from the Bible, most Christian scholars/theologians believed that Mohhamad picked up those stories directly or indirect from Christian sources and then reinterpreted and reinvented them according to his own purpose and agenda.[101]
Kesamaan dalam kaitannya dengan beberapa pengajaran maupun cerita dalam kedua kitab suci keduanya, meskipun berbeda dalam penyampaian dan tujuannya didasarkan pada konteks penulisannya, namun hal ini merupakan suatu aspek yang positif yang dapat dijadikan dasar berpijak untuk membangun sutu hubungan yang telah rusak agar menjadi lebih baik. Eddy Paimoen menyatakan bahwa jikalau diteliti melalui pendekatan teologis, histories, biologis, sosiologis, dan anthropologis, maka yang dapat dikategorikan menjadi keturunan Abraham adalah keturunan Ishak, Ismael, anak-anak Abraham yang lain dan orang-orang percaya kepada Yesus. Apabila memang benar demikian, maka bangsa Israel, Arab, dan orang-orang Kristen adalah pewaris-pewaris Abraham. Hal ini tidak bicara tentang hokum taurat, tetapi berbicara tentang garis keturunan Abraham dan janji Allah kepadanya. Maka jikalau orang Kristen, Yudaisme, dan islam dapat duduk bersama-sama, berbincang bersama-sama, serta tidak saling mengklaim dan menghakimi, mereka akan menemukan rahasia besar yang selama ini belum terungkap.[102]
Pernyataan ini bukanlah sebuah legitimasi terhadap pluralisme agama yang mengabsahkan semua klaim keagamaan, namun sebuah tantangan besar yang diperhadapkan kepada tiga agama besar tersebut dalam menciptakan dunia yang jauh lebih baik.
Bertolak dari pandangan tersebut diperlukan suatu pertanggung jawaban iman atas setiap kesamaan sumber berita dalam masing-masing kitab suci yang diklaim oleh setiap penganutnya memiliki otoritas final. Melalui dialog inilah, dengan penuh kedewasaan berfikir ilmiah setiap orang berapologia membuktikan kesahihan pengajaran dari sudut pandangnya, sehingga dengan hati dan pikiran terbuka dengan rela membangun suatu rekonsiliasi, bukan dalam arti menyatukan semua system keagamaan namun kesadaran penuh akan sikap dan prilaku keagamaan yang selama ini diwarnai dengan kecurigaan, saling menyalahkan, pembenaran diri sendiri, mengembangkan rasa permusuhan, provikatif dan sebagainya, dan mengantikannya dengan mengembangkan rasa persaudaran dan rasa saling memiliki seperti perbedaan dalam keluarga yang menyatukan.
Daftar Pustaka
Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, Surabaya : Momentum, 2000
Bagus. Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002
Benson. Clarence H., Christian Teacher, Chicago : Moody Press, 1950
BF.Drewes, et al, Kunci Bahasa Yunani, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006
Charles F.Pfeiffer, Wycliff Bible Commentary, Malang : Gandum Mas, 2001
CS Song, Tell Us Our Name: A Story Theology From an Asia Perspective, (MaryKnoll : Orbis Book, 1986
Cully. Iris V, Dinamika Pendidikan Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989
David Lochhead, The Dialogical Imperative: A Christian Reflection on Interfaith Encounter, Maryknoll : Orbis Books, 1988
DC Mulder, Pengalaman-Pengalaman Mengenai Dialog Agama dari Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, (Yogjakarta : Universitas Duta Wacana, 1994
Eddy Paimoen, Christian Responsibility in Nation Building : The Church and The State in Indonesia Today, Bogor : Kasih Abadi, 2007
Edward V.Stanford, Foundations Of Christian Belief : an Introductory Course in Apologetics, Westminster : The Newman Press, 1962
Enklaar. I.H., EG Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunugn Mulia, 1996
F. Suleeman, Ioanes Rahmat, Masihkan Benih Tersimpan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1990
Gangel. Kenneth O., The Church Education Handbook, Illionis: Victor Books, 1985
____________., Leadership For Church Education, Chicago : Moody Press,1973
Gerald O’Collins SJ, Edward G.Farrugia,SJ, Kamus Teologi, Jakarta : Kanisius, 1996
Graendorf . Werner G., Introduction To Biblical Christian Education, Chicago: Moody Press, 1981
H.Kraemer, The Christian Message in a Non-Christian World, New York : International Missionary Council and Harper, 1938
Hakes. J.Edward, An Introduction To Evangelical Chrisrian Education, Chicago: Moody Press, 1978
Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama Jogjakarta : Kanisius, 1989
Jan S.Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005
Karel A.Steen Brink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern (IAIN Sunan Kalijaga,
Miller. Randolp C., Education For Christian Living, New Jersey : Prentice Hall Inc, 1956.
Nuhamara . Daniel, Materi Pokok Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, Jakarta :DIRJEN BIMAS Protestan, 1994
PD.Latuihamallo, Konteks Berteologi di Indonesiai, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004
Person. Peter P, An Introduction To Christian Education, Michigan: Baker Book House, 1959
Peter Kreefts, Ronald K.Tacelli, Pedoman Apologetik Kristen I, Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2000
Redaksi PAK-PGI, Suluh Siswa, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997
Richard. Lawrence O, Christian Education, Michigan: Ministry Resources Library, 1975
Sidjabat. B.Samuel, Menjadi Guru Profesional Dalam Perspektif Kristiani, Bandung : Kalam Hidup, 1993
Sidjabat. B.Samuel, Strategi Pendidikan Kristen, Yogyakarta : Yayasan ANDI, 1996
Stevri Indra Lumintang, Teologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, Malang : Gandum Mas, 2004
Tanya. Eli, Gereja Dan Pendidikan Agama Kristen, Cipanas : STT Cipanas, 1999
Taylor. J.Marvin, Changing Pattern Of Religious Education, Abingdon : n.p, 1984
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Victor I.Tanja, Spiritualitas, Pluralitas & Pembangunan Indonesia, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996
W.Bonar Sirait, Religious Tolerance and the Christian Faith, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1982
Weinata Sairin, Iman Kristen & Pergumulan Kekinian, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996
Artikel :
http://pakobserver.net/200910/13/news/world05.asp
Lensa : Jurnal STT Cipanas edisi Maret 2007
Jurnal Amanat Agung, April 2006
Victor Silaen, Sisi Lain Agama Dalam Masyarakat Majemuk, Majalah TAMPIL edisi Juni 1995
http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/apologetic
Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, (Yogjakarta : Universitas Duta Wacana, 1994
Kairos No.50/Th V/Februari 1997
Veritas Vol 4 no.2 thn 2003
http://www.weekendpost.co.za/lifestyle/food/article.aspx?id=488748
Henry Efferin dalam Diktat kuliah Pluralisme Agama di Institut Injil Indonesia.
[1] Dalam perspektif umum Yesus lebih dikenal sebagai guru atau rabi yang sangat berpengaruh pada abad pertama, dari pada sisi kenabiannya. Hampir semua sejarawan sepakat dengan kesimpulan bahwa Yesus adalah Rabi Yahudi yang fenomenal baik profil maupun pengajaranNya.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) Hlm.204.
[3] B.Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen, (Yogyakarta : Yayasan ANDI, 1996),Hlm.28
[4] Werner G.Graendorf, Introduction To Biblical Christian Education, (Chicago: Moody Press, 1981) P.16
[5] J.Edward Hakes, An Introduction To Evangelical Chrisrian Education, (Chicago: Moody Press, 1978), P.76
[6] Werner G.Graendorf, Op Cit, p. 128
[7] J.Marvin Taylor, Changing Pattern Of Religious Education, (Abingdon : n.p, 1984), p.69
[8] Clarence H.Benson, Christian Teacher, (Chicago : Moody Press, 1950),P.13
[9] J.Edward Hakes, Op Cit, P.71
[10] Lawrence O.Richard, Christian Education, (Michigan: Ministry Resources Library, 1975) P.30
[11] Kenneth O.Gangel, Leadership For Church Education, (Chicago : Moody Press,1973), P.29-30
[12] Eli Tanya, Gereja Dan Pendidikan Agama Kristen, (Cipanas : STT Cipanas, 1999), Hlm.31
[13] Daniel Nuhamara, Materi Pokok Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta :DIRJEN BIMAS Protestan, 1994). Hlm26
[14] Eli Tanya, Op Cit, Hlm. 89
[15] Randolp C.Miller, Education For Christian Living, (New Jersey : Prentice Hall Inc, 1956), P.270-271.
[16] CB.Eavey, Op Cit, P.233
[17] B.Samuel Sidjabat, Menjadi Guru Profesional Dalam Perspektif Kristiani,(Bandung : Kalam Hidup, 1993),Hlm.52
[18] Kenneth O.Gangel, The Church Education Handbook, (Illionis: Victor Books, 1985),P.158
[19] BS Sidjabat, Op Cit , Hlm.53
[20] Kenneth O.Gangel, Leadhership For Church Education, P.34
[21] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), Hlm.802
[22] Redaksi PAK-PGI, Suluh Siswa, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), Hlm.104
[23] Peter P.Person, Op Cit, P.67.
[24] J.Edward Hakes, Op Cit, p.86
[25] Ibid p.89
[26] Kenneth O.Gangel, Leadership For Church Education, P.52
[27] Werner G.Graendorf, Op Cit, p.178
[28] I.H.Enklaar, EG Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunugn Mulia, 1996),Hlm.74
[29] Werner G.Graendorf, Op Cit, p.179
[30] Ibid P.178
[31] Peter P.Person, An Introduction To Christian Education,( Michigan: Baker Book House, 1959), P.83
[32] Samuel Sidjabat, Op Cit, Hlm.91
[33] Kennet O.Gangel, Op Cit, P. 181
[34] Eli Tanya, Op Cit, Hlm 33-34
[35] Ibid.Hlm 32.
[36] Iris V.Cully, Dinamika Pendidikan Kristen, (Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1989), Hlm.49-66.
[37] Weineta Sairin, Identitas Dan Ciri Khas Pendidikan Kristen di Indonesia, (BPK:Gunung Mulia,2000)hlm.1-2
[38] Ibid,hlm.14
[39] Weinata Sairin, Identitas Dan Ciri Khas Pendidikan Kristen Di Indonesia, Hlm.19-22
[40] http://pakobserver.net/200910/13/news/world05.asp
[41] http://pakobserver.net/200910/13/news/world05.asp
[42] Bdg Victor Silaen dalam Sisi Lain Agama Dalam Masyarakat Majemuk, Majalah TAMPIL edisi Juni 1995
[43] Karena tingkat kepentingannya yang cukup urgen tersebut, dalam program pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk episode kepemimpinannya yang kedua, upaya ini juga menjadi salah satu isu sentral sehingga permasalahan toleransi antar umat beragama menjadi salah satu pembahasan utama dalam National Summit 2009.
[44] Hlm.91-100
[45] Daniel Stefanus, Pendidikan Agama Kristen Kemajemukan, (BPK : Gunung Mulia,2009)hlm.98
[46] I.Bambang Sugiarto, Posmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat, (Yogjakarta : Kanisius, 1996)hlm.24
[47] Panca W.Yahya, Pengaruh Pascamodernisme Terhadap Hermeneutika Biblika, dalam VERITAS vol.10. .Hlm119
[48] Konsep mesianik dalam konteks ini bersifat umum/universal, bukan dalam perspektif Kristiani maupun Yudaisme.
[49] lihat penjabaran lengkapnya dalam, John Naisbitt & Patricia Aburdene, Mega Trends : Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an
[50] ibid
[51] Harry Blamires, The Christian Mind : Mengenal Wawasan Kristen, (Surabaya : Momentum, 2004),hlm.3
[52] Kekekalan merupakan orientasi dari seluruh wawasan supranatural Kristen. Sebagai bacaan referensi lihat Jacques Barzun dlm The House of Intelect, Vance Packard dlm The Hidden Persuaders dan The status Seekers.
[53] Han Chul Ha, ACTS Theological Journal, vol.1 (Seoul : ACTS,1984),p.2
[54] Robert Morey, The Trinity. Evidence and Issues, (Grand Rapid: World Publishing, 1996),p.vii
[55] Istilah ini memang sangat terkesan negative dan di paksakan, namun hal ini sangat signifikan dan urgen untuk dilakukan mengingat begitu dahsyatnya sekularime mempengaruhi generasi muda kita saat ini.
[56] Pendidikan Agama Kristen Kemajemukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009),hlm.25-32
[57] Joseph Tong, Jurnal Teologi Stulos : Katholiksitas Dan Kontektualitas Gereja Dalam Hermeneutika, (Bandung : STT Bandung, 2006),hlm.4
[58] Luther pernah berkata “I simply read, teach and preach the word, I did nothing but God do everything”
[59] Sebagai bahan pembanding bdg, David J.Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004
[60] Donald G.Bloesch, Essentials Of Evangelical Theology, 2 vols.(San Fransisco: Herper, 1978),p.1-4
[61] Togardo Siburian, Op cit,hlm.19
[62] Charles H.Kraft, Christianity In Culture : A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural Perspective, (New York : Orbis Book, 1979),p.291
[63] Robert McAfee Brown, The Rootedness of All Theology : Christianity in Crisis, (n.p : n.p, 1977),p.170
[64] Branch of Christian theology devoted to the intellectual defense of faith. In Protestantism, apologetics is distinguished from polemics, the defense of a particular sect. In Roman Catholicism, apologetics refers to the defense of the whole of Catholic teaching. Apologetics has traditionally argued positively to quell believers' doubts and negatively against opposing beliefs to remove obstacles to conversion. It attempts to take objections to Christianity seriously without giving ground to skepticism. Biblical apologetics defended Christianity as the culmination of Judaism, with Jesus as the Messiah. In the 2nd and 3rd centuries a number of Christian writers defended the faith against the criticisms of Greco-Roman culture, and in the 5th century St. Augustine wrote his monumental City of God as a response to further criticisms of Christianity following the sack of Rome in 410. John Calvin's “natural theology” attempted to establish religious truths by rational argument. The late 18th-century argument that a universe exhibiting design must have a designer continues to be used; apologists have also dealt with the challenges of Darwinism, Marxism, and psychoanalysis. See also Apologist. (http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/apologetic)
[65] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),Hlm.67
[66] Gerald O’Collins SJ, Edward G.Farrugia,SJ, Kamus Teologi, (Jakarta : Kanisius, 1996),hlm.32
[67] Edward V.Stanford, Foundations Of Christian Belief : an Introductory Course in Apologetics, (Westminster : The Newman Press, 1962),p.6
[68] ibid.
[69] Ibid.P.6-7
[72] Peter Kreefts, Ronald K.Tacelli, Pedoman Apologetik Kristen I, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 2000),hlm.23
[73] bdg dengan tulisan Nindyo Sasongko dalam Veritas Vol 4 no.2 thn 2003
[74] BF.Drewes, et al, Kunci Bahasa Yunani, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006),hl.327
[75] Charles F.Pfeiffer, Wycliff Bible Commentary, (Malang : Gandum Mas, 2001),hlm.1005
[76] Gerald Collins, Op Cit.Hlm.53
[77] Edward V Stanford, Foundations of Christian Belief : an Introductory Course in Apologetic,.P.12
[78] Ibid.p12
[79] http://www.weekendpost.co.za/lifestyle/food/article.aspx?id=488748
[80] PD.Latuihamallo, Konteks Berteologi di Indonesiai, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004),Hlm.158
[81] Weinata Sairin, Iman Kristen & Pergumulan Kekinian, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996),Hlm.188
[82] CS Song, Tell Us Our Name: A Story Theology From an Asia Perspective, (MaryKnoll : Orbis Book, 1986)P.186
[83] Weinata Sairin, Iman Kristen & Pergumulan Kekinian, Hlm.188
[84] Pandangan serupa dengan Weinata dikembangkan oleh Karel A.Steen Brink dalam bukunya “Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern (IAIN Sunan Kalijaga ) yang menyatakan dua model dialog yaitu dialog dengan rumusan dokumen teologis dan yang kedua sebagai dialog dalam aspek sosiopolitik.
[85] Victor I.Tanja, Spiritualitas, Pluralitas & Pembangunan Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996),hlm.4-6
[86] F. Suleeman, Ioanes Rahmat, Masihkan Benih Tersimpan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1990),hlm.39
[87] Henry Efferin dalam presentasi kuliah Pluralisme Agama di Institut Injil Indonesia.
[88] Stevri Indra Lumintang, Teologia Abu-Abu: Pluralisme Agama, (Malang : Gandum Mas, 2004)hlm.14
[89] Ibid, Hlm.244-245
[90] PD.Latuihamallo, Konteks Berteologia di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004),hlm.163-164
[91] Victor I.Tanja, Spiritualitas, Pluralitas & Pembangunan di Indonesia, Hlm.4
[92] Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, (Surabaya : Momentum, 2000),hlm.58-59
[93] Kairos No.50/Th V/Februari 1997
[94] Eddy Paimoen, Christian Responsibility in Nation Building : The Church and The State in Indonesia Today, (Bogor : Kasih Abadi, 2007).p.173
[95] David Lochhead, The Dialogical Imperative: A Christian Reflection on Interfaith Encounter, (Maryknoll : Orbis Books, 1988),p.46
[96] H.Kraemer, The Christian Message in a Non-Christian World, (New York : International Missionary Council and Harper, 1938)
[97] W.Bonar Sirait, Religious Tolerance and the Christian Faith, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1982),p.172-172
[98] Jan S.Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005),hlm.484-485.
[99] Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama (Jogjakarta : Kanisius, 1989),hlm.75
[100] DC Mulder, Pengalaman-Pengalaman Mengenai Dialog Agama dari Dewan Gereja-Gereja Se-Dunia, dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, (Yogjakarta : Universitas Duta Wacana, 1994), hlm.75
[101] Robbyanto Notomiharjo, The Cross in The Crescent’s Eye : theology of cross in muslim context and its significances for Christian mission, hlm. 132, dalam Jurnal Amanat Agung, April 2006
[102] Eddy Paimoen, Paradigma Alternatif Berteologi di Bumi Indonesia dengan Konteksnya yang Pluralis dari Perspektif Etika Kristen, dalam Lensa : Jurnal STT Cipanas edisi Maret 2007, hlm.19