Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel Rohani 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Mei 2021

Spiritualitas Kristen

  Kajian Terhadap Pertumbuhan Spiritualitas

 

Meskipun istilah spiritualitas bukanlah istilah asli dari Alkitab, namun hakikat dan substansi dari istilah tersebut menempati hampir disebagian besar kitab-kitab dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam dunia ilmu pengetahuan ada tiga istilah spiritualitas yang dikenal seperti yang diungkapkan oleh Alfius Areng Mutak[1],yaitu

1.     Dalam agama-agama spiritualitas dimengerti sebagai search for transcendence by appeal to a higher powers. Ini dapat dilihat dari praktik-praktik spiritualitas dalam agama Hindu,Buddha, Islam dan agama suku.

2.     Spiritualitas sebagai personal fulfillment without God. Keyakinan ini timbul karena yakin bahwa spiritualitas tersedia bagi setiap orang. Ini dapat dilihat dari agama spiritisme, Zen, dan agama-agama polytheisme.

3.     Dari pandangan Kristen spiritualitas adalah “the Manner by which individually and corporately we understand our existence and live in communion with Christ and in response to the Spirit.

 

Pengertian Spiritualitas Kristen

            Ada perbedaan mendasar antara konsep spiritualitas agama-agama lain, ataupun spiritualitas yang filosofis dengan konsep spiritualitas Kristen, dan hal itu telah sedikit disinggung dalam pembahasan sebelumnya, namun dalam perspektif Kristen, menurut Chan spiritualitas dipahami sebagai cara memasuki kesatuan, mendapatkan kebebasan sebagai ciptaan baru.[2] Berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Chan yang lebih menyoroti spiritualitas dalam ranah ekspresi dari pembaharuan natur rohani orang percaya, McGrath justru menyorotinya dari aspek aktualisasi kehidupan iman. Ia berpandangan bahwa istilah spiritualitas berasal dari kata roh, dan roh itu memberikan hidup serta dorongan kepada seseorang untuk bertindak, sehingga spiritualitas Kristen berhubungan dengan hidup beriman yang mendorong atau memotivasi dan bagaimana seseorang mendapat pertolongan dan ketahanan serta semangat untuk mencapai kesempurnaan sesuai kebenaran Firman Tuhan.[3]

            Pada dasarnya spiritualitas bukanlah sebuah tindakan spontan atau incidental sebagai reaksi terhadap dorongan roh, melainkan sebagai sebuah pola atau sikap hidup yang menampilkan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan dan penguasaan diri,[4]demikian menurut Victor Tanja. Karena itu, spiritualitas Kristiani adalah pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh” dalam hubungan sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada pelayanan Roh Kudus dalam kehidupan. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang percaya,  ada komitmen yang kuat dengan memutuskan untuk menjaga agar komunikasi dengan Roh Kudus tetap terbuka melalui pengakuan dosa (1 Yohanes 1:9).[5] Jadi  spiritualitas Kristen merupakan sebuah sifat dan sikap hidup yang merupakan respon dan komitmen terhadap  dorongan dari Roh Allah untuk hidup secara sempurna seperti Kristus (Christlikeness).

 

Konsep Pertumbuhan Spiritualitas

Kedewasaan rohani merupakan kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang Kristen sejati, sebab seorang Kristen sejati seharusnya dewasa dan bertumbuh secara rohani. Kedewasaan tidak terjadi melalui suatu proses yang instan dan bersifat konstan, namun merupakan sebuah gerak dinamis ( 2 Kor 3:18; 1 Tes 4:1,10; 2 Tes 1:3) yang tercermin melalui kesempurnaan yang berarti dewasa, lengkap bukan dalam arti yang sempurna sebagai orang yang tidak berdosa, melainkan pribadi Kristen yang matang, seimbang dan dewasa[6] atau dalam istilah lain “beralih pada perkembangan yang penuh”[7]. Kematangan rohani terjadi karena adanya upaya penyadaran diri secara penuh kepada Allah, unsure mengasihi dan memuji Allah, unsure kerja sama dengan Allah, dan unsure mengerti kendak Allah dan ciptaanya, sehingga orang yang seperti inilah yang hidupnya mengandalkan Allah dan senantiasa bersekutu denganNya.[8]

Pertumbuhan rohani menyangkut banyak aspek, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dan tidak mungkin dilepas pisahkan. Alkitab mengajarkan bahwa pertumbuhan rohani mencakup banyak segi karena pada dasarnya kehidupan Kristen terdiri dari banyak aspek, namun semuanya saling berhubungan. Paulus sering berbicara tentang pertumbuhan rohani dalam segala hal (Ef 4:15) yaitu dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang Alkitab, pemikiran (aspek intelektualitas), kerendahan hati (aspek mentalitas), kejujuran (aspek moralitas), kesaksian (aspek prilaku Kristiani), doa (aspek spiritualitas), penatalayanan (aspek diakonia), kesabaran dan sebagainya.[9] kebutuhan dan kondisi yang demikian seharusnya tetap dan terus mendapat perhatian yang serius bagi seorang guru Pendidikan Agama Kristen untuk menjadi guru yang benar-benar professional dalam segala aspek.

Segala daya upaya dalam mencapai pertumbuhan rohani bukan hal yang mudah untuk dilakukan, banyak cara yang ditawarkan, namun hal ini tidak mengindikasikan bahwa seorang Kristen merupakan obyek pasif, namun subyek yang harus secara aktif bekerja keras dan berusaha dengan berlandaskan pada suatu tekad yang bulat. Seorang Kristen yang spiritual harus melakukan sesuatu dan berupaya mentaati Tuhan dalam menerapkan FirmanNya disetiap langkah hidup dan tunduk sepenuhnya pada pimpinan Roh Kudus karena hal itulah tindakan dasar dari seluruh langkah menuju kepada kedewasaan rohani.

Pertumbuhan rohani hanya mungkin tercapai jika orang-orang percaya terus menjalin hubungan yang intim dengan Allah, dengan setia menghidupi kehidupan rohaninya dengan makanan rohani yang telah Allah sediakan, yaitu Firman.[10]pertumbuhan ini merupakan suatu proses yang dilandasi oleh kesadaran penuh untuk melakukan apa yang Tuhan kehendaki dalam hidup kita melalui Firman itu, sehingga secara sederhana orang Kristen yang bertumbuh adalah orang yang memilih dengan sengaja untuk bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan, yang berarti menerima kehendak Tuhan meskipun itu mungkin bertentangan dengan kepentingan pribadi.[11]

Jadi pertumbuhan rohani atau pertumbuhan spiritualitas Kristen merupakan suatu prinsip hidup yang dengan kesadaran dan kerelaan penuh bersedia untuk mentaati kehendak Allah dalam hidup melalui Firman dengan tuntunan Roh Kudus. Pertumbuhan rohani dapat terus semakin dimantapkan melalui keterlibatan secara aktif dalam kegiatan rohani (Kol 2:8-3:1). Melalui kegiatan-kegiatan inilah hidup seorang kristen dituntun untuk secara dinamis mengalahkan kehidupan lama yang sarat dengan keinginan daging dan menyesatkan (Kolose 3:5-9).

 

Dasar Pertumbuhan Spiritualitas

            Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman dan pengalaman hidup rohani merupakan bagian integral yang saling terkait dengan erat. John Walfoord menyatakan bahwa “faith is here taken from the sum of Christian doctrin and what he imidietly adds about good doctrin, is for the sake of explanation for he means, that all others doctrines, how plausikle so ever the may be, are not at all profitable”.[12] Menurutnya iman merupakan akumulasi dari sejumlah pemahaman tentang iman Kristen. bagaimana mungkin orang dapat bertindak dengan benar jika ia sendiri tidak tahu tentang apa yang benar, bagaimana ia dapat melakukan sesuatu yang kudus jika ia tidak faham tentang kekudusan. Bertolak pada dasar pemikiran yang demikian, maka teologia menjadi sangat berperan dalam menyediakan dasar filosofis dalam setiap prilaku kehidupan Kristiani seseorang. Namun demikian tidak serta merta pengetahuan teologis sendiri cukup untuk menumbuhkan iman seseorang, diperlukan juga refleksi terhadap pengetahuan itu melalui pengalaman hidup.

            Kehidupan spiritualitas secara umum biasanya dibangun melalui proses pengalaman yang dinamis dan bersumber pada suatu kehidupan asketis.[13] Dalam konteks kekristenan pembentukan pengalaman rohani tidak hanya melalui mekanisme yang menjadikan sebuah kegiatan keseharian justru menjadi sebuah kebiasaan agamawi/habitus sebab kegiatan-kegiatan itu justru menjadi sebuah tindakan yang dilakukan tanpa kesadaran penuh atau penghayatan terhadap Tuhan. Oleh sebab itu orang-orang percaya memerlukan perjumpaan dengan Kristus secara personal atau yang oleh Hendra disebut sebagai  “lompatan imajinatif”  yang akan membangkitkan kesadaran diri dan menciptakan transformasi dalam hidup.[14]

            Perjumpaan dengan Kristus adalah dasar atau pondasi dimana pengalaman-pengalaman spiritual seseorang kemudian dibangun. Perjumpaan ini tidak selalu bersifat teofani sebab Yesus demikian kreatif dalam menyentuh setiap umatNya guna memunculkan kesadaran personal akan pentingnya sebuah kehidupan yang bertumbuh. Perjumpaan dengan kristus ini merupakan sebuah peristiwa yang unik dan rumit, disebut unik karena pengalaman rohani seseorang akan selalu berbeda dengan pengalaman orang lain, disebut rumit karena tidak aka nada sebuah kemampuan yang dapat menjelaskan fenomena itu secara akurat dan ilmiah. Namun demikian melalui perjumpaan personal dengan Kristus itu setiap orang percaya mengalami transformasi pengetahuan rohani yang dapat menuntun seseorang dalam menjalankan kehidupan praktisnya. Menurut Hendra G.Mulia[15], transformasi akibat perjumpaan personal seseorang dengan Kristus berdampak pada tiga hal,

             Pertama, seseorang akan mengalami krisis dalam hidupnya. Krisis dalam konteks ini adalah sebuah sentakan hidup yang ditimbulkan oleh masuknya sebuah pengetahuan atau paradigm baru di luar pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki selama ini. Pengalaman perjumpaan ini selalu berdampak pada perubahan paradigm yang terus bekerja dan mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan pengetahuan baru tersebut.

            Kedua, adalah proses pertentangan antara tatanan berfikir dan pengalaman yang lama dengan paradigm baru. Ide atau gagasan baru yang ditimbulkan oleh perjumpaan tersebut menjadi sebuah refleksi yang menantang paradigm lama seseorang. Ide-ide baru yang mengarahkan dan menuntun kepada kehidupan yang menuju kesempurnaan penuh seperti Kristus (Christlikness).

            Ketiga, akibat perjumpaan itu seseorang akan memiliki paradigm atau cara berfikir yang baru, yaitu cara Allah berfikir. Seorang Kristen akan melihat bagaimana Allah melihat, mendengar sebagaimana Allah mendengar dan bertindak sebagaimana Allah ingin seseorang itu lakukan.

            Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan sebagai landasan pembentukan spiritualitas Kristen oleh bambang Wijaya dipahami melalui empat pancaran. Menurutnya Spiritualitas Kristen  tersebut berpijak kepada empat dasar. Yang pertama yaitu pengenalan terhadap pribadi Tuhan melalui pengungkapan diri-Nya dalam Kitab Suci dan Kristus yang adalah inkarnasi dari Tuhan itu sendiri Yang kedua pengalaman dengan Tuhan melalui keterbukaan terhadap karya dan kehadiran Roh Kudus baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bersama sebagai umat. Yang ketiga perubahan kehidupan oleh karena pengenalan dan pengalaman bersama dengan Tuhan. Dan yang keempat adalah dampak dari relasi dengan Tuhan dalam dalam pemikiran maupun dalam perilaku kehidupan sehari-hari di dunia. Keempat pancaran tersebut dapad dijelaskan demikian,

·       Pertama, pengenalan terhadap pribadi Tuhan ini bukan bersifat sekedar suatu pengetahuan kognitif atau akademis, namun mencakup di dalamnya relasi yang menyentuh seluruh dimensi kemanusiaan kita, Sehingga dengan demikian hubungan dengan Tuhan tersebut tidak bersifat parsial atau setengah-setengah, namun bersifat holistic atau menyeluruh. Pengenalan tersebut juga berdasarkan pada acuan obyektif yaitu kebenaran Kitab Suci dan pribadi Yesus Kristus yang bersifat historical, Sebab tanpa acuan obyektif, maka tak akan mungkin bagi kita untuk mengembangkan moralitas apalagi spiritualitas. Hal ini sangat mudah untuk dipahami, sebab tanpa acuan kebenaran yang obyektif dan absolut tidak mungkin dikembangkan suatu moralitas dan spiritualitas yang universal

·       Kedua, pengalaman dengan Tuhan ini tak dapat diabaikan, sebab secara praksis dalam konteks masyarakat postmodem faktor pengalaman sangatlah penting[16]. Di sisi lain pengalaman ini juga menegaskan bahwa Tuhan yang dari padanya kehidupan manusia bersumber bukanlah sekedar suatu “impersonal power”, konsep ataupun imajinasi, namun benar-benar suatu pribadi yang eksis dan masih terus berkarya di dunia sampai saat sekarang, Pengalaman tersebut haruslah dalam konteks pribadi, sebab Tuhan menghargai manusia sebagai pribadi individual, namun juga harus dalam konteks komunal, sebab bukan saja hal tersebut merefleksikan sifat Trinitarian Tuhan namun juga hanya melaluinya transformasi kehidupan dapat terjadi.

·       Ketiga, transformasi kehidupan oleh karena pengenalan dan pengalaman bersama Tuhan tersebutlah yang akan membawa perubahan trancendental dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, melaluinya manusia akan mengalami perubahan untuk mencapai panggilan dirinya yang sejati

·       Keempat, relasi dengan Tuhan baik oleh pengenalan dan pengalaman bersama dengan Dia tersebut harus termanifestasikan dalam pola pikir dan kehidupan sehari-hari, sebab hanya dengan demikian barulah dapat dikatakan bahwa relasi tersebut bersifat otentik. Manifestasi spiritualitas ini bukan hanya dalam sebatas kehidupan beribadah, namun dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, dalam dunia kerja, dalam dunia berumah tangga, juga dalam dunia politik dan budaya.[17]

Dinamika pertumbuhan spiritualitas Kristen yang sejati harus dibangun di atas dasar yang tepat, karena spiritualitas yang dikembangkan melalui upaya-upaya mekanis, asketis, maupun mistis di luar konsep yang diajarkan oleh Allah akan membawa manusia semakin jauh dari Allah. Oleh karenanya pengalaman perjumpaan dengan Tuhan (personal encounter with Christ) adalah secara signifikan dan mutlah menjadi prasyarat utamanya.

 

 

Karakteristik Pertumbuhan Spiritualitas Kristen

            Spiritualitas Kristen dibangun di atas dasar penyataan Allah dan pemahaman teologis yang Alkitabiah, sehingga hal ini membedakannya dengan spiritualitas yang ditemukan di luar kekristenan. Meskipun pancaran dari spiritualitas Kristen dengan spiritualitas lain hampir mirip, namun hal itu tidak mengindikasikan kesamaan substansi dan nilainya, oleh sebab itu karakteristik spiritualitas Kristen yang membedakannya dengan yang lain adalah :

 

 

 

Bersyaratkan Kelahiran Baru

            Perbedaan mendasar antara orang-orang Kristen dengan orang lain adalah perbedaan naturnya. Natur itu pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap tujuan dan orientasi hidup manusia, termasuk spiritualitasnya. Orang percaya merupakan “ciptaan baru” di dalam Kristus sedangkan di luar itu semua manusia adalah berdosa, naturnya adalah budak-bidak dosa (enslaved sinner) sehingga orientasi hidupnya tidak akan pernah sesuai dengan kekudusan Allah, demikian pula spiritualitasnyapun berkembang di luar lingkup anugerah dan hokum Allah.

            Proses kelahiran baru dilatar belakangi oleh masuknya masalah terbesar manusia ke dunia dan menghantuinya sepanjang masa yaitu kematian, hal ini merupakan dampak kematian manusia dalam kesalahan dan dosa-dosanya (Ef 2:1; 1 Kor 15:22). Solusi dari permasalahan ini adalah penanaman kembali kehidupan yang ilahi yang disebut sebagai regenerasi atau kelahiran kembali secara rohani. Ada bermacam-macam istilah yang mengungkapkan konsep ini di antaranya, dilahirkan kembali (Yoh 3:3), dilahirkan dari air dan Roh (Yoh 3:5), penciptaan kembali (Mat 19:28), dihidupkan dari mati (Ef 2:5), pembaharuan manusia batin (2 Kor 4:16), mengenakan manusia baru (Ef 4:25), dan lain sebagainya. Untuk mendapatkan pemahaman tentang konsep ini kita harus melakukan suatu penelitian terhadap istilah Yunaninya dan juga hubungan antara konsep-konsep tersebut, karena kita tidak akan pernah menemukan latar belakang ataupun istilah lahir baru dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama “ a biblical theological approach to regenaration begins with an examination of the New Testament word and its related concepts; there is no word for regenaration in the Old Testament.[18]

            Istilah kelahiran baru berasal dari istilah genethe anothen yang artinya lahir kembali (Yoh 3:3,5). Dan juga dari kata paliggenesia yang memiliki dua makna, yaitu :

·       Secara umum : menunjuk kepada pembaharuan segala sesuatu, pembaharua alam semesta yang terjadi pada Kedatangan Kristus kedua kali (Mat 19:28, Tit 3:5)

·       Secara khusus : karya Tuhan yang dikerjakan secara langsung dengan perantaraan Roh Kudus untuk mencurahkan hidup baru dalam diri seorang manusia, yang semula mati secara rohani sehingga hidup kembali dengan esensi yang baru.

           Secara teologis istilah ini memiliki makna bahwa kelahiran baru adalah aktifitas Roh Allah yang memberikan kodrat baru kepada seseorang didasari oleh karena ia telah menerima Yesus Kristus, sehingga secara prinsip kelompok reformed dan injili berpandangan (melalui pengakuan yang termaktub dalam Westminster Confession) bahwa kelahiran baru merupakan :

·       Regenaration an act of God

·       Regenaration an act of God’s Power

·       Regeneration is a new life (in regeneration a new life is communicated to the soul, man is the subject of new birth, he receives a new nature or new heart and becomes a new creature).[19]

            Berdasarkan latar belakang inilah dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Kristen dapat menghasilkan buah-buak perbuatan yang baik dan benar, serta berkenan kepada Allah karena hanya orang-orang yang sudah lahir barulah yang memiliki kuasa dan mampu berbuat yang demikian (Yoh 1:12). Sedangkan spiritualitas yang dibangun di luar konsep itu adalah kesesatan (Efesus 2:1).

 

Berfokus Pada Kristus (Kristosentris)

Seluruh orientasi kekristenan berpusat pada Kristus, sehingga dasar, prosedur, tujuan dan mekanisme pertumbuhan spiritualitas Kristen diarahkan kepada pribadi Yesus. Pada studi teologi sistematika dan dogmatika dikemukakan bahwa fakta ketika kita membahas tentang siapa Yesus dan apa yang dilakukanNya, maka kita berada pada suatu pusat dari seluruh teologia dan kehidupan Kristen, hal itu juga diungkapkan oleh Millard J.Erickson bahwa

when we come to the study of person and work of Christ, we are at the very center of Christian Theology. For since Christian are definition believers in and followers of Christ, their understanding of Christ must be central and determinative of the very character of the Christian faith.[20]

Kristus merupakan sentral dari seluruh karakteristik iman Kristen, keunikan Kristus merupakan irrio yang paling mendasar mengapa begitu banyak orang menjadi pengikutNya/orang Kristen, jika Kristus tidak unik, atau dalam istilah lain tidak ada perbedaan yang mendasar dan istimewa antara Kristus dengan Nabi, Rasul, atau mungkin tokoh-tokoh lainnya, tentunya tidak akan banyak orang yang berani mengambil suatu keputusan iman untuk mengikutiNya, dan tentunya keunikan tersebut tidak hanya bersifat subyektif dan individual, melainkan bersifat obyektif dan universal “The uniqueness of Jesus Christ is not an exclusive claim purely for the Christian community, or for the disciples of Jesus Christ. It has universal validity. In other words, Jesus Christ without universal validity is merely an illusion.”[21]

            Pembentukan spiritualitas Kristen bukan hanya sekedar berorientasi pada pribadi dan pengajaran Kristus, semata, namun spiritualitas bertujuan membangun kehidupan orang-orang percaya menuju kematangan pada tingkat tertentu yaitu suatu proses menuju kepada keserupaan dengan Kristus (Christlikeness). Hal ini juga diungkapkan oleh Kenneth O.Gangel yang dapat kita lihat melalui penjabarannya mengenai dasar pelaksanaan program pendidikan Kristen yang melaluinya spiritualitas orang percaya dilatih untuk didewasakan, ia menyatakan bahwa ;

  • The church’s educational ministry is carry on by those who are first gifted by God to teach and then given to the church for that purpose.
  • the purpose of the church’s educational ministry is to make God’s people mature so that they can minister. Maturity is an edification or a”building up” process.
  • If the church’s educational ministry is properly carry on, the end resul will be maturity in individual believer and harmonious relationship between the believer collectively. The process of growing into this maturity and harmony is the process of becoming more like Jesus Christ.
  • The church’s educational ministry is highly theological, producing discerning students of truth of who are able-because of understanding of truth-to detect and avoid error.
  • A properly functioning church educational ministry will effectively combine truth and love, and not sacrifice either one on the altar of the other. A mature Christian will be like His Lord, “full of grace and truth”.
  • A properly irrioning church educational program does not concist only of few teachers and many learners but will actually be carried on for mutual edification as God’s people help each other to grow in spirituality.[22]

Menurutnya pendidikan itu penting karena merupakan karunia Tuhan untuk memenuhi tujuan-Nya, yaitu membentuk umat-Nya menjadi dewasa/matang (Christlikeness), sehingga dapat melayani. Kedewasaan itu juga akan terimplementasi kepada hubungan yang harmonis di dalam kehidupan kelompoknya. Pendidikan itu juga akan menghasilkan murid-murid dalam kebenaran yang mampu (oleh karena pengetahuannya akan kebenaran) menghindari kesalahan/pelanggaran, murid yang penuh dengan belas kasih yang mampu membangun orang lain dalam kehidupan spiritualitas secara bersama-sama.

            Kesimpulannya bahwa irri khusus dari spiritualitas Kristen adalah didasari oleh pengorbanan Kristus, dikerjakan melalui keteladanan dan perkataan Kristus, sasarannya supaya terjadi transformasi menuju keserupaan dengan Kristus (Christlikeness) dan diarahkan/bertujuan akhir  untuk kemulyaan Kristus.

 

Bersifat Biblical Dogmatis

Ada keunikan tersendiri yang dimiliki oleh kepercayaan (doctrinal maupun praxis)  Kristen dibandingkan dengan kepercayaan lain, yaitu bahwa Allah merupakan subyek, yang secara aktif mencari manusia dan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan manusia itu sendiri hanyalah sebagai obyek.[23] Dari bagian awal sampai penutup Alkitab menunjukkan bahwa Allah berperan secara aktif dalam mencari manusia. Tindakan ini sangat penting oleh karena penyataan Allah merupakan cara Allah sendiri berkomunikasi dan menyatakan diri-Nya[24] kepada semua orang di segala waktu melalui penyataan umum-Nya dan kepada orang-orang tertentu pada waktu-waktu tertentu melalui penyataan khusus-Nya. Penyataan Allah tidak hanya dimaksudkan supaya manusia mengenal oknum Allah saja, tetapi juga apa yang telah Ia lakukan, tentang ciptaan-Nya dan hubungan antara Allah dan manusia. Hal ini merupakan informasi yang riil, obyektif dan rasional dari Allah kepada manusia. Jadi tujuan penyataan Allah adalah untuk mengkomunikasikan kebenaran kepada pikiran manusia. Melalui cara inilah Ia menyatakan kepada makhluk ciptaan-Nya, apa yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara lain termasuk dengan kemampuan rasionya[25] oleh sebab itu sebagian penyataan Allah sulit diterima oleh rasio manusia bukan karena bertentangan dengan rasio, tetapi memang sebagian melampaui batas kemampuan rasio manusia seperti yang diungkapkan oleh John Lockpenyataan merupakan komunikasi dari proposisi-proposisi yang benar, sebagian melampaui apa yang ditemukan hanya oleh rasio[26]. Dari uraian tersebut maka sangat jelas bahwa penyataan Allah tidak sekali-kali dimaksudkan untuk memenuhi atau menjawab keragu-raguan manusia, bukan untuk sarana pemenuhan kesenangan manusia dan kepuasannya

Oleh karena Alkitab merupakan sarana yang dipakai Allah secara khusus untuk mengkomunikasikan kehendakNya kepada manusia maka melaluinya pula spiritualitas Kristen dibangun, diawasi dan diuji. Demikian pula masalah tradisi dan nilai-nilai yang dipegang oleh Gereja menjadi bagian penting bagi spiritualitas Kristen sebab, melalui tradisi Gereja itu orang percaya mendapat gambaran dan referensi bagaiman para pendahulu mereka menghayati Firman itu dalam konteks mereka. Kebenaran-kebenaran fundamental yang diajarkan  Tuhan melalui Alkitab tidak boleh dikompromikan dengan nilai-nilai apapun, baik itu budaya maupun kepentingan, artinya Alkitab menjadi acuan dalam pembentukan spiritualitas Kristen.

 

Berlingkupkan  Ministry Ekklesiologis

Alkitab secara konsisten memaparkan kebenaran bahwa setiap umat Allah terpanggil untuk melayaniNya. Panggilan pelayanan ini bukan hanya didasari oleh kebaikan Tuhan yang telah menyediakan jalan keselamatan bagi semua orang percaya, namun juga oleh karena keteladanan Yesus yang telah terlebih dahulu merendahkan diriNya sendiri untuk melayani ketika hadir ke dunia melalui karya inkarnasi. Keteladanan hidup Yesus secara eksplisit mengarahkan orang percaya untuk memberikan diri secara sukarela dan penuh kesadaran untuk melayani orang lain, secara khusus saudara-saudara seiman. Yesus tidak sekalipun mengajarkan agar kita hanya mengikuti teladan etisnya semata-mata, namun lebih dari itu semua, Yesus mengharapkan agar kita menghayati eksistensi baru yang telah diciptakan pada saat kelahiran baru.[27] Penghayatan  terhadap natur yang baru inilah seharusnya terimplementasi melalui kehidupan yang melayani Tuhan.

            Spiritualitas Kristen saling terkait dengan pelayanan gerejawi. Pelayanan ini merupakan pelayanan yang holistic atau menyeluruh sehingga melampaui batas-batas atau segi-segi kehidupan manusia. JL.CH.Abineno berpandangan bahwa diakonia atau pelayanan Kristen bukan hanya merupakan pelayanan tambahan saja dari Gereja, melainkan pelayanan yang penuh menyeluruh,[28] maksudnya suatu pelayanan merupakan pelayanan yang universal, bukan hanya ditujukan pada diri sendiri, kelompok/golongan gereja tertentu saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Secara praktis, ada begitu banyak bentuk pelayanan gerejawi, namun kesemuanya itu dapat diklasifikasikan ke dalam empat bentuk pelayanan saja, yaitu :

·       Pemberitaan Firman yang meliputi kesaksian, nasihat, petunjuk, pemberian bantuan, dll

·       Konseling pastoral.

·       Persekutuan (koinonia)

·       Pemberian bantuan atau diakonia (pelayanan social)[29]

Keempat jenis pelayanan tersebut merupakan bagian yang integral, saling berdampingan, dan melengkapi karena dasar pelaksanaannya adalah kebenaran Kitab Suci (Alkitab) dan pimpinan Roh Kudus. Alkitab memberikan berita dan isi yang utama bagi semua pelayanan Kristen, entah itu dalam pelayanan yang berbentuk pemberitaan, pengajaran, konseling, maupun dalam bentuk lainnya, sedangkan Allah Roh Kudus memberikan dan menyediakan segala daya rohani (spiritual drive) bagi pelayanan tersebut.

            Pelayanan Kristen memiliki sasaran yang jelas dalam pengaturan dan pelaksanaan misi Allah terhadap GerejaNya, secara khusus melalui gereja local untuk pembangunan tubuh Kristus. Tujuan pelayanan Kristen adalah untuk memberlakukan ketuhanan Yesus Kristus, membangun tubuhNya, yaitu gereja agar menjadi dewasa dalam kasih, keesaan dan kekudusan, sehingga semua orang percaya dapat bersaksi melalui penginjilan dan pengabdian penuh kasih kepada dunia yang dirundung kegelapan dan kesengsaraan.[30]

            Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, jelaslah bahwa sasaran dari pelayanan Kristen adalah keselamatan bagi manusia dan pertumbuhan rohani/spiritualitas bagi umat Allah, Alkitab secara konsisten memberikan arah dan isi dari pelayanan, sedangkan Roh Kudus secara aktif bertindak memberikan dorongan dan kekuatan dalam mencapai tujuan tersebut. Orang  Kristen yang ingin terus bertumbuh spiritualitasnya tidak seharusnya terkungkung dalam batasan-batasan pelayanan tertentu, namun berkarya secara luas untuk melakukan kebaikan secara luas.

 

Berimplikasi  Universal

Dengan bercermin pada Firman Tuhan, dapatlah kita menemukan sebuah kesimpulan umum, bahwa kekristenan mengemban misi bagi dunia dan hal ini sinergi dengan amanat Agung Tuhan Yesus (Mat 28:19-20). Artinya kekristenan harus memberikan terang dan menggarami dunia secara universal agar dunia mengenal dan memulyakan Allah.  Orang Kristen dipilih secara ekslusif namun mengemban tugas dan tanggung jawab yang inklusif.

Kebaikan yang Yesus perintahkan, bukanlah bersifat ekslusif, komunal apalagi bersifat etnis. Alkitab secara jelas memberikan landasan konseptual dan praktik yang cukup memadai untuk masalah-masalah ini sebab Yesus seringkali mengajarkan agar iman Kristen harus dinikmati oleh sesama manusia sebagaimana maksud dan tujuan inkarnasinya (Yoh 3:16). Konsep  mengenai sesama manusia bersifat sangat umum sebagaimana di tuliskan dalam Lukas 10:29-37).   Dalam Bible Knoledge Commentary dijelaskan mengenai hal ini bahwa sesama manusia adalah siapa saja yang memerlukan tindakan baik kita.

The Samaritans were scorned by the Jews because of their mixed Jewish and Gentile ancestry. It is ironic, then, that a Samaritan helped the half-dead man, dressing his wounds, taking him to an inn, and paying his expenses. By askingWhich... was his neighbor? (Luke 10:36) Jesus was teaching that a person should be a neighbor to anyone he meets in need. The ultimate Neighbor was Jesus, whose compassion contrasted with the Jewish religious leaders who had no compassion on those who were perishing. Jesus wrapped up His teaching with the command that His followers were to live like that true neighbor .[31]

Demikianlah spiritualitas Kristen idealnya diejawantahkan dalam perbuatan baik yang dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa batasan status social ataupun ekonomi.

 

Langkah-Langkah Membangun Spiritualitas Kristen

            Pada dasarnya tidak ada satupun cara instan untuk membangun spiritualitas yang baik, karena spiritualitas merupakan dampak dari refleksi kritis seseorang terhadap Firman dan pengalaman bersama Tuhan dalam sebuah proses hidup yang dinamis. Banyak orang menginginkan dan bahkan menempuh cara-cara yang instan dalam membangung kerohaniannya namun pada akhirnya mengalami kejenuhan dan jatuh kembali kepada kebiasaan atau pola kehidupan yang lama karena dasar berpijaknya yang ingin memotong sebuah proses penting. Pertumbuhan spiritualitas hanya dapat dicapai melalui proses pendisiplinan diri secara ketat sebab melalui disiplin rohani yang demikian seseorang mendapat kemampuan untuk memutuskan kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merugikan diri sendiri. Disiplin rohani merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam rangka membangun hubungan yang intim dengan Tuhan dengan dasar keinginan yang kuat untuk menyenangkanNya dan hidup secara baik dalam keluarga dan masyarakat.[32] Memang disiplin rohani bukanlah cara yang paling jitu untuk mengeliminasi atau bahkan menghapuskan dosa-dosa manusia, namun demikian melalui disiplin itu manusia menunjukkan keseriusannya dalam mengikuti kehendak Tuhan sekaligus menjadi “drive” atau tenaga pengerak yang memotivasi manusia untuk terus melakukan disiplin itu sendiri.

            Kedisiplinan rohani dapat dibangun melalui komunikasi yang baik dengan Allah. Komunikasi itu oleh Patrick dibagi dalam empat hal, yaitu komunikasi melalui perbuatan-perbuatan Allah, Komunikasi melalui Firman Allah, Komunikasi melalui suara Roh Kudus, dan Komunikasi melalui kesaksian orang beriman.[33]

 

Komunikasi Melalui Perbuatan Allah

Ada keunikan tersendiri yang dimiliki oleh kepercayaan/teologi Kristen dibandingkan dengan kepercayaan lain, yaitu bahwa Allah merupakan subyek, yang secara aktif mencari manusia dan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan manusia itu sendiri hanyalah sebagai obyek.[34] Dari bagian awal sampai penutup Alkitab menunjukkan bahwa Allah berperan secara aktif dalam mencari manusia.

Tindakan ini sangat penting oleh karena penyataan Allah merupakan cara Allah sendiri berkomunikasi dan menyatakan diri-Nya.[35]Sepanjang sejarah dunia ini kita dapat mencermati bahwa Allah terus menyatakan diriNya melalui perbuatan-perbuatannya secara umum yang dalam ilmu teologi disebut sebagai “penyataan umum”. Definisi  penyataan umum  adalah komunikasi Allah sendiri kepada semua orang di setiap tempat dan waktu. Penyataan ini adalah segala sesuatu yang dinyatakan Allah di dalam dunia sekitar kita, termasuk manusia. Sifatnya umum dan jangkauannya juga umum, yaitu untuk semua orang (Mat 5:45,Kis 14:17). Penyataan umum tersebut dinyatakan melalui

·       Ciptaan/creature (Maz19:1-7 ; Rom 1:18-32).

·       Keteraturan/harmoni alam semesta (Maz 19:2; Kis 14:15-18).

·       Manusia (Maz 94:9 ; Kis 17:28,29).

·       Melalu sejarah dunia

·       Melalui agama-agama.

Sedangkan isi dari penyataan umum Allah adalah :

·       Kemulyaan-Nya(Maz 19:2)

·       Kuasa penciptaanya (ay 2)

·       Keunggulan-Nya(Rom 1:20)

·       Keillahian-Nya(ay 20)

·       Penentuan-Nya dalam mengendalikan alam semesta (Kis 14:17)

·       Kebaikan-Nya(Mat 5:45)

·       Kecerdasan-Nya(Kis 17:29)

Penyataan umum ini dikerjakan dan diberikan kepada manusia dengan maksud dan tujuan yang sangat baik bagi seluruh umat manusia, yaitu :

·       Memberikan bobot kepada teisme dan menolak ateisme, agnotisisme, evolusionisme, pantheisme, dsb.

·       Membawa manusia kepada pengetahuan tentang Allah, tetapi pada umumnya tidak membawa kepada hubungan yang benar dengan Allah (Rm 1:19-20), dan tidak membawa kepada keselamatan/soteriologis.

·       Mempersiapkan manusia untuk menerima penyataan khusus, John Calvin pernah menyatakan bahwa “apa yang terserak-serak dan tidak jelas dalam penyataan umum dipadukan dan dibuat jelas dalam penyataan khusus”.

·       Memberi pandangan yang luas terhadap fenomena agama-agama dunia.

Penyataan Allah tidak hanya dimaksudkan supaya manusia mengenal oknum Allah saja, tetapi juga apa yang telah Ia lakukan, tentang ciptaan-Nya dan hubungan antara Allah dan manusia. Hal ini merupakan informasi yang riil, obyektif dan rasional dari Allah kepada manusia. Jadi tujuan penyataan Allah adalah untuk mengkomunikasikan kebenaran kepada pikiran manusia. Melalui cara inilah Ia menyatakan kepada makhluk ciptaan-Nya, apa yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara lain termasuk dengan kemampuan rasionya[36] oleh sebab itu sebagian penyataan Allah sulit diterima oleh rasio manusia bukan karena bertentangan dengan rasio, tetapi memang sebagian melampaui batas kemampuan rasio manusia seperti yang diungkapkan oleh John Lockpenyataan merupakan komunikasi dari proposisi-proposisi yang benar, sebagian melampaui apa yang ditemukan hanya oleh rasio[37].

Dari uraian tersebut maka sangat jelas bahwa penyataan Allah tidak sekali-kali dimaksudkan untuk memenuhi atau menjawab keragu-raguan manusia, bukan untuk sarana pemenuhan kesenangan manusia dan kepuasannya melainkan lebih dari semuanya itu. Allah ingin melalui penyataan ini manusia senantiasa melakukan perenungan atau kontenplasi sehingga mendapatkan pengertian yang lebih dalam tentang Tuhan serta dimampukan menikmati keagungan dan kebaikanNya.

 

Komunikasi Melalui Firman

Asumsi dasar dari teologia Injili adalah keyakinan terhadap fundamental iman Kristen yang percaya bahwa Alkitab merupakan Firman Allah yang tanpa salah, serta standart bagi seluruh prilaku hidup manusia. Firman Allah dalam konteks ilmu teologi disebut sebagai penyataan khusus. Definisi dari penyataan khusus itu sendiri adalah manifestasi dan komunikasi Allah sendiri secara khusus kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu pula, pada saat ini penyataan khusus tersebut nampak dalam Alkitab. Beberapa saluran-saluran yang dipakai oleh Allah sepanjang sejarah sebagai penyataan Khusus adalah melalui melalui :

·       Undi (Ams 16;33; Kis 1;21-26)

·       Urim dan Tumim (Kel 28:30; Bil 27:21;dsb)

·       Mimpi (kej 20:3,6; 31:11,dsb)

·       Penglihatan (Yes 1:1; 6:1)

·       Teofani (Kej 16:7-14; Kel 3:2)

·       Malaikat-malaikat Tuhan.

·       Para Nabi

·       Yesus Kristus yang merupakan saluran utama penyataan Allah Yoh 1:14; 14:9,dsb.

·       Alkitab, merupakan  sarana paling menyeluruh dari isi penyataan khusus (Yoh 17:17; Ibr 1:1; 2 Tim 3:15-17).

Nilai atau tingkat kepentingan dari penyataan Khusus adalah  karena sudah tidak adanya lagi pengetahuan yang benar akibat dosa serta terbatasnya penyataan umum  dalam membawa orang kepada Allah. Pada dasarnya ada dua golongan yang berbeda pendapat dalam memandang Alkitab sebagai penyataan khusus, yaitu Golongan Fideis yang memandang Alkitab dan wahyu yang ada di dalamnya adalah benar dalam dirinya sendiri (autopistis), sedangkan kelompok kedua adalah Golongan Empiris yang lebih menekankan kredibilitas pewahyuan    dan memandang Alkitab secara aksiopistis, yaitu percaya kepada Alkitab sebagai wahyu Allah karena kriteria-kriteria yang melekat di dalamnya.

            Keotentikan Alkitab sebagai Firman Allah, bukan sekedar didasarkan pada sekumpulan asumsi-asumsi manusia yang dilegitimasi melalui sebuah konsensus belaka, melainkan oleh karena beberapa alasan yang hakiki dan mendasar, baik secara internal maupun eksternal, inspirasi merupakan suatu syarat mutlak dalam memelihara penyataan Allah. Jika Allah menyatakan diriNya melalui bentuk tulisan/proposisi, namun penyataan tertulis tersebut tidak akurat, maka kredibilitas dan otoritas wahyu tersebut patut dipertanyakan.

Pengilhaman dalam konteks bahasa Yunani dipakai kata “θÏ‚” yang secara sederhana diuraikan demikian, kata “Theo”   memiliki pengertian Allah, dan “Pneo” artinya menghembuskan ke dalam, Jadi pengilhaman atau inspirasi dapat dipahami sebagai suatu proses dimana Allah “meniupkan”  sesuatu pesan ke dalam diri setiap penulis Alkitab (2 Tim 3:16).

Makna istilah Theopneustos memang menjadi suatu konsep yang sangat sulit untuk dijelaskan secara gamblang, namun beberapa teolog injili mencoba mendefinisikan konsep ini, misalnya saja Charles C.Ryrie berpendapat bahwa pengilhaman merupakan suatu tindakan “Allah mengawasi sedemikian rupa sehingga para penulis Alkitab, menyusun tanpa salah dan kekeliruan pesannya kepada manusia dalam bentuk penulisan aslinya” tidak jauh berbeda dengan pandangan Ryrie, beberapa tokoh lain juga memahami konsep pengilhaman sebagai Pengendalian dan pengontrolan Allah atas penulis sehingga mereka ini dengan memakai kemampuan dan gaya mereka, menyusun dan menulis  penyataan Allah kepada manusia tanpa membuat cacat atau kesalahan dalam tulisan asli Alkitab.

Konsep inspirasi menunjukan bahwa dalam proses penyusunan Alkitab tidak akan mungkin dilepaskan dari peristiwa-peristiwa ilahi karena ada peran Roh Allah yang bekerja, R.Laird Harris pernah menyatakan bahwa “the term “inspire”, of course, implies that there is a spirit within[38], selanjutnya ia menjelaskan bahwa pemahaman terhadap II Timotius 3:16 haruslah dimaknai bahwa “the Holy Spirit of God had Worked in the production of the Bible. The Spirit of God was within that authors who produced it[39].  Gereja Katholik Roma melalui konsili Trente pada tahun 1546 secara tegas mengeluarkan statement bahwa Alkitab adalah “spiritu sancto dictatas” yang artinya bahwa Alkitab adalah perkataan Roh Allah. Memang terlalu dini jika kita menyatakan bahwa Khatolik memiliki konsep yang sama dengan kaum Injili dalam memahami tentang Inspirasi, namun absah saja kita menafsirkan “spiritu sancto dictatas” dari persepktif kita sebagai karya pengilhaman Allah melalui RohNya sehingga menghasilkan Alkitab yang tanpa salah.

Mengapa inspirasi/pengilhaman itu penting ? karena Pengilhaman adalah dasar otoritas Alkitab yang menjamin bahwa kita memiliki Alkitab yang benar dan tanpa salah karena pengilhaman merupakan suatu keharusan untuk memelihara wahyu Allah tersebut. Jika Allah menyatakan dirinya melalui proposisi-proposisi, namun jika penyataan itu tidak ditulis secara cermat dan akurat maka wahyu tersebut akan dipertanyakan validitasnya.

Dalam beberapa teks Alkitab, Allah menunjukkan bahwa pengilhaman tersebut meliputi seluruh isi Alkitab, secara khusus dalam teks yang terdapat dalam 2 Timotius 3 : 6 yang tertulis

segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,untuk menyatakan kesalahan,  untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” kata “tulisan”, dalam teks Yunani dipakai kata “Grape”  ditulis 50 kali dalam seluruh Alkitab dan selalu menunjuk pada keseluruhan dari kitab suci, ini artinya bahwa seluruh Alkitab yang kita miliki diilhamkan oleh Allah. Teks 2 Petrus 1:21 juga menegaskan bahwa Allah memakai penulis yang manusiawi untuk menghasilkan Alkitab yang tidak mungkin salah, bahkan 1 Korintus 2:13   mempertegas bahwa pengilhaman dari Allah datang kepada manusia/penulis Alkitab dalam kata-kata/proposisi.

            Konsep pengilhaman selain muncul dari dalam teks Alkitab itu sendiri dan pengakuan para penulis Alkitab Perjanjian Baru, otoritas pengilhaman juga muncul dari kesaksian para Nabi dalam Perjanjian Lama, mereka sadar dan yakin bahwa apa yang mereka tuliskan adalah Firman Allah (Mik 4:4; 30:4; Yer 30:4; Yes 8:11; Amos 3:1; 2 Sam 23:2). Yesus sendiri telah mengakui kewibawaan dan inspirasi dari Alkitab (Yoh 10:35; Mat 5:18; Mat 22:31-32), Ia menekankan pentingnya setiap kata-kata (Luk 16:17;Luk 18:31) dan mendasarkan seluruh uraianNya pada kata-kata tersebut (Mat 22:32,bdg Mat 22:43,45, dan Yoh 10:34 bdg Maz 82:6). Dalam setiap pengajaranNya, Yesus selalu memakai Alkitab sebagai sumber dan landasan berpijaknya (Mat 4:4,7; 12:3,5; 19:4; 21:16; Luk 20:17, Yoh 10:36), Ia menguatkan  pernyataan Alkitab (Mat 19:4-5; Luk 11:51; Yoh 8:56) dan mengakui bahwa Alkitab sebagai petunjuk yang sangat lengkap untuk jalan keselamatan (Luk 16:29), bertolak pada beberapa fakta tersebut Yesus berkesimpulan bahwa sumber penyebab kekeliruan ataupun dosa adalah pengabaian terhadap Alkitab (Luk 24:44-45).

            Implikasi dari penjabaran panjang di atas bahwa, adalah sangat penting untuk tahu dan yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang perlu terus dipelajari, direnungkan, dan dilakukan secara konsisten agar dalam hidup mengalami pertumbuhan secara progresif dan signifikan. Pembacaan, diskusi  dan perenungan terhadap Firman Tuhan akan menumbuhkan kepekaan rohani kita terhadap kehendak Allah.

 

Komunikasi Melalui Suara Roh Kudus

Sebenarnya ada begitu banyak alasan utama yang mendasari mengapa kita harus bersusah payah mempelajari pentingnya  peran Roh Kudus  dalam  pertumbuhan spiritualitas, di antaranya

Karena kebenaran tentang Roh Kudus adalah penting dan mendasar karena berkaitan erat dengan Trinitas. Menolak eksistensi Roh Kudus yang nyata, berati menolak Trinitas, dan juga pengajaran Alkitab secara keseluruhan, alasan kedua karena Pelayanan Roh Kudus, Alkitab (secara khusus kitab Kisah Para Rasul) secara jelas mengutarakan pelayanan Roh Kudus dalam Gereja. Pada zaman Gereja ini Roh Kudus bekerja lebih dominan dibandingkan dengan pribadi Trinitas lainnya. Jika Allah Bapa berkarya sepanjang periode Perjanjian Lama, dan Allah anak dalam periode Injil, demikianlah Roh itu berkarya pada masa Gereja, alasan ketiga karena budaya zaman yang sangat menekankan pentingnya pengalaman, terutama pengalaman rohani dengan Allah. Orang percaya dapat mengalami pengalaman tersebut hanya melalui Roh Kudus, dan oleh karena Dia orang percaya merasakan kehadiran Allah dan kehidupan Kristennya bernilai.[40]

Secara doctrinal doktrin tentang Roh Kudus memang agak sulit untuk dipahami bila dibandingkan dengan pengajaran Tentang Teologi Proper dan Kristologi, sebab doktrin Pneumatologi ada kekurangan tentang penyataan eksplisit dalam Alkitab. Secara umum diskusi tentang Pneumatologi dinyatakan dalam pelayananNya (Yoh 16:14), berbeda dengan doktrin lainya Pneumatologi tidak dibahas secara sistematis, bahkan seringkali pembahasannya selalu dikaitkan dengan pokok lainnya. Kesulitan lainnya adalah Pneumatologi kurang adanya gambaran yang kongkrit. Jika Allah Bapa dapat dipahami meskipun kurang sempurna karena gambaran seorang Bapa sudah dikenal dalam setiap orang, demikian juga Allah Anak tidak sulit untuk dipahami karena Dia actual dalam bentuk manusia sejati telah dilihat dan dilaporkan dalam Injil, tapi Roh Kudus tidak dapat diraba dan divisualisasikan. Secara keseluruhan inti kesulitan tersebut telah dirangkumkan dalam satu pernyataan oleh Millard J.Erickson yang demikian “while study of the Holy Spirit is especially important, our understanding is often more incomplete and confused here than with most of the other doctrines”[41].

Ada banyak  teori/pemikiran salah yang berkembang dalam sepanjang sejarah Gereja salah satunya yang beranggapan bahwa Roh Kudus yang seringkali dipahami sebagai sesuatu kekuatan yang tak berpribadi seperti halnya listrik, yang tidak memiliki pikiran, perasaan dan kehendak, Roh Kudus hanyalah hasil khayalan manusia belaka. Pemkiran-pemikiran tersebut sangat membahayakan kemurnian doktrin Kristen sehingga perlu ada upaya yang dilakukan oleh Gereja untuk menanamkan suatu pemikiran yang benar berdasarkan Alkitab mengenai pengajaran Roh Kudus ini. Roh Kudus merupakan pribadi yang benar-benar ada/nyata, aktual dan bukan khayalan belaka. Robert Morey pernah mengatakan

It is amazing to us why anyone would deny the personhood of the Holy Spirit and reduce Him to an impersonal force or power. The reduction of the spirit to the level of electricity is made purely an apriori ground. When we ask for a passage in the Bible where the spirit is defined as an impersonal force, we never get an answer. The bible talks about the holy spirit as a real person. He is alive and not a death, impersonal, force like electricity. He is real and not imagery.[42]

Kita tidak akan menemukan bukti sedikitpun dalam Alkitab sebagai referensi untuk menyatakan bahwa Roh Kudus hanya kekuatan yang tak berpribadi, Roh Kudus disebut sebagai pribadi oleh karena berdasarkan alas an bahwa Roh Kudus melaksanakan tindakan-tindakan yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang pribadi, yaitu

  • Mengajar (Yoh 14:26).
  • Meyakinkan (Yoh 16:13)
  • Menyatakan/melakukan mujizat (Kis 8:39).
  • Memerintah dan mengarahkan orang (Kis 8:29).
  • Menyaksikan (Yoh 15:26; Rom 8:16).
  • Menuntun (Rom 8:14).
  • Memanggil untuk pelayanan khusus (Kis 13:14).

Selain itu secara gramatikal, Roh Kudus dalam Alkitab seringkali direpresentasikan dengan kata ganti masculine. Millard menuliskan “The first evidence of the spirit’s personality is the use of the masculine prounoun in representing Him. Since Greek word “pneuma”(spirit) is neuter and since prounouns are to agree with their antecendents in person, number and gender, we would expect the neuter prounoun to be used to represent the Holy Spirit”.[43] Bandingkan dengan Yohanes 16:13-14, Yesus menggambarkan pelayanan Roh Kudus dengan menggunakan pronoun masculine. Pendapat ini juga didukung  oleh Charles Swindol yang mengatakan “the spirit is not “an” it but a distict  personality the Holy Spirit is an distict person, he is a “Him”, a ”He” [44]  bandingkanlah pendapat ini dengan Yohanes 14:14-17.

            Roh Kudus bekerja secara aktif dan terlibat (Yoh 16:7,8,13-14. Ia memobilisasi dan memberikan kekuatan kepada umat Allah. Ada empat alasan mengapa orang yang ingin bertumbuh secara rohani memerlukan Roh Kudus

Power To Become, Without the power of God in us we can never become sons of God. Mankind has lost its way and does not recognize its true Father. The Holy Spirit’s job is to awaken our spiritual need and point us to Jesus, who is God’s way for mankind to be brought back to Himself (John 1:12-13). With power of Holy Spirit working in us, we can accomplish what in our own strength we could never do. We can become God’s sons and act and live as members of His family.

Power To Be, We have ppower in us through the Holy Spirit for our daily living. God wants us to know His power so that we can live a life of faith continually, and become examples to others of what it means to live the new life in Jesus day by day. We know our flesh is weak, but we are not alone. God has opened to us the chanel if divine power. God Himself dwells in our hearts (Eph 3:16-17).

Power To Overcome, Every Christian believer lives in a war zone. Before we became Christians we were on satan’s side, but when we choose to follow Jesus we were put on the winning side, God’s side (Eph 2:1-5). The warefare we experience from satan is fat tougher after we believe, as he is attempting to stop us following Jesus. God makes His power available within us, so that we have the strength and the know how to defeat the devil (I John 4:4).

Power To Share, (read Act 1:8)…God want us to be filled with that same power so we can witness to the life of Jesus, not only to enable us to speak about Jesus, but that we also become like Jesus to other men and women, that is, when we speak, pray and touch men and women in the power of the Holy Spirit it will be as if Jesus was with them (John 14:12). [45]

Roh Kudus memberikan kekuatan kepada orang-orang Percaya dalam kehidupan Kristen dan pelayanannya untuk dapat menikmati kuasa Allah, memahami kekuatan Tuhan dalam hidup sehari-hari “without The Holy Spirit we could never live in the power of God, or know God’s strength in our daily lives. For fullenjoyments and fulfillment in our human existence we need this great of the Holy Spirit from God our Father”.[46] Dan Roh itu juga yang memampukan orang percaya menikmati kehidupan doa, pujian, penyembahan dan persekutuan yang intim dengan Tuhan.

 

Komunikasi  Melalui  Kesaksian Orang Beriman.

Konsep kesaksian dalam bagian ini memiliki makna yang sangat luas. Kesaksian bukan sekedar proklamasi atas kebaikan dan karya Allah dalam hidup, namun lebih dari itu, kesaksian merupakan segala bentuk pelayanan orang percaya terhadap sesamanya. Alkitab secara konsisten mengajarkan signifikansi atau pentingnya kehidupan yang saling melayani, bahkan Yesus dalam sepanjang hidupNya telah memberikan keteladanan yang luar biasa mengenai kerendahan hati untuk rela melayani sesama. Pentingnya melayani bukan sekedar didasarkan pada dorongan untuk membantu orang lain yang kurang beruntung, atau membangun orang lain agar bertumbuh, namun sifat dari pelayanan itu sendiri pada dasarnya berimplikasi pada diri sendiri. Dengan melayani kehidupan spiritualitas seseorang terbangun.

Tokoh-tokoh iman yang ditulis dalam Alkitab merupakan orang-orang yang biasa, mungkin miskin, dan tidak terlalu pintar, namun kerelaan untuk mengambil bagian dalam pelayanan Tuhan itu yang menjadikan mereka sebagai tokoh yang besar dan patut diteladani. Agar bertumbuh secara spiritualitas maka seseorang harus menjadi pelayan yang baik dan bertanggung jawab untuk membantu siapapun yang membutuhkan, dan merasakan bahwa membatu orang lain merupakan sebuah tindakan yang paling membahagiakan. Orang-orang percaya harus terus belajar mengatakan apa yang Yesus katakan, memandang Seperti halnya Dia melihat, dan mengerjakan seperti yang Dia kerjakan

 

 

 

Relasi Antara Teologia Dengan Pertumbuhan Rohani

            Pertanyaan penting yang hendak dibahas dalam bagian ini adalah, apakah teologia atau pengetahuan teologis seseorang secara signifikan turut mempengaruhi pertumbuhan spiritualitasnya ? berdasarkan pada beberapa sumber literature dan penelitian ilmiah dapatlah dismpulkan bahwa ada hubungan yang saling terkait dan saling mempengaruhi di antara kedua hal tersebut.

 

Pertumbuhan Spiritualitas Memberi Nilai Pada Teologia

            Gereja masa kini tidak hanya membutuhkan para pelayan yang cakap dalam kemampuan akademis kognitif atau dalam istilah lain memiliki teologia yang baik semata-mata, namun juga perlu pelayan yang saleh, berkarakter. Saleh dalam hal ini memiliki pengertian bahwa kehidupan spiritualitasnya dapat menjadi teladan bagi jemaat. Pemahaman teologia yang baik jika tidak diimbangi dengan kehidupan spiritualitas yang baik pula maka pelayanannya tidak akan menjadi berkat, melainkan menjadi kutuk.[47] Dalam seluruh kesaksian tokoh iman yang dicatat dalam Alkitab menunjukkan para pelayan yang berhasil dalam pelayanannya adalah mereka yang memiliki spiritualitas yang unggul.

Pertumbuhan spiritualitas ini merupakan prasyarat utama yang tidak dapat digantikan dan digeser oleh apapun meski dunia dan tuntutannya terus mengalami arus perubahan. Pedoman untuk pelayan yang memiliki spiritualitas tinggi ini merupakan prinsip fundamental. Sekolah teologia terpanggil untuk mencetak lulusan yang mampu melayani secara ekklesiatikal namun juga ditopang oleh mutu spiritualitas yang baik sebab bagaimanapun kesaksian hidupnya berteriak lebih keras dari pada suara khotbahnya di mimbar.

Pada dasarnya konsep spiritualitas seorang pelayan dan profesionalismenya dalam pelayanan sangat sulit dibedakan, atau bahkan dipisahkan karena dua konsep ini merupakan bagian yang tidak mungkin dilepaskan, Barlow pernah berpandangan bahwa  kepribadian dan profesionalisme begitu tumpang tindih, namun keduanya sangat diperlukan dan saling terkait.[48] Kepribadian seorang pelayan menentukan profesionalismenya, dan profesionalismenya ditentukan dan membentuk karakter dan spiritualitasnya.

 Di dalam bidang tugasnya sebagai seorang pelayan Tuhan, seseorang tidak hanya mengajarkan disiplin ilmu  dengan harapan jemaat memiliki pemahaman-pemahaman yang bersifat kognitif semata, melainkan harus menanamkan sikap dan sifat atau mentalitas (ranah afektif) yang baik, serta keterampilan hidup yang kaya. Kedua hal tersebut tidak dapat diajarkan dengan metodologi yang sama seperti dengan metodologi ketika mengajarkan pengetahuan, melainkan harus diempartasikan melalui keteladanan hidup dari seorang pelayan Tuhan.

Bagi jemaat, contoh atau keteladanan spiritualitas dari hamba Tuhan lebih bermakna dari pada rangkaian kata-kata yang indah, sehingga dalam memperkaya afektif dan psikomotor, satu contoh praktis kehidupan guru lebih berarti dari pada seribu kata-kata kosong.

Kita mengajarkan jauh lebih banyak dengan contoh hidup kita dari pada kata-kata kita, sebab itu contoh yang kita perlihatkan dalam hidup kita selamanya jauh lebih penting dari pada metode-metode yang kita pakai. Sikap dan kelakuan guru akan mempengaruhi murid-muridnya lebih dari kata-katanya. Ini berarti bahwa contoh hidup guru yang tidak memperkuat dan menekankan pengajaran yang disampaikannya akan membantah ajaranya sendiri.[49]

Keteladanan hidup dari seoang pelayan Tuhan lebih mudah diterima dan tertanam dengan kuat dari pada sekedar untaian kata-kata, sehingga kualitas pribadi Hamba Tuhan merupakan komponen yang sangat penting dalam sebuah pelayanan gerejawi.  Sikap, paradigma, dan prilaku  menjadi unsur yang mempengaruhi dalam profesionalisme pelayanan seorang Hamba Tuhan karena hal ini akan turut menentukan arah pelayanan gereja karena menjadi pelayan tidak cukup dengan pengetahuan saja, melainkan harus memiliki pola hidup yang baik dan dewasa. Seseorang dikatakan sebagai Hamba Tuhan tidak cukup dengan hanya tahu sesuatu materi yang hendak diajarkan tetapi pertama kali ia harus merupakan seseorang yang memang memiliki kepribadian seorang Hamba dengan segala cirri dan tingkat kedewasaannya.       

Pelayanan yang efektif perlu diimbangi dengan contoh-contoh perilaku dan spiritualitas yang baik. Sebuah pengajaran dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkandung pada berbagai disiplin ilmu pengetahuan jika dibarengi dengan keteladanan hidup dari seorang pelayan lebih signifikan dalam mengembang tumbuhkan sikap mental pada diri jemaat.

            Selain kepribadian seorang pelayan merupakan bagian yang turut mempengaruhi prilaku jemaat, kepribadian Hamba Tuhan yang menarik sangat mempengaruhi suasana atau atmosfir pelayanannya “ …teacher may shy away from the idea that the effectiveness of what he teachers depens on the kind of person he is, nevertheless it is true, a happy, adequate, sincere personality will make the christian message attractive to his pupils[50], bagi Karen kepribadian guru atau pelayan Tuhan yang menarik sangat mempengaruhi dalam proses transformasi informasi dari seorang guru terhadap murid, bahkan mungkin tingkat kepentinganya melebihi dari seberapa banyak pengetahuan kita “Though a happy, attractive personality is more important than being a storehouse of information, yet the amount of knowledge we posses is important[51]. Berupaya menjadi pribadi yang menarik (bukan dalam arti bersandiwara) menjadi penyeimbang dalam upaya seorang pelayan Tuhan dalam mempersiapkan segala informasi atau materi yang hendak diajarkan kepada jemaat sehingga tercipta proses pembelajaran yang efektif.

            Oleh karena alasan-alasan di atas maka Sekolah teologia dituntut untuk memfasilitasi para pelayan ini secara holistic, yaitu pembentukan intelektualitas maupun spiritualitas. Kedua aspek ini merupakan bagian yang integral yang harus dilakukan secara simultan. Semua program dan implementasinya harus diarahkan pada kedua sasaran tersebut. Perkuliahan yang bersifat sangat akademispun harus selalu dikaitkan dan sinergikan dengan upaya pembentukan spiritualitas.

 

Pertumbuhan Spiritualitas Turut Menentukan Keberhasilan Pembelajaran 

Dalam konteks pendidikan Teologi, pembelajaran bukanlah sekedar upaya pembentukan aspek kognitif ( intelektual formation), aspek afektif (behavioristic formation), aspek psikomotor (psychomotoric formation), namun juga merupakan upaya meningkatkan pertumbuhan rohani (spiritual formation) mahasiswa. Pemimpin dan para dosen  harus menyadari bahwa mahasiswa selain sebagai makhluk biologis, juga merupakan makhluk religious yang memiliki aspek dan kebutuhan spiritual (spiritual need), sehingga dalam pembelajaran doktrinal yang efektif harus juga melibatkan pendekatan secara religious meskipun mata kuliah itu sendiri juga bersifat kognitif. Seorang pemimpin dan dosen dituntut memiliki kualitas rohani yang baik sehingga mampu mengempartasikan kehidupan rohaninya melalui pembelajaran yang efektif.

Apakah yang menjadi syarat bagi guru yang baik ? tuntutan-tuntutan manakah yang harus dipenuhi ? ada baiknya jika kita terus mengakui dan memastikan bahwa tidak ada guru yang sempurna kecuali Yesus sendiri. Manusia semua telah berdosa, sebaik-baiknya manusia semua masih di bawah standart Tuhan, namun Tuhan ingin memakai orang-orang percaya bagi kerajaanNya. Oleh sebab itu seorang guru harus mempunyai pengalaman rohani. Perlu sekali ia sendiri mengenal Tuhan Yesus, batinnya dijamah, dan diterangi Roh Kudus. Inilah syarat yang utama.[52]

Meskipun aspek ini merupakan kapabilitas yang kasat mata, namun peranannya tidaklah dapat dikesampingkan pengaruhnya dalam menentukan keberhasilan suatu pembelajaran yang benar-benar kristiani.

Pengenalan dan pengalaman hidup seorang pemimpin dan dosen bersama dengan Tuhan dalam persekutuan yang intim merupakan sebuah proses pembentukan aspek spiritualitasnya. Formasi spiritualitas ini bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi hanya sekali saja, namun merupakan pengalaman yang progresif dan konstan.

The teacher should be constantly in touch with God. That is he should posses the rather intangible element we call spirituality. This comes by complete surrender to God in the manner suggested by the apostle Paul in Roma 12:12. The teacher should know thy blessed privilange of actual association with Jesus through prayer an the Holy Spirit  and be constantly conscious of the divine touch. He should posses the spiritual power which will gave Him confidence and poise and enable him to radiate a spiritual athmosphere in all that he says and does.[53]

Pengalaman rohani  inilah yang memberikan pengaruh besar dalam suatu pembelajaran karena selain memberikan suatu keyakinan/kepercayaan diri yang sehat, namun juga meyebabkan dan memampukan seorang dosen dalam menciptakan atmosfer rohani dalam setiap perkataan dan tindakannya. Proses ini haruslah dimulai dari sebuah pertobatan pribadi yang sejati, serta adanya upaya untuk terus menjalin relasi yang sehat dengan Allah melalui doa dan persekutuan yang intim, penyerahan diri secara total sehingga Allah dapat berkarya secara leluasa.

Sudah barang tentu syarat utama…ialah pertobatan sejati, penyerahan diri yang sungguh-sungguh, dan hubungan sehari-hari dengan Tuhan. Hal ini lebih penting untuk guru dari pada pekerjaan lainya….hubungan yang langsung dengan murid-muridnya mengakibatkan mereka menyerap roh dan hidupnya serta mengukuti teladanya karena itu alangkah perlu Roh dan Hidup Allah, dan keteladananNya memimpin secara langsung kepada Kristus. Dari tanah kerohanian sejati yang subur itu akan tumbuh sifat-sifat Kristen yang indah.[54]

Pengabdian kepada Allah dalam Pendidikan Teologi  memang mensyaratkan kompetensi yang sangat tinggi. Pemimpin dan dosen harus merupakan pribadi yang secara terus menerus bertumbuh dalam iman dan pengenalan kepada Tuhan. Proses ini akan memberikan dampak secara langsung dalam pembelajaran, namun juga bagi pengenalannya terhadap jati dirinya sendiri sebagai orang Kristen, yaitu orang-orang yang memberikan dirinya, serta menyambut sepenuhnya kedudukan dan peran pekerjaan Tuhan yaitu transmisi Injil melalui pendidikan. Para pemimpin dan dosen dipanggil untuk bertumbuh secara lengkap dan mendalam (Kol 2:6,7; Gal 2:19,20) agar mampu memahami kehendak Kristus dalam setiap aspek hidup dan pengajarannya.

Mengajar dalam perspektif pendidikan teologi bukanlah sebuah pekerjaan yang bersifat mekanistik, sehingga kemampuan akali manusia tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya indicator penentu keberhasilan dalam sebuah pembelajaran. Ada peran yang tidak kelihatan (invisible) juga yang sangat mempengaruhi tingkat pencapaian terhadap tujuan pengajaran Kristen, yaitu karya Roh Kudus. Oleh karena pengajaran yang disampaikan dalam pendidikan teologi bukan hanya pengetahuan saja maka hanya Roh Kuduslah yang dapat membuat doktrin ataupun ajaran Kristen mengenai pada sasarannya. Tiap dosen memerlukan Roh Kudus dalalm dirinya agar dapat dengan kuat kuasa Tuhan ia dapat mengajarkan kebenaran Tuhan secara bermanfaat.[55] Wesley R Willis pernah berpendapat bahwa

It is important to recognize that biblical teaching involves more than transmiting content naturally, we must never demand the importance of the scripture content; but the message of truth cannot be saparetes from the person who communicates that truth the bible is God truth and accurate revelation-wheter or not it is thought, understood, or even read. But in order to teach it’s truth effectively, scripture must be demonstrated and visualized through the life of the instructor, such was the case in ministry of Jesus Christ and the teaching of Paul. This lesson must continue in our ministries today.[56]

Menurutnya, kebenaran Kristiani tidak dapat disampaikan seperti halnya menyampaikan kebenaran ilmu pengetahuan yang biasanya, dimana peranan hubungan pengajar dengan Allah tidak terlalu dipertimbangkan karena kebenaran kristiani yang hendak disampaikan, sangat terkait dengan pribadi yang mengkomunikasikannya sehingga pengajar harus mendemonstrasikan kebenaran itu di dalam dan melalui hidupnya. Pengalaman rohani yang demikian hanya akan terjadi jika seorang dosen memberikan ruang gerak bagi Allah Roh Kudus untuk menguasai dan berkarya secara penuh dalam kehidupannya sehingga melalui tingkatan pencapaian kematangan dan pertumbuhan rohani itu tujuan pembelajaran yang sejati dapat diwujud nyatakan karena pengajaran yang mereka sampaikan mengadung otoritas dan wibawa ilahi.

While Christ did not personality remain with His disciples, he sent His Holy Spirit the helper to stay with them; Christ presence in the person of the Holy Spirit the same spirit indwells all believer today. This spirit stand with us to encourange and comfort us. We are not left to our own wisdom and devices to serves God. This fact should make a great deferences as we teach.[57]

Peranan Roh Kudus tidak hanya sekedar sebagai penolong dalam hidup seorang dosen, namun oknum kedua dari Allah Trinitas tersebut memapukan seorang dosen untuk menjadi pengajar yang efektif dalam setiap pengajarannya.

            Kehidupan rohani seorang pengajar memang merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat ditiadakan. Bagi Werner kehidupan rohani memiliki peran yang sangat penting (fundamental)  karena mempengaruhi seluruh proses persiapan dalam suatu pembelajaran “it may be stating the obvious to say that a Christian teacher must have a personal relationship with Jesus Christ and trust in Him only for eternal salvation, but that is the vital ingredient in the total preparation process”.[58] Beberapa teolog dan beberapa ahli pendidikan sepakat jika kematangan kehidupan rohani ini seharusnya menjadi titik awal atau starting point dalam proses pembelajaran, secara khusus dalam perspektif pendidikan teologi karena dalam proses pertumbuhan rohani ini seorang pengajar berupaya mewujudkan “spirit filled” maupun “Christ centered life”, sehingga tujuan pembelajaran dapat terwujud secara sempurna.

 

Soli Deo Gloria

 



[1] Diktat kuliah Pascasarjana Formasi Spiritualitas, (Malang : Institut Teologi Aletheia, 2012),hlm.1

[2] Simon Chan, A Dictionary Of Asian Christianity, (Grand Rapid : Eerdemans Publishing House, 2001),p.790

[3] Alister McGrath, Christian Spirituality, (UK:Blackwell Publishing Ltd,2003),p.2

[4] Viktor I Tanja, Spiritualitas, Dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1996)hlm.89

[6] BJ.Boland, Intisari Iman Kristen, (Jakarta : BPK Gunugn Mulia, 1984)hlm.37

[7] J.Wesley Brill, Dasar Yang Teguh, (Bandung : Kalam Hidup, 1978)hlm.287

[8] John Haughey, The Faith That Does Justice, (New York : Paulist Press, 1977)p.10-16

[9] Ronald W.Leigh, Effective Christian Ministry, (illionis : Tyndalle House Publisher, 1988)p.20-22

[10] G.Christian Weiss, Bagaimana Menjadi Seorang Kristen Sejati, (Jakarta : Memori Press, 1951)hlm.51

[11] John Lei, Perjuangan Iman, (Jakarta : PT Buana Ilmu Populer, 1976)hlm.130

[12] John F Walfoord, Roy B.Zuck, The Bible Knowledge of New Testament Commentary, (USA : Victor Book, 1983),p.740

[13] Hendra G.Mulia, Menjadi Religius dan Spiritual, Dalam Integrated Life (Jogjakarta : Yayasan ANDI,2006)Hlm294

[14] Ibid,hlm.295

[15] Ibid, hlm.17-18

[16] Karena postmodern sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme yang merupakan suatu gerakan filsafat yang menetang pemikiran essensialism dengan memusatkan perhatian pada situasi manusia pada awalnya, namun demikian ruang lingkup jangkaunnya kemudian meluas kepada kawasan ilahi sehingga munculah eksistensialis theistik yang berawal dari pemikiran Kiergaard dan eksistesialism atheistik dari pemikiran Friedrich Nietzsche. Filsafat eksistensialim memandang segala sesuatu dengan berpangkal pada eksistensi, pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan abad pertengahan, sejak awal filsafat ini dikaitkan dengan SØren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche. Filsafat ini memandang bahwa eksistensi bukanlah obyek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam batin individu. Ditegaskan juga bahwa eksistensi mendahului essensi. Pada dasarnya ide pokok pemikiran filsafat ini ada dua hal, yaitu pertama, Pemikiran bertitik tolak dan mempertahankan antitesis antara subyek dan obyek. Dan manusia sebagai subyek tidak dapat menjadi obyek pemikiran. Manusia menjadi subyek bukan menjadi obyek penyelidikan dan manipulasi praktis seperti dalam rasionalism. Kedua,Kebebasan berarti manusia tidak menjadi obyek yang dibentuk dibawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya sendiri dengan tindakan dan perbuatannya. Seorang manusia bebas mengambil tanggung jawab atau apa yang diperbuatnya, dan tidak membenarkan diri berdasarkan hal-hal sekitarnya karena itu manusia bertanggung jawab atas segala yang terjadi dalam sejarah. Eksistensialism bersifat teknis yang menjelma ke dalam bermacam-macam sistem yang berbeda-beda, namun demikian masih terlihat ciri umum yang menampakakan kesamaan dasar berpikir mereka yaitu :

·        Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksisitensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ada pada manusia, karena itu bersifat humanis.

·        Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, yang artinya menciptakan diri secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan, setiap saat manusia bisa lebih atau kurang dari keadaannya.

·        Manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnta manusia terikat pada dunia sekitarnya, lebih-lebih sesamanya manusia.

·        Memberikan tekanan pada pengalaman konkret, pengalaman eksistensial.

[17] Bambang H.Widjaja dalam http://www.gkpb.net/index.php/component/k2/item/931-spiritualitas-kristen-kontemporer

[18] Desmond Alexander, et al, New Dictionary of Biblical Theology, (Illionis : Interversity Press, 2000), p.721    

[19] Charles Hodge, Systematic Theology,Abridge Edition, (Grand Rapid : Bakker Book Publisher),P.436

[20] Millard J.Ericson,  Introduction Christian Doctrine, (Michigan : Bakker Book House,1992).p207

[21] Ken Gnanakan, The Pluralistic Predicament, (India : Theological Book Trust, 1992),p.125

[22] Kenneth O.Gangel, Leadership For Church Education, (Chicago : Moody Press,1973), P.29-30

[23] V.Schunemann, Apa Kata Alkitab Tentang Dogma Kristen, (Malang:YPPII,1988), Hlm.18

[24] Millard J.Ericson, Teologi Kristen 1, (Malang : Gandum Mas, 1999),Hlm.194

[25] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang : Gandum Mas, 1992),hlm11

[26] Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, (Surabaya :Momentum, 2000),h.128

[27] Kreamer, Teologia Kaum Awam, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1981)hlm.103

[28]Jemaat, Peraturan, Susunan Pelayanan, dan Pelayanan-Pelayanannya (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1988)hlm.130

[29] JL.Ch.Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000)hlm.20

[30] Gottfried, Pemimpin Yang Menjadi Pelayan, (Jakarta : Yayasan Bina Kasih, 1998)hlm.53-54

[31]  Bible Knowledge Commentary/New Testament Copyright © 1983, 2000 Cook Communications Ministries. All rights reserved.)

[32] Patrick Morley, A Guide To Spiritual Disciplines, (Malang : Gandum Mas, 2009),hlm.14

[33] Ibid,hlm 16

[34] V.Schunemann, Apa Kata Alkitab Tentang Dogma Kristen, (Malang:YPPII,1988), Hlm.18

[35] Millard J.Ericson, Teologi Kristen 1, (Malang : Gandum Mas, 1999),Hlm.194

[36] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang : Gandum Mas, 1992),hlm11

[37] Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, (Surabaya :Momentum, 2000),h.128

[38] R.Laird Haris,  Inspiration And Canonicity of Th Bible, (Michigan : Zondervan Publisher, 1974),p.19

[39] Ibid

[40] Millard J.Erickson, Introduction Christian Doctrine, (Grand Rapid : Baker Book House, 1992).P.260

[41]  Ibid

[42] Robert Morey, The Trinity, Evidence and Issues, (Michigan : World Publishing, 1996)P.188

[43] Millard J.Ericson,OP Cit P.262-263

[44] Charles R.Swindol, Growing Deep in The Christian Life, (Oregon: Multnomah, 1986)P.178.

[45] Bob Gordon,  David Fardouly, The Foundations Of Christian Living, ( England : Sovereign World, 1988),p.44

[46] Ibid. P. 43.

[47] Purnawan Tenibemas, Spiritualitas di Sekolah Teologi. Dalam Jurnal Teologi STT Tiranus , (Bandung : STAS, 2010)Hlm.3

[48] P.468

[49] Soemarto Martowirjono, Pendidikan PAK Pada SD, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi,(Jakarta : CV Paripurna,t.tp)hlm.12-13

[50] Karen Anderson, Ways of Teaching, (Pensylvania : The Muhlenberg Press, 1952) p.47-48

[51] Ibid,p.48

[52] EG.Homrighausen, hlm.181

[53] James De Forest Murch, Christian Education And The Local Church, ( Ohio : The Standart Publishing Company, 1943)p.169

[54] Ralps Riggs, Succesfull Sunday School, (USA : Gospel Publishing House, 19780P.37

[55] Soenarto Maryowijono,hlm.13

[56]Make Your Teaching Count, (illionis : Victor Books A Division of  Publication, 1977),p.38

[57] Ibid p.39

[58] Introduction To Biblical Christian Education,p.82.

Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...