BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Istilah
Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisit namun bukan berarti konsep ini adalah pengajaran yang non biblical atau tidak memiliki landasan teologis sama sekali karena seluruh isi Alkitab secara implisit mengandung pengajaran tentang itu.[1] Secara tradisional istilah Trinitas didefinisikan “The Trinitarian doctrine is that there is One God who exists eternally in three Persons: Father, Son, and Holy Spirit. The Father is God, the Son is God, and the Holy Spirit is God. However, the Father is neither the Son nor the Holy Spirit. The Son is not the same person as the Father or the Holy Spirit. The Holy Spirit is neither the Father nor the Son”[2] maknanya, Allah adalah esa dan dalam keesaannya itu terdapat tiga pribadi yang setara dan kekal yaitu Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Definisi ini memang agak membingungkan karena bagaimana mungkin yang “satu” itu juga adalah “tiga” demikian juga sebaliknya , JD Douglas menjelaskan lebih terinci bahwa “ theology seeks to define the subsistence of God by stating that God is one in His essensial being, but that the divine essence exist in three modes or form, each constituting a person, yet in such way that the divine essence in wholly in each person”[3]. Definisi ini juga selaras dengan pandangan Paul Enns yang menyatakan bahwa keesaan Allah itu berkaitan dengan esensinya, sedangkan ketigaanNya itu berkaitan dengan pribadi yang ditampilkannya, dalam ketigaannya itu ada relasi yang unik[4] atau dapat disebut juga “terpisah namun saling terkait”,[5] dan dalam ketigaannya itu setara dan sama kekal.[6]
Konsep Trinitas pada dasarnya dapat dicermati pada dua perspektif, [7] yaitu, Sudut pandang ontologis yang memfokuskan pada pekerjaan ketiga pribadi tersebut atau “opera ad intra” (pekerjaan di dalam) atau sifat-sifat yang membedakan ketiga pribadi tersebut, kedua adalah Sudut pandang administratif / ekonomis yang berfokus pada jabatan, tindakan, dan tugas masing-masing pribadi “opera ad ekstra” (pekerjaan keluar) yang berbeda, yaitu tugas Bapa adalah memilih (I Pet 1:2), memelihara alam semesta (Yoh 3:16), tugas Anak adalah menebus (I Pet 1:18), sedangkan tugas Roh Kudus adalah melahirkan kembali (Tit 3:5), menguatkan (Kis 1:8) dan banyak lagi yang lainnya.
B. Batasan Masalah
Tulisan ini didasarkan pada pendekatan teologis dan historis dogmatic. Pendekatan bersifat teologis karena sebagian besar uraian di dalamnya dilandasi oleh bukti-bukti alkitab sebagai penyataan Allah dalam memperkenalkan jati diriNya kepada manusia secara lengkap, sedangkan pendekatan secara historic dogmatic adalah menelusuri bagaimana perkembangan doktrin itu dalam sejarah gereja sampai menemukan rumusan bakunya di masa kini.
Meskipun harus jujur diakui bahwa pendekatan ini tidak akan memuaskan semua pihak, namun jalan ini merupakan jalur utama dalam memahami misteri Trinitas meskipun tidak secara sempurna. Alban Douglas pernah mengutip pernyataan demikian “do not be trouble if you cannot understand this perplexing doctrine. He who would try to understand the Trinity fully will lose his mind, but he who would deny the Trinity will lose his soul“.[8] Semua teolog tidak akan pernah menemukan sebuah penjelasan yang sempurna terhadap doktrin ini dengan pendekatan apapun, “it is mystery and will remain a mystery until we meet the Lord in glory”[9], Oleh karena itu tulisan ini tidak bertujuan untuk memuaskan rasa penasaran kita melainkan menguraikan apa yang Alkitab nyatakan tentang misteri Trinitas.
C. Signifikansi Pembahasan
Jangkauan signifikansi pemahaman terhadap pengajaran Trinitas ini sangat luas, yang menyangkut pada tataran yang sangat luas, pertama berkaitan dengan karya penyelamatan, Dosa, iman dan pembenaran. Dalam ketrinitasan Allah yang agung itu kita dapat melihat karya-karya besar dari masing-masing pribadi Allah, bahwa Roh Kudus berperan menginsafkan orang percaya dari dosa dan menuntun untuk dapat beriman kepada penebusan yang dilakukan oleh Allah Anak. Karya Trinitas memungkinkan untuk karya penyelamatan terjadi karena dalam hal itu Bapa berperan memilih umat, Yesus menebus umat, dan Roh Kudus memeteraikannya. Kedua berkaitan dengan Penyataan (revelation), Trinitas memungkinkan bahwa yang tidak mengenal Yesus tidak mengenal Bapa. Kebenaran tentang inkarnasi oknum kedua trinitas dibuktikan dengan Yesus pernah datang kedua dan dapat ditelusuri silsilah-Nya di dunia. Ketiga adalah berkaitan dengan Penyembahan dan Doa, Alkitab dengan gambling menyatakan bahwa kuasa doa sangat ditentukan oleh siapa yang membawakannya (Rom 8), di sinilah peran Roh Kudus sangat signifikan karena Ia berperan dalam “menerjemahkan” doa orang percaya kepada Bapa.
BAB II
MISTERI TRINITAS DALAM KEKRISTENAN
Pengajaran tentang Trinitas mengalami perkembangan yang sangat dinamis dalam sepanjang sejarah gereja karena doktrin ini merupakan misteri yang paling sulit untuk dijelaskan secara gamblang oleh pihak gereja kepada umat Kristen sendiri ataupun pihak luar gereja. Banyak tokoh-tokoh gereja berusaha memahami dan menjabarkan konsep yang rumit ini
A. Doktrin Trinitas Dalam Gereja.
Menurut sejarah, proses perkembangan doktrin ini tidak langsung diterima begitu saja seperti rumusan yang saat ini sudah diterima oleh gereja. Pada abad pertama belum muncul doktrin ini karena belum ada tantangan, namun pada abad kedua Tertulianus membuat suatu rumusan walaupun belum begitu jelas. Ia merumuskan doktrin ini sebagai jawaban terhadap serangan dari Monarkhisme Dinamis (adopsionisme). Arius kemudian menolak konsep trinitas yang dirumuskan oleh Tertulianus, sehingga memacu munculnya konsili Nicea yang merumuskan pengajaran tentang trinitas secara memadai guna menentang ajaran sesat yang banyak berkembang di seputar gereja.
Pasca konsili Nicea, tidak serta merta bidat-bidat Kristen hilang dan mengakui rumusan trinitas hasil konsili Nicea. Sosok penting pasca konsili ini adalah Athanasius[10] yang secara konsisten menolak doktrin Arius yang terus menyebar di dalam gereja, ajaran Athanasius kemudian diformulasikan secara lengkap dan hasilnya menyerupai doktrin yang kita kenal saat ini. Doktrin paling mapan terjadi pada masa Agustinus, yaitu pada tahun 354-430 yang kemudian dipopulerkan pada masa reformasi.
B. Dasar Alkitabiah Pengajaran
Istilah Trinitas/ Tritunggal tidak dapat kita temui dalam Alkitab, sebab istilah tersebut bukanlah istilah asli Alkitab melainkan istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan suatu doktrin yang sangat rumit, yang dipaparkan dalam beberapa bagian dari teks Alkitab. Meskipun demikian doktrin Trinitas merupakan ajaran yang Alkitabiah, meskipun Alkitab tidak menyatakannya secara jelas. Selain itu pemahaman mengenai Trinitas hanya mungkin dipahami sebatas apa yang dinyatakan Tuhan melalui Alkitab. Trinitas tidak boleh dipahami secara rasionalis matematis, melainkan harus ditinjau dari sudut pandang supranatural.
Konsep Keesaan Allah Dalam Alkitab
Upaya memahami konsep Trinitas secara tepat memerlukan sebuah prasyarat penting, jika prasyarat itu tidak dimiliki dan dipahami pastilah pemahaman tentang topic ini menjadi sangat kabur. Prasyarat pembahasan tentang Trinitas itu adalah perlunya didasari pemahaman tentang keesaan Allah terlebih dahulu, sehingga kita memahami bahwa Kekristenan berakar dari Yudaisme yang secara konsisten mempercayai dan mengajarkan tentang keesaan Allah, jadi Kristen tidak menganut polytheisme atau triteisme, melainkan monotheisme. Paul Enns[11] menyatakan bahwa pemahaman tentang keesaan Allah bisa dipahami melalui dua perspektif, pertama menekankan jumlah, bahwa Allah itu hanya satu jumlahnya dan hal inilah yang ditampilkan dalam beberapa bagian Alkitab. Kedua menekankan bahwa Allah itu bukan merupakan komposisi yang bisa dibagi-bagi, atau menekankan pada aspek kualitas.
Konsep keesaan Allah seperti yang dipaparkan di atas seolah-olah sederhana dan gampang dinalar, namun tidaklah demikian adanya. Pemahaman tentang Allah yang satu itu sangat misterius dan tersembunyi dalam transendensiNya yang tak terselami. Manusia hanya mampu sedikit mengerti tentang Dia berdasarkan data dari Alkitab dan juga dari mengamati alam semesta.[12] Oleh karena kemisteriusan ini maka konsep tentang keesaan Allahpun membuka celah terjadinya keragaman tafsir dan perbedaan pandangan dalam teologi Kristen, maupun dalam teologi agama-agama, maka dalam tulisan ini tidak akan membahas tentang perbedaan itu namun lebih fokus membahas tentang kepastian akan kebenaran mengenai keesaan Allah dan bukti-bukti alkitabiahnya.
Fakta tentang keesaan Allah dinyatakan hampir dalam keseluruhan isi Alkitab dengan berbagai cara, secara tegas pengajaran ini dinyatakan dalam 10 hukum Taurat (Kel 20:2-3). Dalam dasa titah (dan diteruskan dalam berbagai peristiwa) menunjukkan bahwa Allah tidak akan pernah menoleransi segala bentuk penyembahan berhala atau penyembahan kepada allah lain, karena Allah yang sejati hanyalah ada satu yaitu Allah Israel.[13] Konsep keesaan Tuhan itu juga ditegaskan melalui“shema” Israel seperti yang terdapat dalam Ulangan 6, bahwa iman kepada Allah yang esa itu juga harus diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu bangsa Israel. Dalam Perjanjian Baru konsep ini terpelihara dengan murni, hal ini tampak jelas pada pengajaran Paulus ( 1 Kor 8:4,6; I Tim 2:5-6), dalam pengajaran Yakobus (yak 2:19).
Jadi sangat jelas bahwa kekristenan secara konsisten meyakini keesaan Allah, namun demikian dalam keesaanNya tidak berarti bahwa Allah itu hanya satu dalam hakikat, pribadi, perwujudan, pekerjaan, yang semuanya itu bersifat konsisten dan monoton. Melalui Alkitab juga disajikan data yang tidak bisa disangkal bahwa Allah juga menyatakan dirinya dalam tiga pribadi dengan karakteristik dan pekerjaan yang berbeda, hal ini menunjukkan keagungan dan kreatifitasnya yang tak terselami oleh manusia yang terbatas. Jadi mempercayai Allah yang esa tidak harus menolak ketrinitasanNya, dan sebaliknya mempercayai ketrinitasanNya tidak membuktikan bahwa kekeristenan menyembah tritheisme.
Bukti Trinitas dalam Perjanjian Lama
Meskipun hakikat Trinitas dalam Perjanjian Baru dinyatakan lebih jelas, namun tidak dapat diragukan bahwa dalam Perjanjian Lama juga menerangkan adanya bukti tentang pribadi-pribadi yang berbeda dalam keesaan Allah, yang sangat jelas bahwa beberapa nats memperlihatkan peran masing-masing sangat menonjol.
Trinitas Pra-Israel.
Pada zaman pra Israel tidak ada pernyataan tentang Trinitas, akan tetapi ada penyataan bahwa ada kejamakan pribadi dalam oknum Allah yang esa itu. Dalam kejadian 1: 26 yang tertulis “baiklah Kita…” menunjukkan bahwa dibalik keesaan Allah ada pribadi-pribadi yang berbeda. Ada beberapa contoh tafsiran yang salah dalam memahami nats tersebut, misalnya tafsiran yang menjelaskan bahwa :
1. Pernyataan itu adalah sisa-sisa polyteisme Israel.
2. Kata “kami” dipakai sebagai sebagai kata ganti “saya” seperti kebiasaan dalam pidato atau surat.
3. Saat itu Tuhan bersama-sama dengan para malaikat dalam mengucapkan kata “kita”.
Ketiga tafsiran tersebut jelas-jelas tidak memiliki landasan biblika yang kuat, mengapa ? Pertama, tidak ada informasi internal yang cukup memadai untuk mengafirmasi tentang keyakinan polytheisme Israel. Kedua, dari segi terminology, maupun etimologi sangat sulit mengasumsikan istilah “kami” dengan “saya” memiliki makna yang sama dan perbedaan istilah hanya dipengaruhi oleh konteks pemakaian istilah. Ketiga, para malaikat tidak diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, sehingga sulit untuk menerima tafsiran bahwa Allah bersama para malaikatlah yang menciptakan manusia.
Trinitas Zaman Israel.
Nama Allah yang disebut pertama kali dalam Alkitab adalah “Elohim” dipakai dalam beberapa nats misalnya Kej 1:26;3:22; 11:7;Yes 6:8, meskipun nama tersebut berbentuk jamak intensif yang tidak selalu menunjuk kepada Trinitas, namun dalam beberapa teks, nama tersebut juga diikuti dengan kata kerja berbentuk jamak misalnya dalam Kej 1:26: 11:7. Dalam hal ini sejatinya Allah sedang menunjukkan Ketrinitasan dalam keesaanNya.
Malaikat Yahweh
Meskipun malaikat sering bertindak mewakili Allah, namun malaikat-malaikat berbeda dengan Malaikat Yahweh (Kej 16:7-13; 18:1-21; 19:1-28; Mal 3:1). Beberapa karakteristik melekat pada diri malaikat ini, yang membedakannya dengan para malaikat pada umumnya, ciri –ciri tersebut antara lain :
1. Ia berfirman atas nama-Nya sendiri (Kej 16:10).
2. Ia mau disembah oleh orang (Yos 5, Hak 2).
3. Ia juga disebut Allah (Kej 16:13).
4. Ia dibedakan dari Bapa sebab Ia dapat disuruh oleh Bapa (Hak 13).
5. Dari beberapa bukti tersebut di atas maka kita dapat berkesimpulan bahwa eksistensi Allah Trinitas sangat nyata dalam hal ini.
Penyataan Roh Kudus Terdapat Pada Zaman Israel.
Pada zaman Israel pekerjaan Roh Kudus tampak sangat menonjol, meskipun tidak mendominasi peran dalam kaitannya dengan karya Illahi terhadap kehidupan umat Israel, misalnya saja Roh Kudus menghiasi makhluk dengan kecakapan dan talenta (Kel 31:2), Ia menerangi hidup rohani umatNya (Maz 51:13; Zak 4::6) dan Roh Kudus juga merupakan Roh nubuat, yang memberi ilham dari Allah sehingga manusia mampu memahami dan melanjutkannya kepada orang lain (Yeh 11:5; Bil 11:29).
Pribadi-Pribadi yang Berlainan.
Dalam beberapa bagian Kitab suci kita dapat mencermati bahwa Allah sedang memberikan suatu informasi yang sangat penting tentang ketritunggalaNya, misalnya saja ketika muncul nats yang menjelaskan tentang keberadaan Tuhan yang dibedakan dari Tuhan (Kej 19:24; Hos 1:7), Penebus (illahi) dibedakan dari Tuhan (Yes 59:20), dan Roh dibedakan dari Tuhan (Yes 48:16; 59:21; 63:9-16).
Trinitas Dalam Perjanjian Baru.
Kita tidak perlu mencari nats-nats dalam Perjanjian Baru yang mengandung pernyataan tentang Trinitas karena seluruh Perjanjian Baru dibangun berdasarkan Trinitas. Kita dapat menemukan catatan yang berkenaan dengan Allah Bapa, bahwa Bapa mengutus Allah Anak (Yoh 5:30,37; Yoh 20:21,dsb. Allah Bapa menyerahkan segala sesuatu kepada Allah Anak (Mat 11:27; Luk 10:22; Yoh 8:29; Yoh 13:3), Allah Bapa yang mengadili, memberi pahala sekaligus hukuman (Mat 6:4,18;Mat 10:28,Luk 12:5; Mat 13:43), Bapa senantiasa beserta dengan Anak (Yoh 14:10; 6:57).
Catatan yang berkenaan dengan Allah Anak dalam Perjanjian Baru misalnya adalah bagaimana digambarkan baha Anak mengenal Bapa dengan sempurna (Yoh 10:15; Yoh 14:10,11,28; 17:21), Anak hanya mengerjakan yang diperintahkan oleh Bapa (Luk 2:49;22:42; Yoh 10:32), Anak adalah jalan satu-satunya menuju kepada Bapa (Yoh 14:6,9).
Catatan yang berkenaan dengan Roh
Kudus misalnya Roh Kudus diutus oleh Bapa (Yoh 14:16;14:26), Roh Kudus
diutus oleh Anak (Yoh 15:26), Roh Kudus adalah pribadi, bukan sekedar kekuatan,
penolong (parakletos=penghibur)(Yoh
14:16; 15:26), Roh Kudus bekerja dalam Allah Anak (Luk 4:18; Mat 12:28), Roh
Kudus bekerja dalam diri orang percaya (Yoh 3:6, Mat 10:20)
Ketiga Pribadi dinyatakan
Dalam Perjanjian Baru ada begitu banyak bagian tentang dinyatakannya ketiga pribadi trinitas misalnya melalui pembaptisan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:6), Ketika Yesus dikandung oleh Maria (Luk 1:35), Dalam rumusan pemberian berkat (2 Kor 13:13; I Pet 1:2; Wahyu 1:4,5), dan Ketiganya memberi karunia rohani (I Kor 12:4,6).
Kesetaraan Trinitas berdasarkan SifatNya
Kesetaraan di antara pribadi trinitas tercermin dalam banyak bagian Alkitab, baik yang menyangkut, Bapa, Anak, mupun Roh Kudus. Misalnya, Bapa maha kuasa (Mat 19:26), Yesus maha kuasa (Mat 28:18), dan Roh kudus maha kuasa (Kej 1:2), Bapa maha Tahu (Mat 10:29), Yesus maha tahu (Yoh 1:48), dan Roh Kudus maha tahu (1 Kor 2 :10-11). Bapa maha kudus (Yoh 17:11), Yesus maha kudus (2 Kor 5:21), dan Roh Kudus maha kudus (Rom 1:4). Jadi bagian-bagian dari ayat dalam Alkitab tersebut semakin membuktikan bahwa ketiga pribadi dalam Trinitas itu setara dalam segala hal.
Ajaran Perjanjian Baru tentang Trinitas
Perjanjian Baru memberikan sebuah gambaran tentang kebenaran Trinitas sangat lengkap, tegas dan saling terjalin integral. Seluruh uraian dalam Perjanjian Baru secara konsisten mengajarkan bahwa Bapa adalah Allah (Yoh 6:44-46; Rom 1:7; I Pet 1:2) Anak adalah Allah (Yes 9:5; Yoh 1:1; 20:28, I Tim 3:16) dan Roh Kudus juga adalah Allah (Kis 5:3-4, Ibr 9:14). Kebenaran-kebenaran ini sekaligus meruntuhkan semua teori-teori yang dibangun oleh bidat Kristen sepanjang sejarah kekeristenan, dan sekaligus mengukuhkan doktrin ortodoks iman Kristen.
Kesetaraan Trinitas Berdasarkan Pengakuan dari KetigaNya
Melalui peristiwa pembaptisan Yesus, panorama kebenaran tentang status ketiga pribadi Allah dipertontonkan secara terbuka dan sangat jelas, bahwa Bapa dan Roh Kudus menyatakan kebenaran tentang Yesus yang sama dengan mereka dalam kuasa dan kemulyaan (Mat 3:16-17). Demikin pula kita juga sering mendengar penyataan Tuhan Yesus sendiri secara langsung tentang keberadaan tritunggal (Yoh 14:16,26; 15:2; Mat 28:19-20). Kebenaran itu juga menjadi bahan pemberitaan utama oleh para rasul, misalnya pernyataan Rasul Paulus ( 2 Kor 13-14) dan Pernyataan Rasul Petrus ( 1 Pet 1:2; 4:14).
C. Konteks Munculnya Pengajaran
Tokoh gereja pertama yang memformulasikan konsep trinitas serta memperkenalkannya menjadi istilah gerejawi (ecllesiastical language)[14] adalah Tertulianus, kemudian formula itu dituangkan dalam kredo berbahasa Latin gereja Katholik Roma yang berbunyi “ Let us preserve the mystery of three divine economy which disposes the unity into trinity, the Father, the Son and Holy Spirit, three not in essence but in grade, not in substance but in form.”[15] Tertulianus sangat gigih menentang kecenderungan konsep tritheistik yang berkembang masa itu, ia juga menjelaskan konsep trinitas secara “divine economy”, sebuah istilah yang penting dalam theologi gereja saat itu, bahwa Allah memanifestasikan diriNya dalam berbagai periode sejarah. Baginya ketiga pribadi Allah dalam trinitas adalah “persona” atau yang dalam istilah Yunani disebut “prosopon” yaitu seperti topeng actor dalam sebuah panggung sandiwara, yang masing2 memiliki penampilan berbeda, karakteristik ekspresi ilahi yang berbeda, dan itulah konsep Trinitarian monotheistic dari Tertulianus.
Pasca pemikiran Tertulianus maka bermunculan pengajaran-pengajaran baru tentang trinitas yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa bentuk :
Pertama, kelompok Monarhisme Dinamis (Adopsionisme), ajaran ini dikenalkan oleh Theodosius dari Bysantium, ajarannya menyatakan bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diberi kekuatan khusus dan diangkat menjadi Anak Allah pada saat pembaptisannya. Kemungkinan ada kaitan antara Theodosius dengan sebuah kelompok Kristen di Asia Kecil yang bernama “alogoi” yang sangat menolok pengajaran tentang “logos”. Ajaran ini dilanjutkan oleh Paul Samosata,[16] Ritschl, Gogarten.
Kedua, kelompok Monarkhisme Modalistik, Ajarannya menyatakan bahwa Kristus adalah wujud inkarnasi Allah Bapa dalam teologia Barat ajaran ini dikenal sebagai Patri Passianisme (Patri = Bapa dan Psako=menderita), sedangkan dalam teologia Timur ajaran ini dikenal sebagai Sabellianisme, namun pada intinya semua pengajarannya adalah sama, yaitu memahami bahwa Bapa, Anak dan Roh adalah satu pribadi (homouios) sedangkan nama-nama itu hanya “prosopa” semata-mata.[17]
Ketiga, kelompok Arianisme Dipelopori oleh Arius (250-336) mengajarkan bahwa Allah anak diperanakkan oleh Bapa sehingga memiliki permulaan dan Roh Kudus adalah ciptaan yang pertama dari Allah Anak.[18] Pandangan ini dibangun dari sebuah penafsiran terhadap beberapa ayat misalnya Matius 28:18; Markus 13 :32; I Korintus 15:28.
Keempat, kelompok Pneu Matomachians (373) diajarkan oleh Eustath dan kelompoknya, mengajarkan bahwa Allah Anak dan Roh Kudus semata-mata menyerupai zat Bapa, namun pada hakekatnya keduanya adalah sangat berbeda.
Kelima, Sub ordinasi. Pandangan ini membedakan tiap tingkatan di antara ketiganya, sehingga bagi mereka kualitas dan otoritas Bapa lebih tinggi dari kedua oknum lainnya. Ajaran ini dipelopori oleh Origen.[19]
Keenam, kelompok Gnostik, Merupakan penentang pertama doktrin Kristen sejak gereja mula-mula. Menurut Gnostik ada 2 asal dari segala sesuatu. Allah menciptakan/mengalirkan yang bersifat dunia roh (emanasi aion-aion). Sedangkan sesuatu yang ilahi (demi urgos) menciptakan sesuatu yang bersifat dunia materi/kebendaan. Dalam gnostik kekuasaan Allah dibatasi oleh Demi Urgos sehingga Allah anak yang kemudian menjadi manusia, dalam gnostik termasuk dalam dunia Roh yang diciptakan oleh Allah.
Ketujuh, kelompok Marcion. Mengajarkan bahwa Allah Perjanjian Lama berbeda dengan Allah Perjanjian Baru dan Yesuslah yang memperkenalkan Allah Perjanjian Baru itu. Allah Perjanjian Lama dipahami sebagai Allah yang keras, Allah yang suka terhadap perang juga Allah yang jahat, sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang penuh belas kasihan dan damai sejahtera.
Memang masih banyak pengajaran-pengajaran lain yang menyimpang dari ajaran ortodok gereja, namun sepertinya beberapa kelompok di ataslah yang memiliki pengaruh lumayan besar, sehingga ajaran lainnya tidak akan dibahas dalam tulisan ini.
Akibat Serangan-Serangan Terhadap ajaran tentang Trinitas.
Perkembangan pengajaran sesat yang datang baik dari dalam Gereja maupun dari filsafat di luar Gereja, memaksa Gereja berfikir untuk memformulasikan rumusan-rumusan tentang Trinitas agar penyelewengan tersebut tidak menyebar dan mendatangkan dampak negatif. Konsili Necea (325) juga muncul sebagai wujud respon Gereja terhadap masalah tersebut, yang menghasilkan pengakuan iman “Niceano-Constantinopolitanum” yang sesudah Synode Toledo (589) pengakuan ini mempunyai bentuk baku hingga sekarang kita kenal dengan pengakuan iman rasuli.
Kredo Nicea dimulai dengan pernyataan “ we believe in one God, the father almighty, maker of oll things visible and invisible. And in one Lord, Jesus Christ, the son of God, begotten of the Father, the only begotten of the essence of the Father, God of God, and Light of light, true God of true God, begotten not made, being of one substance with the Father, by whom all things were made in heaven and on earth, who for us men and our salvation come down and as incarnate and was made man…”[20]. Pernyataan ini sangat penting, istilah “invisible” mengadopsi ide gagasan filsafat Plato, bahwa Tuhan adalah pencipta bukan hanya bagi segala yang tampak di bumi tetapi juga “esensi”, seperti yang diajarkan dalam filsafat Plato.
Signifikansi konsili Nicea bagi kekristenan, pertama adalah bahwa para bidat Kristen sesungguhnya telah dikalahkan karena kredo yang disepakati dalam konsili tersebut menjawab segala tuduhan keliru dari pada bidat, kedua, konsili ini menunjukkan bahwa konsep trinitas bukan hanya milik gereja Katholik Roma ataupun Barat, namun juga gereja Timur, artinya adanya penyatuan keyakinan dan pengjaran didalamnya. Ketiga adalah terjadinya perkawinan antara filsafat dan theology karena statement dalam konsili itu dibuat dalam konsep kefilsafatan atau non biblical term, konsep filsafat Yunani kuno ikut masuk dalam dogma. Dan masih banyak lagi implikasi lain yang muncul.
D. Pandangan Injili Terhadap Pengajaran Trinitas
Teologi Injili berakar pada teologi Reformasi sehingga rumusan pengakuan terhadap konsep ini mengikuti rumusan pengakuan para reformator yang sebenarnya mewarisi kepercayaan yang ortodok. Baik Luther maupun Calvin menerima doktrin ortodok tentang trinitas karena mereka merasa bahwa doktrin itu bersumber dari kitab suci, namun mereka merasa bahwa doktrin itu hanya mungkin dipahami dan diterima oleh iman semata-mata.[21] Meskipun secara eksplisit tidak ada rumusan yang sangat jelas tentang topic ini, namun semua pengajaran ortodok bersumber dari Alkitab, bahkan seluruh pengajaran Yesus dalam Injil itulah yang melahirkan pemahaman tentang esensi dan aksi dari ketrinitasan Allah, demikianlah Douglas mengungkapkannya bahwa “ the teaching of Christ bears testimony to the true personality of each of the distinctions within the Godhead and also sheds light upon the relations existing between the three”[22].
Pada tahun 2011 sebanyak 73 teolog Injili mengikrarkan statement bersama tentang misteri trinitas ini, dan mereka sepakat bahwa “God is one being comprised of three aspects that are co-equal and co-eternal. It was a necessary move, signees say, given the lingering debate over Trinity doctrine in the Christian community”.[23] William David Spencer yang merupakan penulis dari deklarasi tersebut menyatakan "Historically, Christianity is monotheistic. Because of this, we have to deal with the fact God the Father, God the Son and God the Holy Spirit all appear in the Bible. The question then is how we understand it."[24] Teologi Injili secara konsisten memelihara doktrin ortodok Kristen, dan lebih banyak memikirkan bagaimana cara memahami dan menjelaskan kemisteriusan Trinitas, dibandingkan dengan melakukan revisi atau merumuskan ulang pengakuan ortodoks tersebut.
Dalam pandangan Injili, Teologi atau kebenaran doctrinal (trinitas) tidak hanya dimaksudkan untuk diinformasikan dan untuk dipahami saja, tapi melaluinya orang Kristen juga diharapkan menemukan pedoman yang menuntun pada kehidupan praktis sehari-hari. Teologi Injili digumuli bukan hanya untuk menemukan kebenaran yang bersifat teoritis filosofis dan berhenti cukup di sana, tapi juga menuntun dan mengarahkan orang percaya untuk mampu mengaktualisasikan kebenaran iman Kristen tersebut dalam kehidupannya seperti yang diungkapkan oleh Kenneth G. Howkins bahwa “The object of Christian theology is to explore, present and apply the Christian faith”[25].
Pandangan hidup Injili ini tidak hanya seperti slogan yang tidak bermakna, namun benar-benar teraktualisasi dalam diri setiap penganutnya, sehingga pengaruh Puritantism dan Pietism sangat kuat melekat pada kelompok Injili.
Whereas the Puritans had held that assurance is rare, late and the fruit of struggle in the experience of believers, the Evangelicals believed it to be general, normally given at conversion and the result of simple acceptance of the gift of God. The consequence of the altered form of the doctrine was a metamorphosis in the nature of popular Protestantism. There was a change in patterns of piety, affecting devotional and practical life in all its departments. The shift, in fact, was responsible for creating in Evangelicalism a new movement and not merely a variation on themes heard since the Reformation." This new assurance made way for the possibility of Revivalism, another key discontinuity with the Protestantism of the previous era.[26]
Hal senada juga diungkapkan oleh Randall Balmer, seorang akademisi bidang ilmu agama-agama bahwa,
Evangelicalism itself, I believe, is quintessentially North American phenomenon, deriving as it did from the confluence of Pietism, Presbyterianism, and the vestiges of Puritanism. Evangelicalism picked up the peculiar characteristics from each strain – warmhearted spirituality from the Pietists (for instance), doctrinal precisionism from the Presbyterians, and individualistic introspection from the Puritans – even as the North American context itself has profoundly shaped the various manifestations of evangelicalism.: fundamentalism, neo-evangelicalism, the holiness movement, Pentecostalism, the charismatic movement, and various forms of African-American and Hispanic evangelicalism.[27]
Kaum Injili secara konsisten berjuang untuk hidup sebagai orang Kristen yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip Alkitabiah. Semangat ini melekat sebagaimana kaum Fundamentalisme sebagai “kakak tertuanya” yang sangat dikenal dalam perjuangannya mememerangi Sekularisme dan Modernisme yang cenderung hedonis, suka berfoya-foya dan penentang hukum dan moralitas yang diajarkan dalam Alkitab. Semangat untuk menjaga kekudusan hidup, etika dan moralitas tetap menjadi karakteristik dari pergerakan kaum Injili.
Jadi, jelaslah bahwa teologia Injili bukan sekedar perkumpulan pendirian yang tidak jelas terhadap dunia dan manusia, dan kekristenan secara umum, bukan sekedar kumpulan perasaan dan emosi yang tidak terstruktur, seperti yang diungkapkan oleh Alister McGrath bahwa kekristenan yang injili berpusat pada “Beliefs about Jesus Christ, which give rise to specific religious and moral attitudes to God, others human being, and the world. Jesus Christ is the beginning the center, and the end of the Christian message of Hope”[28] dan tujuan puncak teologi Injili juga sangat jelas yaitu untuk meyakinkan dunia tentang finalitas keselamatan yang hanya ada di dalam Kristus Yesus (sola gratia in Christo per fidem),[29] yang tidak hanya dikerjakan melalui presentasi Injil yang baik, namun juga melalui persuasi kesaksian hidup yang baik.
Dalam konteks ini, kelompok Injili tidak hanya sibuk berupaya mengungkapkan kemisteriusan dari doktrin ini saja, sebagaimana karakteristiknya bahwa kelompok Injili sangat menekankan gaya hidup yang sangat praktis, cenderung menekankan implikasi dari doktrin trinitas. Pandangan John Owen banyak mempengaruhi pemikir Injili, ia pernah menyatakan
There was no more glorious mystery brought to light in and by Jesus Christ than that of the holy Trinity, or the subsistence of the three persons in the unity of the same divine nature . . . . And this revelation is made unto us, not that our minds might be possessed with the notions of it, but that we may know aright how to place our trust in him, how to obey him and live unto him, how to obtain and exercise communion with him, until we come to the enjoyment of him[30]
Jadi pada intinya kelompok Injili memberikan penekanan yang sangat besar pada aspek implikasi doctrinal dari pada penjelasan teoritis.
E. Pandangan Dunia Terhadap Pengajaran
Doktrin tentang Trinitas merupakan pengajaran yang sangat fundamental dalam iman, dan itu sekaligus adalah tanda ortodoksi sebuah pengajaran, namun harus diakui bahwa dunia tidak dapat mengenal dan memahami Trinitas, mengapa? Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan di sini namun pada intinya adalah ketidakmampuan penalaran manusia dalam menjelaskan hal ini menurut hukum logika.[31] Oleh Karena rasio manusia itu sudah tercemari oleh dosa dan berada di bawah kuasa iblis, maka hal itu berdampak pada kemerosotan daya dan upayanya. Rasio tidak dapat lagi diandalkan sebagai suatu tolok ukur yang mutlak dapat dipercaya untuk menemukan suatu kebenaran, oleh sebab itu John Calvin mengatakan bahwa rasio telah dipengaruhi oleh radix cardis yaitu akar hati manusia yang terkorup (Yes 17:9), sehingga rasio manusia tidak mampu menangkap atau melihat wahyu yang sesungguhnya, selain itu rasio sebenarnya menunjukkan ketidak mampuannya untuk menemukan sesuatu yang benar.[32]
Dosa memang telah merusakkan kemampuan rasio manusia, tetapi kelemahan itu sendiri bukan hanya semata-mata disebabkan oleh dosa saja, tetapi perlu dipahami bahwa rasio tidak mampu bekerja dalam dirinya sendiri, tetapi memerlukan sesuatu yang datang dari luar dirinya sendiri sebagai bahan perbandingan. Rasio hanya mampu mengerti sesuatu melalui perbandingan, mempertentangkan dan menarik kesimpulan, oleh sebab itu bila rasio manusia itu sendiri mau meneliti dan mengenali sesuatu maka titik-titik perbandingan itu harus ditemukan terlebih dahulu.[33] Oleh sebab itu rasio tidaklah independen melainkan dependen atau bergantung pada pengalaman yang dimiliki oleh manusia dalam cara kerjanya dan tidak mampu menjangkau apa yang di luar pengalaman empiris manusia.
Alasan selanjutnya mengapa dunia tidak mampu memahami misteri trinitas timbul karena di dalam Alkitab sendiri sangat kaya dengan istilah-istilah rumit dalam menjelaskan trinitas, dimana istilah itu sulit dipahami bukan hanya bagi dunia tetapi juga bagi orang Kristen sendiri, misalnya istilah “dilahirkan”, “anak sulung” dan “anak tunggal” karena ketiga istilah[34] tersebut sangat bersifat alamiah, dan dianggap tidak representatif dipakai untuk menggambarkan pengajaran sepenting itu karena justru akan mereduksi esensi dari ajaran. Inilah keterbatasan-keterbatasan teologis itu dalam mengungkapkan kebenaran.
F. Pandangan Penulis
Sebagai penganut Injili tentu pandangan penulis tentang doktrin Trinitas tercermin dalam pembahasan sebelumnya, oleh karena itu pada bagian ini tidak akan mengulangi paparan deskripsi keyakinan iman, melainkan berisi argumentasi mengapa penulis berposisi demikian.
Harus diakui bahwa menjelaskan tentang doktrin ini bukan hal yang mudah, hal ini menjadi tantangan paling besar yang dihadapi oleh para teolog Kristen, bahwa bagaimana mungkin ciptaan yang “terbatas” memiliki kemampuan atau memperoleh pengetahuan yang lengkap tentang penciptanya yang “tak terbatas”, dapatkah manusia sebagai makhluk yang dimensional memahami esensi yang bersifat “kekal”. Secara logis memang tidak akan mungkin manusia memperoleh pengetahuan di luar kemampuan inderawi manusia yang sangat terbatas, namun harus dipahami bahwa teologi Kristen berpijak pada presupposisi bahwa Allah sendiri yang berinisiatif untuk menyatakan diri-Nya sehingga manusia mampu memahami diri Allah sebatas apa yang Allah nyatakan.[35] Pemahaman inilah yang disadari sepenuhnya oleh Calvin sehingga ia menekankan pembahasannya yang berkenaan dengan masalah tersebut pada dua pokok penting seperti yang diungkapkan oleh Peter Lewis :
First, God must be known in His nature and character more than terms of His essence. God essence is largely beyond our knowing and it is enough for us to worship Him in His immensity… Second, it is a favourite emphasis in Calvin that pietas, piety in which reverence and love God are joined, is prerequisite to any true knowledge of God the knowledge of God must be personal, penitential and devout, in a word it must be responsive.[36]
Calvin berpandangan bahwa mereka yang bersikeras untuk memutuskan masalah “apakah Allah itu” dan “bagaimana eksistensinya” hanyalah akan bermain-main dengan teori-teori yang sia-sia belaka karena kesemuanya itu jauh melampaui kemampuan akal manusia, menurut Calvin lebih berguna untuk mengetahui bagaimana karakter Allah, dan hal-hal apa yang sesuai dengan kehendakNya, untuk kemudian mengenal ia secara pribadi dalam respon dan penyembahan yang benar.
Teologi itu sendiri dapat dimengerti oleh pemikiran manusia karena teologi itu merupakan suatu disiplin intelektual/berpikir yang dalam prosesnya mengikuti prosedur-prosedur untuk menyajikan suatu statement yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara keilmuan, maupun secara rohani.
Theology is an intellectual discipline that aims at setting forth in an orderly manner the content of a religious faith. This definition already indicates some of the peculiarities of the subject. Calling theology an intellectual discipline involves the claim that theology has its legitimate place in the spectrum of human knowledge and the claim that it can make true statements. Therefore it can also point to defensive intellectual procedures in support of the these claims.[37]
Jadi teologia bukanlah sekedar kumpulan dari asumsi-asumsi para teolog yang tidak memiliki nilai sama sekali, oleh karenanya proses menuju kepada teologi yang tepat harus didasarkan pada prasyarat dan metodologi yang memadai.
Teologi Kristen Kristen secara umum, dan doktrin Trinitas secara khusus, tidak mungkin dipahami dan dijelaskan dengan metodologi sembarangan. Kunci memahami konsep ini terletak pada metodologi apa yang dipakai. Penulis mengafirmasi metodologi yang ditawarkan oleh John M Frame bahwa metodologi dalam berteologi harus memuat tiga hal penting, yaitu aspek normative, aspek situasional, dan aspek eksistensial. Frame berpendapat bahwa
thus also in the area of method, there are normative, situasional, and existential aspects. Here, the normative perspective will deal with our use of scripture (not forgetting the scripture must be understood in the context of God’s revelation in nature and in the self). The situasional perspective will deal with the use of extrabiblical facts and tools (such as the sciences) for discovering those fact (not forgetting that scripture itself is the criterion of factual knowledge and that facts are not understood apart from personal interpretative framework). The existential perspective will deal with the knower’s capacities, skills faculties, and attitudes relevant to his knowledge (not forgetting that those matters must be understood through scripture and applied to our circumstance).[38]
Berdasarkan pada pandangan Frame tersebut maka dalam memahami rahasia Trinitas haruslah mengikuti prosedur yang tepat, yaitu :
Pertama, upaya memahami Trinitas merupakan studi yang berdasarkan alkitab. Sebagaimana dengan karakteristik teologi yang telah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa “evangelical teology is biblical”, tentu teologi yang benar adalah teologi yang dibangun di atas dasar keyakinan bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang sekaligus menjadi sumber kajian teologi dan penguji teologi, karena itu berteologi yang lepas dari Alkitab secara filosofis tidak dapat dikategorikan sebagai teologi sebab teologi yang benar haruslah mengakui finalitas kebenaran Alkitab. Teologi Injili secara konsisten mendasarkan pemikirannya di bawah terang Firman Tuhan[39] sebagai penuntun yang tidak mungkin menyesatkan baik dalam masalah iman maupun dalam kehidupan praktis karena Alkitab merupakan penyataan Allah yang diinspirasikan kepada penulis Alkitab dan sangat berguna dalam segala hal
Evangelical theology appeals to scripture as the infallible norm for faith and practice. Holy Scripture is the inspired record of God’s revelation and its divinely appointed medium. The apostle proclaimed : All scripture is inspired by God and profitable for teaching, for reproof, for correction, and for training in righteousness that the man of God may be complete, equipped for every good work (II Tim 3:16,17). [40]
Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa hanya Alkitab yang dapat membantu manusia dan membawanya kepada sebuah pemahaman yang benar, utuh dan menyeluruh tentang rahasia ketrinitasan Allah, di luar itu manusia tidak akan menemukan apapun.
Kedua, oleh karena teologi Injili adalah teologi yang alkitabiah maka sangat perlu adamya penjelasan yang melibatkan exegesis dan sistematisasi. Ada beberapa keberatan yang muncul berkenaan dengan kemungkinan didapatkanya kebenaran dari dalam Alkitab sendiri karena menurut beberapa kalangan sangat mustahil menemukan suatu kebenaran yang obyektif melalui usaha apapun, terutama para teolog Humanism yang tidak tertarik lagi terhadap proses exegesis yang mungkin menurut mereka sangat bertele-tele dan membuang banyak waktu dan tenaga. Bagi banyak teolog Alkitab merupakan teks kuno yang ditulis dalam konteks masa lalu sehingga adalah sebuah kemustahilan bagi manusia menemukan inti pemikiran penulis dan mengapa hal tersebut dituliskan, demikian pandangan mereka. Pada intinya mereka beralasan pada dua hal penting, yaitu
First, the assume that it is impossible to get back to original text of scripture[41] in other words, no one can really know for sure what Jesus or the apostles actually did or said. They do not trust the Gospels or the Epistles because the assume that the New Testament is fraudulent in content as well as in authorship.
Second, they also assume that if, by some kind of miracle, we could get back to the original text, it would not do us any good because it is impossible to know what the authors of the bible meant by their words.[42]
namun demikian kaum Injili sangat yakin dan optimis akan kemungkinan menemukan kebenaran yang telah terekam dalam Kitab suci tersebut dengan melalui suatu proses exegesis yang cermat dan berhati-hati
The last bastion where objective and absolute meaning can be found is in Evangelical theology. Evangelicals believes that it is possible to find the objective”true”meaning of a given text of Scripture by following the rules of grammar and syntax combined with the literary context and style of the passege and the historical, cultural context of the author. There will be only one true interpretation of the text which faitfully expounds what the author was saying. All other interpretations are false.[43]
Pandangan ini cukup mewakili pandangan umum kaum Injili bahwa ada suatu kemungkinan untuk menemukan kebenaran obyektif yang diberikan teks kitab suci melalui usaha yang prosedural dengan mempertimbangkan beberapa aspek misalnya gramatikal, sintaksis, yang dipadukan dengan konteks literal dan gaya bahasa, sejarah dan konteks budaya penulis. Pandangan ini juga didukung oleh asumsi dasar berteologia Injili, bahwa Alkitab yang kita miliki adalah cukup (sufficientia) yang dapat menjawab segala pertanyaan apa saja yang kita ajukan kepadanya asalkan melalui suatu proses penafsiran yang berhati-hati
God has not given us simply of wonderful mottoes. He has give us a book of perfect logic, presenting the ideas that He wants us to have about spiritual things. He has give us a collection of data, from which we can learn much about the past of this universe, about His plan for its future, and about His will for every one of us. It is His desire that we should interpret the Bible carefully, seeing the relation of its word to their context, considering them in the original languages, seeking to determine exactly what thy mean. No other attitude will receive God’s full approval. We must study His Word on a thoroughly scientific basis.[44]
Penafsiran yang cermat juga harus ditopang dengan penyelidikan terhadap ralasi teks dengan konteks yang mendasarinya, menyelidiki dalam bahasa asli (word study) dan berupaya memahami makna yang paling mendekati. Melalui proses ilmiah inilah Allah turut bekerja dalam memberikan illuminasi sehingga kita dapat memahami kehendak dan rencanaNya. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa Reformasi Protestan, John Calvin sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam teologi Injili dijuluki “raja dari penafsir”. “pengeksegesis yang besar di abad enam belas”, dan pencipta eksegesis yang murni.[45]ia memberikan prinsip-prinsip eksegesa yang sangat baik bahwa : Pertama, iluminasi dari Roh Kudus adalah sebuah keharusan, Kedua Penafsiran alegori berasal dari setan sehingga sangat menyesatkan, Ketiga Kitab suci menafsirkan kitab suci.
Prinsip ini juga sejalan dengan pandangan Luther, ia secara tegas memberikan prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk menafsirkan kitab suci bahwa illuminasi Roh Kudus dan bukan sekedar surat dari hukum yang penting, Peristiwa sejarah adalah esensial, perbedaan harus dikenali antara Perjanjian Lama yang adalah hukum, dan Perjanjian Baru yang adalah Injil, Kitab suci memiliki unsur yang menyatukan, yaitu Kristus, Penafsiran harafiah adalah penting, penafsiran alegori merupakan “taktik-taktik monyet”.[46]
Ketiga, perlu adanya perlengkapan lain yang juga sangat menentukan dalam berteologi adalah beberapa syarat penting atau perlengkapan yang harus ada dalam membangun sebuah teologia yang benar dan sehat, adalah harus ada asumsi dasar atau pemikiran awal yang benar[47], ada perlengkapan rohani yang memadai, ada sikap hidup Kristen yang benar, dan perlu adanya penerangan Roh Kudus. Kelengkapan-kelengkapan ini juga turut mempengaruhi bagaimana seorang teolog akan memperoleh pemahaman yang benar tentang misteri Trinitas.
G. Refleksi
Tidak harus mengerti semua hal dahulu sebagai prasyarat untuk mempercayai sesuatu, karena pada dasarnya dalam kehidupan ini manusia cenderung lebih banyak mempercayai misteri/rahasia yang sebenarnya tidak diketahui sepenuhnya. Demikian juga dalam kaitan dengan iman Kristen, ada banyak rahasia yang memang akan tetap menjadi rahasia dan tidak mungkin diungkap dan dipahami oleh manusia dengan jelas, dan hal itu merupakan bukti yang paling nyata bahwa Allah adalah Tuhan yang melampaui segala akal.
Ketritunggalan Allah yang merupakan rahasia ilahi akan mendorong kita untuk melakukan beberapa hal, Pertama adalah terus berupaya untuk mengekplorasi kekayaan dari dari wahyu Tuhan melalui kitab suci sehingga mendapatkan pemahaman yang memadai meskipun tidak lengkap. Kedua adalah mendorong kita untuk terus meningkatkan relasi dengan Tuhan melalui doa dan penyembahan terhadap Tuhan, sebab relasi ini merupakan kelengkapan penting juga dalam upaya mengenal rahasia dari Tuhan.
BAB III
KESIMPULAN
Doktrin trinitas adalah salah satu pengajaran fundamental dalam agama Kristen, yaitu pengajaran bahwa Allah adalah esa dan dalam keesaan itu terpancar tiga pribadi yang setara dan kekal. Keesaan itu dalam kaitan dengan esensi/hakikat, sedangkan “tiga” berkaitan dengan pribadiNya yang lengkap dengan atribut, kuasa, dan karya yang berbeda. Pengajaran tentang trinitas tampak secara nyata dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan disampaikan secara konsisten oleh para penulis Alkitab dalam seluruh bagian. Rumusan Trinitas dirumuskan dalam Konsili Necea pada tahun 325 dan diterima oleh gereja sampai saat ini.
Gereja Injili secara konsisten mengajarkan doktrin ini sebagaimana dengan yang diajarkan oleh para reformator, secara khusus Calvin. Meskipun golongan Injili lebih bersifat inklusif bila dibandingkan kelompok fundamentalisme, secara khusus dalam hubungannya dengan filsafat dan sains, namun mereka tetap memegang teguh doktrin itu dan terus berupaya mengkomunikasikannya berdasarkan pendekatan yang lebih kontemporer dan kontekstual.
Penolakan dunia atas kebenaran ini tidak harus ditanggapi secara serius, apalagi sampai harus meragukan kebenaran fundamental tersebut, dan mengorbankannya demi memuaskan hasrat intelektualitas mereka yang sedang tersesat dalam “logical fallacy”, namun kekristenan harus terus berjuang membuktikan bahwa pendekatan-pendekatannya selama ini dalam menyampaikan kebenaran itu dapat dipertanggungjawabkan secara teologis maupun filosofis.
BIBLIOGRAFI
A. Berkeley Mickelsen, Interpreting The Bible, Granf Rapids : Eerdemans, 1963
Alan Richardson, In The Bible In The Age of Science SCM,1961
Alban Douglas, One Hundred Bible Lessons, Manila : OMF Publisher, 1983
Alister McGrath, Studies in Doctrine, Grand Rapid : Zondervan, 1990
Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament, dalam Bibliotecha Sacra vol
110, Texas : Dallas Theological Seminary,1953
BB Warfield, Trinity, The International Sandart Bible Ensiclopedia, Grand Rapid : Eerdmans,
1930
Charles C Ryrie, Teologi Dasar 1, Jogjakarta : Yayasan ANDI, 1991
Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen I, Bandung:Yayasan Kalam Hidup,t.t
Donald G Bloesch, The Evangelical Rennaissance, London : Hodder and Stoughton, 1974
Eta Linnemann, Teologi Kontemporer,Ilmu atau Praduga, Malang : Institut Injil Indonesia,1991
Herbert Lockyer, Classification Of All Scripture Designations Of The Three Persons Of The
Trinity, Michigan : Zondervan Publishing House, 1978
JD Douglas, The New Bible Dictionary, London : Inter Varsity Press, 1974
John B.Stackhouse, Evangelical Futures : A Conversation on Theological Method, Grand Rapid
: Bakker Books, 2000
John M. Frame, The Doctrine of The Knowledge of God, USA : Presbyterian & Reformed
Publishing Company, 1987
Kenneth G Howkins, The Challenge of Religious Studies, London : Tyndale Press, 1972
Mark Hensch, Evangelical Take Stand On Trinity,
https://www.christianpost.com/news/evangelicals-take-stand-on-trinity.html (18 agustus
2022)
Matthew Barrett, Why the Doctrine of the Trinity Is Crucial for the Christian Life,
https://www.crossway.org/articles/why-the-doctrine-of-the-trinity-is-crucial-for-the-christian-life/. 18 agustus2022
Millard J.Erickson, Christian Theology, Michigan : Bakker Book House, 1994
Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, Malang : Literatur SAAT, 2008
Paul Tillich, A History of Christian Thought : from Its Judaic and Hellenistic Origins to
Existensialism, USA : Touchstone Book, 1968
Peter Lewis, The Message of The Living God, London : IVP, 2000
Philip Schaff, Histori Of Christian Church,vol.8 3rd rev.ed, Grand Rapid : Eerdemans, 1960
Philip Wesley Comfort, The Quest for The Original Text, Grand Rapid : Baker Book House,
1992
Robert Morey, The Trinity. Evidence and Issues, Grand Rapid: World Publishing, 1996
Team Penyusun, The Ensiclopedia Americana International Edition Vol 26, Connecticut :
Grolier Incorporated, 1985
[1] Millard J.Erickson, Christian Theology, (Michigan : Bakker Book House, 1994), P.322
[2] https://www.gotquestions.org/oneness-doctrine.html
[3] JD Douglas, The New Bible Dictionary, ( London : Inter Varsity Press, 1974), p.1298
[4] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, ( Malang : Literatur SAAT, 2008), hlm.244-245
[5] Millard Erickson, Log Cit
[6] BB Warfield, Trinity, The International Sandart Bible Ensiclopedia, (Grand Rapid : Eerdmans, 1930).P.3012
[7] Charles C Ryrie, Teologi Dasar 1, (Jogjakarta : Yayasan ANDI, 1991), hlm.72
[8] Alban Douglas, One Hundred Bible Lessons, (Manila : OMF Publisher, 1983), p.16
[9] ibid
[10] Menurut Tillich “The chief defender of decision of Nicea was Athanasius. He was primarily a great religious personality. His basic religious conviction was unalterable, and therefore he was able to use a variety of scientific means and political ways to advance his cause. His style is clear, he was consistent and cautious,…” p. 73
[11] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, (Malang : Literatur SAAT, 2008) hlm.234
[12] Bandingkan dengan tulisan Wempi J.Luntuuran, Keesaan Alah dari Perspektif Alkitab, (Jakarta : STT Oikumene, 2018)
[13] Millard J.Ericson, op.cit, p.323
[14] Paul Tillich, A History of Christian Thought : from Its Judaic and Hellenistic Origins to Existensialisnm, (USA : Touchstone Book, 1968), p.46
[15] Ibid
[16] Bagi Paul, logos dan Roh adalah kualitas dari Allah, bukan pribadi.
[17] Ibid 67
[18] Menurut Arius “only God the Father is eternal and unoriginated. The logos , the pre existent Christ, is creature. He is created out of nothing; there was a time when he was not” Paul Tillich, op.cit, p. 70
[19] Ibid, p.60
[20] Ibid 71
[21] Charles C.Ryrie op.cit, hlm 78
[22] J.D. Douglas, op.cit,p.1299
[23] Mark Hensch, Evangelical Take Stand On Trinity, https://www.christianpost.com/news/evangelicals-take-stand-on-trinity.html (18 agustus 2022)
[24] ibid
[25] Kenneth G Howkins, The Challenge of Religious Studies, (London : Tyndale Press, 1972),p.12
[27] ibid
[28] Alister McGrath, Studies in Doctrine, (Grand Rapid : Zondervan, 1990),p.1
[29] hal itu juga selaras dengan apa yang diungkapkan oleh J.I.Packer bahwa “Christian theology is not just for in house consumtion, it must ever be used to persuade the world” John B.Stackhouse, Evangelical Futures : A Conversation on Theological Method, (Grand Rapid : Bakker Books, 2000),p.188
[30] Mathhew Barrett, Why the Doctrine of the Trinity Is Crucial for the Christian Life, https://www.crossway.org/articles/why-the-doctrine-of-the-trinity-is-crucial-for-the-christian-life/. 18 agustus2022
[31] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, ( Malang : Literatur SAAT, 2008), hlm.243
[32] Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen I, (Bandung:Yayasan Kalam Hidup,t.t)Hlm.60
[33] Eta Linnemann, Teologi Kontemporer,Ilmu atau Praduga, (Malang : Institut Injil Indonesia,1991)hlm.168
[34] Ibid Hal 248
[35] Herbert Lockyer menyatakan “but if we would know what God says about himself, it is necessary to study the revelation found in the great names and titles He has given us ti Himself. God alone can reveal His Character and will to man. The unknown and unknownable, as far as fleshly wisdom in concernd, can only make Himself fully known.” All The Divine Names And Titles In The Bible : A Unique Classification Of All Scripture Designations Of The Three Persons Of The Trinity, (Michigan : Zondervan Publishing House, 1978),p.1
[36] Peter Lewis, The Message of The Living God, (London : IVP, 2000),p.17.
[37] Team, The Ensiclopedia Americana International Edition Vol 26, ( Connecticut : Grolier Incorporated, 1985),p.633
[38] John M. Frame, The Doctrine of The Knowledge of God, (USA : Presbyterian & Reformed Publishing Company, 1987), p.167-168
[39] “For our selves, our knowledge of the trinity is dependent upon the way each person presents Himself in Scripture by designations and deeds”. Herbert Lockyer, log.cit
[40] Donald G Bloesch, The Evangelical Rennaissance, (London : Hodder and Stoughton, 1974),p.55
[41] Philip Wesley Comfort, The Quest for The Original Text, (Grand Rapid : Baker Book House, 1992).
[42] Robert Morey, The Trinity. Evidence and Issues, (Grand Rapid: World Publishing, 1996)p.21
[43] Ibid, p.23
[44] Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament, dalam Bibliotecha Sacra vol 110, (Texas : Dallas Theological Seminary,1953)p.320
[45] Philip Schaff, Histori Of Christian Church,vol.8 3rd rev.ed, (Grand Rapid : Eerdemans, 1960), p.524-525
[46] A. Berkeley Mickelsen, Interpreting The Bible,(Grand Rapids : Eerdemans, 1963) p.39
[47] Atau dapat kita sebut sebagai presupposisi. Dalam teologi, presupposisi sangat penting karena akan mengarahkan kita untuk menetapkan tujuan yang hendak kita capai, Alan Richardson dalam In The Bible In The Age of Science (SCM,1961 p.98) menuliskan “the presupposition which the investigator brings to his scientific study of the bible determines what he will find there” .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar