Jumat, 07 Mei 2021

Teologi Sistematika Kristen

  PENDAHULUAN

Tidak sedikit orang Kristen yang menganggap rendah kedudukan teologi dalam kehidupan mereka, bahkan muncul kecenderungan antipati terhadap teologi itu sendiri. Kebanyakan orang Kristen berfikir bahwa masalah teologi bukan urusan jemaat melainkan menjadi tugas pendeta atau hamba Tuhan untuk memikirkan, mempelajari dan mengajarkannya, karena menurut sebagian dari mereka masalah teologi adalah masalah-masalah idealism dan spiritualism yang abstrak dan tidak bersangkut paut dengan masalah dunia, atau bahkan ada yang berpandangan bahwa memikirkan disiplin ilmu atau teknologi terbaru lebih berguna dan “up to date” daripada memikirkan teologi.  Mereka cenderung mementingkan masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan konteks kehidupannya baik dalam ranah social, ekonomi, teknologi informasi maupun politik. Pola pikir manusia sekarang ini sudah banyak terkontaminasi oleh pemikiran filsafat postmodernism yang cenderung pragmatis, pluralis, dan menganut relativisme yang sangat anti dengan kemapanan/finalitas terutama dalam kaitan dengan religiusitas. Bagi mereka, Alkitab dan pengejawantahannya dalam bentuk apapun juga tidak penting karena kebenaran tidak ada yang absolut melainkan relatif, dan teologi tentunya akan menjadi sangat tidak berguna.

 Perkembangan pemikiran akhir-akhir ini memang tidak terlepas dari pengaruh yang Pertama rasionalisme, yaitu filsafat yang sangat menjunjung tinggi dan bahkan cenderung mendewakan  kemampuan akali manusia, yang pernah ditanamkan di masa-masa sebelumnya, yaitu abad pertengahan yang ditandai dengan timbulnya Renaissance, dan seolah-olah dipupuk pada masa pencerahan (aufklarung) pada abad 18 yang menjadikan manusia seolah menjadi makhluk yang otonom, berdiri sendiri tanpa ada institusi atau kuasa lain di atasnya, dan ujung-ujungnya adalah menolak segala bentuk  agama.

Pengaruh Kedua, adalah spiritisme yang telah menjadi nafas dari era postmodern sekarang ini, gerakan New Age Movement telah meracuni dunia dengan menawarkan dan mendorong manusia mengejar hal-hal yang bersifat spiritual di luar agama, dengan istilah lain menjadikan manusia menjadi spiritual tanpa religius.

Oleh sebab itu sebelum kita lebih jauh melangkah dalam pembahasan tiap-tiap bab pembahasan, adalah sangat penting untuk merenungkan suatu pertanyaan yang sangat mendasar ini, Mengapa kita harus berteologi? Apa pentingnya kita berteologi ? Kita akan memulai pembahasan ini dengan suatu asumsi dasar bahwa pada hakekatnya semua orang adalah teolog dalam kapasitasnya masing-masing, entah itu

a.     Teolog yang amatir atau professional

b.     Teolog yang baik atau buruk

c.      Teolog yang berteologi untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain.

R.C Sproul mengatakan dengan tegas bahwa setiap orang Kristen adalah seorang teolog[1] karena manusia selalu terlibat dalam aktivitas mempelajari sesuatu tentang Allah, tidak ada orang Kristen yang dapat menghindari teologi dan setiap orang Kristen pasti mempunyai satu teologi. Permasalahanya sekarang bukan terletak apakah kita menghendaki suatu teologi itu sendiri atau tidak, melainkan apakah kita telah memiliki teologi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.[2]

Dan merupakan hal yang sangat fundamental jika di dalam diri manusia selalu muncul pertanyaan tentang Allah, mengapa dia percaya kepada Allah, karena seluruh hikmat manusia menurut John Calvin mengandung dua bagian, yaitu kalau manusia mengenal Allah, maka manusia mengenal dirinya sendiri dan dua hal ini merupakan suatu kesatuan yang integral, namun sulit menentukan mana yang mendahului dan menghasilkan yang lain.[3] Menurut Calvin tak ada seorangpun yang dapat mengamati dirinya sendiri tanpa segera menjuruskan pikirannya kepada Allah, yang di dalamNya ia hidup dan bergerak. Kenneth G Howkins  pernah mencoba mengemukakan hal itu dan berkata bahwa “ so the Christian needs to know both what he believes and why he believes it”[4]. Ketika orang memikirkan tentang apa yang ia percayai dan mengapa ia percaya akan hal itu, sebenarnya ia sedang berteologi meskipun mungkin ia sendiri tidak sadar jika ia sedang berteologi

 

 

BAB I

PENGANTAR KE DALAM TEOLOGI SISTEMATIKA

 

A.     Seputar Definisi Teologi

Kebenaran dasar/fundamental yang perlu difahami dan kita camkan baik-baik dalam pemikiran kita dalam berteologi adalah bahwa Alkitab bukanlah teologi, demikian pula sebaliknya teologi bukanlah Firman Tuhan, oleh karena itu kita hendaknya tidak terlalu meremehkan teologi ataupun sebaliknya terlalu mengagungkan teologi tertentu karena pada dasarnya keduanya tidaklah identic.  Namun demikian relasi antara teologi dengan Firman Tuhan adalah sebuah hubungan integral yang tidak bisa dilepas pisahkan diantara satu dengan yang lainnya. Kita tidak mungkin dapat berteologi dengan benar tanpa dasar Alkitab, demikian juga kita tidak akan dapat memahami dengan baik Firman Allah jika tidak ada Teologi yang mengarahkan pemikiran kita.

 Secara leksikal, pengertian sederhana tentang teologi  dapat dicermati demikian, bahwa istilah teologi merupakan hasil bentukan dari dua istilah dalam  bahasa Yunani : Theos  yang berarti  “Tuhan” dan kata Logos yang bermakna suatu ajaran/ pernyataan yang rasional atau uraian yang sistematik,  Sehingga istilah teologia memiliki Pengertian secara sempit sebagai suatu pengajaran tentang Tuhan.

Secara etimologi kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani klasik (koine), tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani yang lebih modern maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini, khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen sebab dalam sejarahnya konsep teologi ini dibangun dan diperkenalkan dalam konteks kekristenan. Namun demikian, di masa kini istilah ini dapat digunakan dalam kontek yang sangat luas, baik untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ilmu pengetahuan ataupun tentang berbagai agama di dunia dan dalam konteks budaya apapun. Di dalam konteks agama Kristen sendiri disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-divisinya atau cabang-cabangnya.

Istilah teologia sendiri telah mengalami perkembangan makna yang cukup luas dari makna aslinya secara etimologi. Paling tidak kita dapat mencermati perkembangannya secara filosofis seperti demikian

  • Istilah theologia digunakan dalam literatur Yunani Klasik, dengan makna "wacana tentang para dewa atau kosmologi" (lihat Lidell dan Scott Greek-English Lexicon untuk rujukannya).

  • Aristoteles membagi filsafat teoretis ke dalam mathematice, phusike dan theologike. Yang dimaksud dengan theologike oleh Aristoteles kira-kira sepadan dengan metafisika, yang bagi Aristoteles mencakup pembahasan mengenai hakikat yang ilahi. Sejak itu istilah ini telah diambil oleh berbagai tradisi keagamaan Timur maupun Barat.

  • Dengan meminjam dari sumber-sumber Yunani, penulis Latin Marcus Tarentius Varro membedakan tiga bentuk wacana ini: mitis (menyangkut mitos-mitos tentang para dewata Yunani), rasional (analisis filosofis mengenai para dewata dan kosmologi) dan sipil (menyangkut ritus dan tugas-tugas keagamaan di tengah masyarakat).

  • Para penulis Kristen, yang bekerja dengan kerangka berfikir Helenistik, mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan studi mereka. Kata ini muncul sekali dalam beberapa naskah Alkitab, dalam judul Kitab Wahyu: apokalupsis ioannou tou theologou, "penyataan kepada Yohanes sang theologos". Namun demikian, kata ini merujuk bukan kepada Yohanes sang "teolog" dalam pengertian bahasa kita sekarang, melainkan – dengan menggunakan arti akar kata logos dalam arti yang sedikit berbeda, dan di sini tidak dimaksudkan sebagai "wacana rasional" melainkan dalam arti "firman" atau "pesan". Dengan demikian, sang "theologos" di sini dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan firman Allah - logoi tou theou.[5]

 

Dari perspektif histories, pada zaman Gereja mula-mula, Para Bapa Gereja/patriakh secara khusus Thomas Aquinas telah mendefinisikan teologi sebagai ”Deum Docet, Deo docetur, Deum Ducet[6] yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris demikian “theology is taught by God, teaches of God and leads to God”. Meskipun definisi tersebut mengandung segala unsur utama dalam konsep dan substansi teologi, namun pemahaman tentang teologi tidak hanya sesederhana itu, oleh karenanya para tokoh Kristen berusaha mendeskripsikan istilah teologi sejelas, selogis, seruntut dan sekomperehensif mungkin, sehingga dari definisi itu sendiri setiap orang mampu menangkap hal apa-apa saja yang ada dalam teologi itu sendiri. John H.Leith mendefinisikan teologi sebagai berikut

Christian theology is critical reflection about God, human existence, the nature of the universe and about faith itself in the light of the revelation of God recorded in scripture and particulary embodied in Jesus Christ, who is for the Christian community the final revelation, that is, the definitive revelation which is the criteria of all others revelation.[7]

Jika John Leith lebih menekankan definisi teologi pada masalah refleksi kritis mengenai Tuhan, eksistensi manusia dan alam semesta melalui wahyu Allah, secara khusus Yesus Kristus sebagai wahyu final dari keseluruhan penyataan Allah, Sedangkan Millard J.Erickson justru lebih menitikberatkan pada kontribusi teologi itu sendiri terhadap manusia, yang secara tegas memberikan suatu pernyataan doctrinal tentang iman Kristen secara koheren yang berlandaskan pada Alkitab, dilekatkan pada konteks secara umum, diungkapkan melalui istilah yang kontemporer dan dihubungkan dengan setiap isu-isu kehidupan manusia “…which strives to give a coherent statement of the doctrines of the Christian faith , based primarily upon the scriptures, placed in the context in general, worded in a contemporary idiom, and related to issues of the life”[8]

Berdasarkan definisi yang telah dibuat oleh kedua tokoh itu maka sepintas kita dapat mendeskripsikan Theologi Sistematika itu sendiri sebagai disiplin ilmu teologi yang berupaya menghubungkan data-data tentang pernyataan Alkitab secara menyeluruh, menyusunnya secara teratur untuk menunjukkan  gambaran total mengenai penyataan diri Allah baik melalui penyataan umum maupun penyataan khusus.

Dari pengertian singkat ini kita dapat menemukan beberapa prinsip dasar dalam  teologi Kristen, dan tentu saja menjadi karakteristik yang membedakannya dengan teologia agama-agama yang lain, prinsip itu adalah :

  1. Subyek teologi adalah Allah sendiri. Allah bukanlah obyek[9] yang diselidiki oleh seorang teolog sebagaimana kita temukan dalam disiplin ilmu science. Meskipun dalam upaya pembelajaran ini manusia berupaya memahami eksistensi Allah, kehendak, rencana, serta implikasinya dalam tataran kehidupan praktis, namun dalam konteks ini Allah tidak mungkin menjadi sasaran penyelidikan karena hakikatNya yang tak terbatas. Dalam pembelajaran teologi justru Allah sendiri yang berperan sebagai pemrakarsa dalam sebuah penelitian teologis. Ia yang berkenan membuka selubung rahasia yang melingkupi diriNya sendiri sehingga seorang teolog atau orang-orang percaya mampu mengerti (mendapat pengetahuan) tentang Dia. Berdasarkan alasan inilah Calvin dalam beberapa tulisannya dengan kesadaran penuh memulai pengajarannya dengan menanyakan dapatkah kita memahami Allah ? bukan menanyakan eksistensi apalagi menanyakan substansi Allah.[10]

  2. Kebenaran teologi merupakan kebenaran dan kebaikan tertinggi tentang Allah (summum bonum), yaitu suatu kebenaran yang idealnya akan membawa manusia kepada diri Allah, bukan semata-mata untuk pemuasan kehausan intelektualitas ataupun kepentingan manusia karena teologi yang hanya memuaskan hasrat manusia saja  tidaklah dapat disebut sebagai teologi, tetapi lebih tepat disebut sebagai filsafat yang dirohanikan.

  3. Dalam teologi, Allah menjadi sumber utama teologi, pokok teologi serta tujuan teologi itu sendiri sehingga system dalam teologi adalah sebuah system yang “teoskratos” yaitu pembelajaran dari Tuhan, oleh Tuhan dan untuk kemulyaanNya semata-mata.

  4. Sebagai subyek teologi, Allah berkenan membuka rahasiaNya melalui Firman yang dinyatakan dalam Alkitab (Sola Scriptura), yang dapat menimbulkan iman kepada para pembacanya (Sola Fide), bahwa kebenaran final adalah hanya dalam dan melalui Yesus Kristus saja (Sola Christo) yang mampu menuntun umatNya menuju kepada kehendakNya yang tertinggi yaitu kemulyaan Allah (Soli Deo Gloria).

 

B.     Karakteristik Teologi Kristen

Pada dasarnya Teologi bukan hanya milik agama Kristen semata, semua agama tentu memiliki teologinya masing-masing, namun ada begitu banyak perbedaan yang sangat mendasar/fundamental antara teologi Kristen dengan teologi agama-agama lainnya, yang sekaligus menunjukkan kekuatan dari teologi Kristen dibandingkan dengan teologi lainnya, di antaranya seperti yang dikemukakan oleh Millard J.Erickson[11]

a.     Theology is Biblical (Teologi itu Alkitabiah)

Sumber utama teologi kita ialah kitab-kitab kanonik, yaitu Kitab-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang kebenarannya dapat diungkap melalui suatu penyelidikan secara mendalam dengan metode dan sarana yang tepat, dan tentunya juga menggunakan wawasan dari berbagai cabang pengetahuan lainnya, dalam teologi hal itu disebut sebagai penyataan umum Allah. Sehingga dapatlah kita berkesimpulan bahwa teologi Kristen unggul bukan terletak pada keilmiahan pembahasannya, keistimewaan warna teologinya dan kecerdasan atau kemampuan teolognya melainkan pada sumber teologinya, yaitu Alkitab.[12] Karakteristik teology dalam konteks ini  menjadi sebuah studi terpisah dari systematic theology yaitu bidang Biblical Theology yang dideskripsikan sebagai “integral to the whole process of discerning the meaning to the contemporary scene[13]. Topic ini tidak akan dibahas dalam buku ini karena akan memperluas skop serta mengaburkan focus studi.

 

b.     Theology is Systematic (Teologi itu Teratur)

Secara harafiah teologi berarti “pembicaraan tentang Allah” oleh karena itu, kata “logi” biasanya menunjuk pada suatu pembicaraan yang penuh makna karena dilakukan dengan menyelami persoalannya dengan pikiran, sehingga pembicaraan tentang Allah dalam teologi itu dilakukan secara teoritis sistematis, seperti halnya pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di dalam ilmu-ilmu yang lain.[14] Teologi tidak hanya menyajikan suatu kebenaran masing-masing kitab dalam Alkitab secara terpisah atau sepotong-sepotong, melainkan suatu penggambaran yang dihubungkan secara komperehensif dan koheren dari pengajaran Kitab Suci berdasarkan topik-topik tertentu.

 

c.      Theology is Done in context of Human Culture (Teologi Dikerjakan dalam konteks budaya Manusia)

Di dalam Teologi Kristen, pengajaran dalam Kitab Suci juga harus dihubungkan dengan data yang ditemukan dalam disiplin ilmu lainnya yang berhubungan langsung dengan subyek masalah yang sama. Teolog harus menyadari bahwa mereka hidup dalam suatu konteks, sehingga setiap usaha berteologi pasti bersifat kontekstual karena kata “logi” dalam istilah teologi mengimplikasikan adanya suatu konteks yang melatar belakangi teolog dalam berpikir, apalagi jika teologi itu di beri label tertentu maka sangat pasti bahwa adanya konteks dan focus pemikiran di dalam suatu arena perumusan teologi tersebut.[15]

Hal ini merupakan suatu keharusan karena tanpa adanya konteks maka teologi tidak dapat direfleksikan dan sulit untuk didaratkan dalam setiap pergumulan hidup umat. Seorang teolog Injili Indonesia Dr Petrus Oktavianus pernah mengingatkan kepada para teolog Injili untuk selalu ingat bahwa “kaki mereka yang satu tertancap di surga dan yang satu lagi haruslah tetap tertancap di bumi”, artinya mereka tidak boleh terlena memikirkan hal-hal rohani dan melupakan konteks hidup mereka. Oleh sebab itu Teologi doctrinal akan gersang jika tidak diimplementasikan dalam practical theology. Jadi teologi harus mengambil peran dalam menjawab setiap kebutuhan manusia dalam konteks hidup mereka, jika tidak kemana lagi arah teologi, jika tidak hanya akan menjadi sebuah permainan ular tangga sebagaimana dengan apa yang terjadi pada abad pertengahan, atau bahkan yang lebih parah lagi dibuang ke dalam tong sampah. Kesimpulannya teologi harus “applied”artinya menjadi dasar dalam menuntun kehidupan praktis manusia dan menjadi sebuah kesatuan utuh antara pemahaman teoritis dan praktisnya.

 

d.     Theology is Contemporary (Teologi adalah Kontemporer)

Salah satu tujuan dari pengembangan sebuah teologi adalah untuk menemukan kembali kebenaran-kebenaran Alkitabiah yang sesuai dengan waktu/konteks dalam bentuk yang dapat dipahami/dimengerti oleh setiap umat yang hidup saat ini, sehingga secara sederhana teologi harus menuntun manusia menemukan kembali kebenaran maupun nilai-nilai yang bersifat kekal dan menemukan relevansinya dalam sebuah kontek hidup kontemporer. Seperti halnya disiplin ilmu lainnya teologi juga terus mengalami perkembangan yang disebabkan oleh berkembangnya pemikiran manusia, sehingga memungkinkan ditemukannya bahan-bahan atau referensi baru yang diperlukan guna mengerti maksud isi Firman Tuhan, sehingga teologia menjadi sangat relevan.[16]

 

e.     Theology is Practical (Teologi adalah  praktis)

Teologi atau kebenaran doktrinal tidak hanya dimaksudkan untuk diinformasikan kepada pembaca saja, tapi melaluinya juga pembaca diharapkan juga menemukan aplikasi untuk kehidupan sehari-hari. Teologi Kristen bukan hanya untuk menemukan kebenaran yang sifatnya teoritis filosofis dan berhenti cukup di sana, tapi juga menuntun dan mengarahkan orang percaya untuk mampu mengaktualisasikan kebenaran iman Kristen tersebut dalam kehidupan keseharian seperti yang diungkapkan oleh Kenneth G.Howkins bahwa “the object of Christian theology is to explore, present and apply the Christian faith”[17]. Sangat disayangkan bahwa seringkali dari kaum Injili sendiri, dalam pergerakannya secara keseluruhan lebih condong berorientasi bukan pada masalah pembentukan karakteristik spiritual, namun hanya pada masalah tugas-tugas teologi yang berfokus pada epistemology atau dimensi kognitif dari iman.[18] Kebanyakan teolog Injili seringkali menghabiskan banyak waktunya hanya untuk mencari dan merumuskan dasar berpijak yang kuat bagi iman Kristen, tapi lupa memikirkan bagaimana mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehingga Gereja tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti, selain itu kondisi yang demikian mematik munculnya pergerakan-pergerakan kekristenan baru seperti Neo-Evangelical, Third wave Movement atau yang disebut sebagai Vineyard Movement, maupun pergerakan lainnya yang lebih menonjolkan keseimbangan antara perumusan konseptual dengan aktualisasi kebenaran iman Kristen. Secara pragtis.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka sangat jelas bahwa kekristenan bukan sekedar perkumpulan pendirian yang tidak jelas terhadap dunia dan manusia, dan kekristenan bukan sekedar kumpulan perasaan dan emosi yang tidak terstruktur seperti yang diungkapkan oleh Alister McGrath  bahwa kekristenan berpusat pada “Beliefs about Jesus Christ, which give rise to specific religious and moral attitudes to God, others human being, and the world. Jesus Christ is the beginning the center, and the end of the Christian message of Hope[19] dan tujuan teologi Kristen juga sangat jelas yaitu untuk meyakinkan dunia tentang finalitas keselamatan yang hanya ada di dalam Kristus Yesus (sola gratia in Christo per fidem).[20]

 

C.     UNSUR DALAM KONSEP UMUM TENTANG TEOLOGI

1.     Teologi Dapat Dimengerti Dan Dipahami  Oleh Pemikiran

Manusia Secara Rasional Dan Sistematis.

Memang hal ini menjadi tantangan paling besar yang dihadapi oleh para teolog, bahwa bagaimana mungkin ciptaan yang “limited” mampu memperoleh pengetahuan tentang penciptanya yang “unlimited”, dapatkah yang fana dan dimensional memahami yang “kekal”. Secara logis memang tidak akan mungkin manusia memperoleh pengetahuan di luar kemampuan manusia yang sangat dipengaruhi oleh segala keterbatasannya, namun harus dipahami bahwa dalam teologi Kristen berpijak pada presupposisi bahwa Allah sendiri yang berinisiatif untuk menyatakan diri-Nya sendiri  sehingga manusia mampu memahami diri Allah sebatas apa yang Allah nyatakan. Pemahaman inilah yang disadari sepenuhnya oleh Calvin sehingga ia menekankan pembahasannya yang berkenaan dengan masalah tersebut pada dua pokok penting seperti yang diungkapkan oleh Peter Lewis :

First, God must be known in His nature and character more than terms of His essence. God essence is largely beyond our knowing and it is enough for us to worship Him in His immensity and his…

Second, it is a favourite emphasis in Calvin that pietas, piety in which reverence and love God are joined, is prerequisite to any true knowledge of God the knowledge of God must be personal, penitential and devout, in a word it must be responsive.[21]

Calvin berpandangan bahwa mereka yang bersikeras untuk memutuskan masalah “apakah Allah itu” dan “bagaimana eksistensinya” hanyalah akan bermain-main dengan teori-teori yang sia-sia belaka karena kesemuanya itu jauh melampaui kemampuan akali manusia, menurut Calvin lebih berguna untuk mengetahui bagaimana karakter Allah, dan hal-hal apa yang sesuai dengan kehendakNya, untuk kemudian mengenal ia secara pribadi dalam respon dan penyembahan yang benar.

Teologi itu sendiri dapat dimengerti oleh pemikiran manusia karena teologi itu merupakan suatu disiplin intelektual/berpikir yang dalam prosesnya mengikuti prosedur-prosedur untuk menyajikan suatu statement yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara keilmuan, maupun secara rohani.

Theology is an intellectual discipline that aims at setting forth in an orderly manner the content of a religious faith. This definition already indicates some of the peculiarities of the subject. Calling theology an intellectual discipline involves the claim that theology has its legitimate place in the spectrum of human knowledge and the claim that it can make true statements. Therefore it can also point to defensive intellectual procedures in support of the these claims.[22] 

Jadi teologia bukanlah sekedar kumpulan dari asumsi-asumsi para teolog yang tidak memiliki nilai sama sekali.

2.     Teologi Menuntut Adanya Penjelasan Yang Melibatkan Exegesis Dan Sistematisasi.

Ada beberapa keberatan yang muncul berkenaan dengan kemungkinan didapatkanya kebenaran dari dalam Alkitab sendiri karena menurut beberapa kalangan sangat mustahil menemukan suatu kebenaran yang obyektif melalui usaha apapun, terutama para teolog Humanism yang tidak tertarik lagi terhadap proses exegesis yang mungkin menurut mereka sangat bertele-tele dan membuang banyak waktu dan tenaga. Alkitab merupakan teks kuno yang ditulis dalam konteks masa lalu sehingga adalah sebuah kemustahilan bagi teolog menemukan inti pemikiran penulis dan mengapa hal tersebut dituliskan, demikian pandangan mereka. Pada intinya mereka beralasan pada dua hal penting, yaitu

First, the assume that it is impossible to get back to original text of scripture[23] in other words, no one can really know for sure what Jesus or the apostles actually did or said. They do not trust the Gospels or the Epistles because the assume that the New Testament is fraudulent in content as well as in authorship.

Second, they also assume that if, by some kind of miracle, we could get back to the original text, it would not do us any good because it is impossible to know what the authors of the bible meant by their words.[24]

 

namun demikian kaum Injili sangat yakin dan optimis akan kemungkinan menemukan kebenaran yang telah terekam dalam Kitab suci tersebut dengan melalui suatu proses exegesis yang cermat dan berhati-hati

The last bastion where objective and absolute meaning can be found is in Evangelical theology. Evangelicals believes that it is possible to find the objective”true”meaning of a given text of Scripture by following the rules of grammar and syntax combined with the literary context and style of the passege and the historical, cultural context of the author. There will be only one true interpretation of the text which faitfully expounds what the author was saying. All other interpretations are false.[25]

 

Pandangan ini cukup mewakili pandangan umum kaum Injili bahwa ada suatu kemungkinan untuk menemukan kebenaran obyektif yang diberikan teks kitab suci melalui usaha yang prosedural dengan mempertimbangkan beberapa aspek misalnya gramatikal, sintaksis, yang dipadukan dengan konteks literal dan gaya bahasa, sejarah dan konteks budaya penulis. Pandangan ini juga didukung oleh asumsi dasar berteologia Injili, bahwa Alkitab yang kita miliki adalah cukup (sufficientia) yang dapat menjawab segala pertanyaan apa saja yang kita ajukan kepadanya asalkan melalui suatu proses penafsiran yang berhati-hati

God has not given us simply of wonderful mottoes. He has give us a book of perfect logic, presenting the ideas that He wants us to have about spiritual things. He has give us a collection of data, from which we can learn much about the past of this universe, about His plan for its future, and about His will for every one of us. It is His desire that we should interpret the Bible carefully, seeing the relation of  its word to their context, considering them in the original languages, seeking to determine exactly what thy mean. No other attitude will receive God’s full approval. We must study His Word on a thoroughly scientific basis.[26]

 

Penafsiran yang cermat juga harus ditopang dengan penyelidikan terhadap ralasi teks dengan konteks yang mendasarinya, menyelidiki dalam bahasa asli (word study) dan berupaya memahami makna yang paling mendekati. Melalui proses ilmiah inilah Allah turut bekerja dalam memberikan illuminasi sehingga kita dapat memahami kehendak dan rencanaNya. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh peristiwa Reformasi Protestan, John Calvin sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam teologi Injili dijuluki “raja dari penafsir”. “pengeksegesis yang besar di abad enambelas”, dan pencipta eksegesis yang murni.[27]ia memberikan prinsip-prinsip eksegesa  yang sangat baik bahwa :

¨     Iluminasi dari Roh Kudus adalah sebuah keharusan

¨     Penafsiran alegori berasal dari setan sehingga sangat menyesatkan

¨     Kitab suci menafsirkan kitab suci.

Prinsip ini juga sejalah dengan pandangan Luther, ia secara tegas memberikan prinsip-prinsip yang bermanfaat untuk menafsirkan kitab suci sebagai berikut :

¨    Illuminasi Roh Kudus dan bukan sekedar surat dari hokum yang penting.

¨    Peristiwa sejarah adalah esensial.

¨    Perbedaan harus dikenali antara PL yang adalah hokum, dan PB yang adalah Injil.

¨    Kitab suci memiliki unsur yang menyatukan, yaitu Kristus

¨    Penafsiran harafiah adalah penting, penafsiran alegori merupakan “taktik-taktik monyet”.[28]

 

3. Teologi Kristen Merupakan Studi Yang Berdasarkan Alkitab.

Sebagaimana dengan karakteristik teologi yang telah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa “teology is biblical”, tentu teologi yang benar adalah teologi yang dibangun di atas dasar keyakinan bahwa  Alkitab adalah Firman Allah yang sekaligus menjadi sumber kajian teologi dan penguji teologi. Karena itu berteologi yang lepas dari Alkitab secara filosofis tidak dapat dikategorikan sebagai teologi sebab teologi yang benar haruslah mengakui finalitas kebenaran Alkitab.

Teologi Injili secara konsisten mendasarkan pemikirannya di bawah terang Firman Tuhan sebagai penuntun yang tidak mungkin menyesatkan baik dalam masalah iman maupun dalam kehidupan praktis karena Alkitab merupakan penyataan Allah yang diinspirasikan kepada penulis Alkitab dan sangat berguna dalam segala hal

Evangelical theology appeals to scripture as the infallible norm for faith and practice. Holy Scripture is the inspired record of God’s revelation and its divinely appointed medium. The apostle proclaimed : All scripture is inspired by God and profitable for teaching, for reproof, for correction, and for training in righteousness that the man of God may be complete, equipped for every good work (II Tim 3:16,17). [29]

 

Secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa tidaklah patut disebut sebagai Teologi Injili jika dalam pemikiranya tidak didasarkan dan dibangun  dalam terang kebenaran Alkitab, bahkan Stevri Lumintang dengan tegas menyatakan bahwa teologi tanpa Alkitab tidak layak disebut  teologi, melainkan pantas disebut sebagai anthropologi.

Berdasarkan pemahaman di atas maka kita dapat menggambarkan suatu skema bahwa ada tiga fase penting dalam usaha berteologi secara sistematis yaitu :

 

D.    THEOLOGI SEBAGAI SCIENCE

Setiap ilmu pengetahuan selalu mengandung dua unsur utama, yaitu fakta-fakta dan ide-ide, ilmu pengetahuan bukan sekedar pengetahuan (knowledge) karena pengetahuan hanya bagian-bagian kecil (entitas) dari ilmu pengetahuan (science) itu sendiri sehingga teologi tergolong sebagai ilmu pengetahuan karena memang dalam teologi tidak hanya terdapat pengetahuan saja, tetapi juga ada keterkaitan logis antara kebenaran satu dengan kebenaran lainnya yang mungkin juga ditemukan dalam disiplin ilmu lainnya

The philosophy of historical supposes those facts to be understood in their causal relations…if, therefore, theology be a science, in must include something more than a mere knowledge of facts, it must embrance an exhibition of the internal relation of those facts, one to another, and each to all. It must be also to show that if one be admitted, others cannot be denied.[30]

 

Oleh sebab itu dalam suatu usaha teologi seorang teolog dituntut untuk bekerja keras seperti halnya para ilmuwan[31] dalam cabang ilmu lainnya, dalam hal menyusun dan menghubungkan kebenaran-kebenaran yang terdapat dan mereka temukan dalam Firman Tuhan, karena memang Alkitab tidak disusun secara sistematis yang tidak memerlukan usaha apapun untuk memahaminya secara komperehensif, sehingga upaya manusia dalam suatu proses ini sangat mempengaruhi terhadap tingkat pencapaian, yaitu seberapa banyak kebenaran yang dapat diungkapkan

The bible is no more a system of theology than nature is a system of chemistry or of mechanics. We find in nature the facts which the chemist or mechanical philosopher has to examine…to ascertain the laws by which the are determined. So the bible contains the truths which the theologian has to collect, autheticate, arrange, and exhibit in their internal relation to each onther.[32]

 

Teologi Kristen merupakan bagian dari disiplin ilmu yang berusaha memberikan pernyataan doktrinal tentang  Kristus yang didasarkan pada Alkitab. Teologi merupakan cabang ilmu pengetahuan (science) karena di dalam teologi tersebut sudah memenuhi semua unsur yang menjadi prasyarat utama dalam science, Yaitu :

   a.       Adanya obyek yang diselidiki

b.           Adanya metode yang dipakai  dalam usaha menyelidiki

c.            Adanya penyajian kebenaran

Namun demikian tidak serta merta semua orang menerima kenyataan ini atau mengafirmasi pandangan penulis karena masih banyak orang yang menolak diklasifikasikannya teologi ke dalam disiplin ilmu pengetahuan oleh karena  alasan-alasan tertentu dan alasan-alasan orang yang menentang teologi sebagai bagian dari science biasanya berkisar pada masalah :

a.     Keraguan dalam menetukan atau mengambil kesimpulan dalam Teologi

b.     Adanya pengaruh Filsafat pragmatisme  yang berasumsi bahwa teologi hanya sekedar hipotesis semata yang tidak mungkin menyajikan suatu kesimpulan final.

c.      Teologi liberal tidak mengakui Alkitab sebagai Firman Allah secara mutlak padahal ilmu pengetahuan menuntut sumber penyelidikan yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

 

E.     Pembagian Cabang Dalam Teologia

Ada berbagai macam (berdasarkan dimensi yang berbeda)  pengklasifikasian ilmu Teologia misalnya seperti di bawah ini :

  1. Berdasarkan Era atau zaman :

    1. Teologi Patristik atau bapa Gereja atau teologi Abad Permulaan.

    2. Teologi abad pertengahan

    3. Teologi reformasi

    4. Teologi modern/ kontemporer

  2. Berdasarkan Tokohnya :

    1. Teologi Armenian, adalah teologi dari Jacobus Armenius (1560-1609)

    2. Teologi Calvinis, didasarkan pada ajaran John Calvin (1509-1564)

    3. Teologi Katholik

    4. Teologi Lutheran,dll

  3. Berdasarkan Focus pembahasannya :

    1. Teologi Histories

    2. Teologi Dogmatic

    3. Teologi Sistematika

    4. Teologi Eksegetis

    5. Teologi Praktis

Atau ada juga yang menggolong-golongkannya seperti berikut ini :

1.     Yang mempelajari maksud Firman Tuhan (Bibliologis)

a.     Penyelidikan bahasa asli (exegesis)

b.     Penyelidikan archeology

c.      Penyelidikan tafsiran-tafsiran (Interpretasi)

2.     Yang mempelajari pengakuan Gereja (Dogmatologis)

a.     Symbolika dan sejarah dogma

b.     Dogmatika dan etika

c.      Elechtika dan apologetika

3.     Mempelajari buah pernyataan Tuhan melalui eksistensi  Gereja (ekklesiologis)

a.     Sejarah Gereja

b.     Hukum Gereja

c.      Oikumenika

4.     Cara melanjutkan penyataan Tuhan keluar Gereja :

a.     Homelitika

b.     Kataketika

c.      Liturgika

d.     Poimenika (pemeliharaan iman)

e.     Missiologia

 

F.      KEMUNGKINAN ADANYA TEOLOGI

1. Adanya Allah Dan Penyataan-Nya

Teologi secara konsisten dimulai dengan suatu pengakuan iman bahwa Allah ada, namun usaha kita akan mendapat tantangan yang begitu hebat dari penganut atheism, skepticism, dan beberapa penganut filsafat lainnya yang secara umum menolak suatu kemungkinan adanya Allah, ataupun kemungkinan manusia mengetahui tentang Allah. Hal ini memang sudah dinyatakan oleh Paulus bahwa memang sangat sulit untuk manusia duniawi (natural man) untuk mempercayai sesuatu yang tidak dapat mereka lihat, sentuh ataupun rasakan (I Kor 2:14) karena pada dasarnya rasio/akal budi manusia terbatas pada pengalaman yang bersifat inderawi. Keyakinan akan adanya Allah ini sebenarnya secara umum dapat kita jelaskan melalui beberapa argumentasi dari berbagai dimensi :

 

a. Ontological Argument

Argumentasi ini merupakan argumen yang bersifat  a priori metafisik, yang dirancang untuk menunjukkan bahwa secara nyata, eksistensi Allah yang obyektif telah terkandung dalam ide/pemikiran setiap makhluk. Manusia memiliki pemikiran yang tak terukur/sangat luar biasa sebagai makhluk yang lengkap. Sebagaimana manusia tercipta sebagai makhluk yang terbatas, maka tidak mungkin pemikiran yang demikian ada pada manusia dengan sendirinya atau berasal dari sesuatu dari sekitar kita. Dan sangat pasti semuanya berasal dari Allah sendiri yang memiliki segalanya dan tak terbatas.

                

b. Argumentasi Sebab-Akibat (Cosmological)

Hukum sebab akibat berpandangan/dibangun atas dasar statement bahwa setiap akibat tidak bisa tidak, merupakan dampak dari suatu yang menyebabkannya (sebab), Keberadaan dunia ini adalah dampak/akibat yang   merupakan bukti bahwa ada sesuatu yang lain di luar dunia itu sendiri yang menciptakan dan meletakkannya di dalam suatu waktu tertentu. Tidak ada sesuatupun yang ada dengan sendirinya, adanya sesuatu membuktikan ada sesuatu yang menyebabkan hal itu ada.

Charles Hodge menjabarkan argumentasi cosmological tersebut demikian

The validity and the meaning of this argument depend on the sense given to the words effect and cause. If an effect be correctly defined to be an event or product not due to anything itself, but produced by something outside itself, and if by cause be understood an antecendent to whose efficiency the effect is due, then conclution is inevitable that the existence of the world supposes the existence of a cause adequate to its production, provided it can be proved that the world is an effect,i.e, that it is not self-caused or eternal…[33]

 

Argumentasi ini bergantung pada dua hal mendasar yaitu “akibat”, yang merupakan peristiwa atau sesuatu yang bukanya ada dengan sendirinya, melainkan dihasilkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri, sedangkan “sebab” dipahami sebagai sesuatu yang mendahului sehingga timbul sesuatu akibat sebagai pembayarnya sehingga  pada akhirnya muncul suatu kesimpulan yang tak terelakkan  bahwa adanya dunia ini diduga ada eksistensi penyebab yang cukup memadai dalam menghasilkan hal itu, kelengkapan ini telah membuktikan bahwa dunia ini adalah sebuah akibat.

 

 

 

c. Argumentasi Bentuk/Desain (Teleological)

Argumentasi ini didasarkan pada silogisme bentuk, Setiap benda eksis karena ada desainernya, ada tujuan khusus ketika direncanakannya. Misalnya saja jam tangan, tidak dibentuk untuk dipakai melihat arah mata angina  tetapi dibentuk sedemikian rupa dengan segala kemampuan dan fungsi untuk memberikan kita informasi seakurat mungkin tentang waktu. Demikian juga dunia ini didesain sedemikian rupa melalui pemikiran yang cerdas untuk tujuan khusus oleh suatu pribadi.

 

d. Argumentasi Moral (Anthropological)

Manusia yang diciptakan dengan memiliki intelektual dan moral menunjukkan bahwa penciptanya bukanlah suatu kekuatan yang tak berpribadi/benda mati melainkan suatu makhluk/keberadaan yang hidup dan memiliki kecerdasan moral (bdg Kej 1:26,27, Maz 94:9) yang melampaui manusia itu sendiri.

 

e. Argumentasi Kehidupan (The Life Argument)

Hidup ini berasal dari suatu hidup juga, dan kehidupan sejatinya berasal dari  suatu makhluk/keberadaan yang memiliki kehidupan kekal dan hidup itu eksis sebelum kehidupan fisik diciptakan. Di manakah kehidupan dapat ditemukan ? itu hanya dapat ditemukan pada Allah yang memiliki kehidupan kekal (Maz 36:10). Segala kehidupan bersumber dari Allah, teori spontanitas telah menyajikan suatu informasi yang sepenuhnya salah dan tidak bisa diterima menurut otoritas ilmu pengetahuan apapun.

 

f. Argumentasi Harmoni (The Argument From Congruity)

Teori yang dikemukakan oleh paham  atheisme tidak memecahkan satu masalahpun, malahan justru semakin melipatgandakan suatu misteri yang tak terpecahkan. Penerimaan terhadap eksistensi Allah sebagai pencipta dari alam semesta laksana suatu kunci ajaib yang akan membuka segala fakta kebenaran, wahyu Allah, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Penganut atheism sibuk mempertanyakan evidensi eksistensi Allah kepada penganut theism, namun mereka sendiri tidak pernah memberikan bukti yang cukup memadai untuk meyakinkan orang lain  bahwa Allah itu memang benar-benar tidak ada.

 

Beberapa argumentasi tersebut memang sangat membantu kita dalam membangun suatu teologi sebagai prinsip pendamping/penunjang, tetapi suatu teologi yang Alkitabiah tidak boleh hanya dibangun atas dasar argumentasi yang bersandar pada kekuatan akal budi manusia dalam terang alamiah saja karena teologi yang demikian adalah teologi yang naturalistic yang lebih tepat disebut sebagai prima philasophia, yang hanya didasarkan pada principium secundum senotis semata.

 

2. Adanya Alkitab Sebagai Firman Allah

Meskipun Alkitab bukanlah sebuah catatan sejarah lengkap dan tidak menyajikan informasi-informasi teknis ilmiah, bahkan mungkin tidak menyediakan informasi yang sesuai dengan harapan kita, namun satu hal yang perlu diingat bahwa  Alkitab cukup memadai untuk membangun sebuah teologi, hal ini sesuai dengan sifat alkitab yang “Sufficientia”, artinya Alkitab benar-benar memiliki sesuatu untuk dikatakan berkaitan dengan segala sesuatu.[34]

 

3. Adanya kemampuan yang ada dalam diri manusia

Teologi ada, oleh karena Allah telah menanamkan dalam diri manusia potensi-potensi yang memungkinkan manusia mampu untuk memahami sedikit dari apa dan bagaimana Allah itu. Potensi itu adalah :

a.     Kemampuan untuk berfikir[35]

b.     Kemampuan untuk berhubungan dengan Allah.

Allah telah merancang manusia sedemikian rupa sehingga memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan makhluk lainnya, yaitu diciptakan serupa dan segambar dengan Allah (Kej 1:27) sendiri, artinya manusia dibekali dengan potensi-potensi seperti halnya Allah sehingga memungkinkanya/ memiliki kapasitas untuk dapat berhubungan dengan Allah

Human life was created in (lit.”as” meaning “in essence as”) the image of God. This image was imparted only to humans (2:7). Image (selem) is used figuratifvely here, for God does not have a human form. Being in God’s image means that human share, though imperfectly and finitly, in God’s nature, that is, in His communicable attributes (life, personality, thruth, wisdom, Love, holiness, justice), and so have the capacity for spiritual fellowship with Him.[36]

 

Bahkan ketika Allah menghebus/meniup debu yang telah dibentukNya maka terjadi transformasi sehingga debu itu bukan hanya menjadi makhluk yang hidup, tetapi juga makhluk rohani dengan kapasitas untuk melayani dan bersekutu dengan Allah.  God’s breathing the breath of laife into man transformed His form into Living being (Lit. “a living soul”) this made man a spiritual being, with a capacity for serving and fellowshipping with God”.[37] Kapasitas yang luar biasa ini pada akhirnya hancur oleh karena dosa manusia yang berdampak  terputusnya hubungan antara Allah dan manusia, namun Allah tetap memiliki rencana untuk memulihkan kondisi tersebut melalui penebusan Yesus Kristus.

Hal ini sangat penting, bahwa Allah telah membuka diri untuk menjalin suatu hubungan dengan manusia melalui Yesus Kristus sehingga siapa yang menerima Kristus telah memiliki akses untuk dapat menghampiri dan berhubungan dengan Allah. Oleh sebab itu Alban Douglas dengan tegas menyatakan “the greatest proof apart from Scripture of the existence of God is our daily fellowship with Him in prayer. I know that there is a God because I talked to Him today and He heard and answered the prayer of myhearth though it was only whispered silently.”[38]

Ketika kita berdoa  maka Allah mendengar dan menjawab setiap doa kita, Allah mengajar bahwa Iapun mendengar seruan dalam hati kita meskipun itu tak terucapkan, itulah bukti bahwa Allah berkehendak menjalin hubungan dengan umatNya.

 

G.    PERLUNYA BELAJAR THEOLOGI SISTEMATIKA

Mengapa manusia memerlukan teologi yang disistematisasi dan mengupayakan teologi sistematik, tidak lain karena beberapa alasan berikut ini :

 

1.     Naluri & Intelektualitas Manusia.

Manusia tidak puas hanya mengumpulkan fakta-fakta saja, akal  manusia terus berusaha untuk menata dan mempersatukan pengetahuan yang dimilikinya sehingga menjadi suatu pemahaman yang komperehensif bagi dirinya sendiri. Demikian juga akal manusia tersebut, dengan pengetahuan yang setengah-setengah/tidak sempurna/tidak lengkap tetapi berusaha untuk menata dan menyusunnya dengan rapi dan kemudian menarik suatu kesimpulan.

2.     Sifat Ketidak Percayaan Zaman/Dewasa Ini : Banyak Tantangan & Pilihan

a.     Filsafat mengancam Gereja.

Dalam tulisannya Harry Blamires[39] dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada lagi pemikiran Kristen, pemikiran manusia modern telah tersekularisasi. Sebagai contoh ia menambahkan bahwa pemikiran manusia modern telah membuang semua orientasi kepada hal-hal supranatural. Fakta ini mungkin tidak akan muncul sedemikian tragis seandainya teologi Kristen memberikan perlawanan terhadap arus sekularisme yang sedemikian gencar merasuk dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia, tapi sangat disayangkan teologi Kristen telah tunduk sampai pada taraf ketidakberdayaan yang tiada bandingnya dalam sejarah Kekristenan. meskipun semua orang masih tetap beragama (menerima moralitas, penyembahan, dan budaya spiritualitasnya) tetapi mereka menolak wawasan hidupnya yang religius dan mau meletakkan seluruh isu duniawi di dalam konteks kekekalan.[40] Fenomena ini tidak hanya dirasakan oleh para teolog barat saja, kaum injili di Asia pun juga mencermati hal yang sama. Seorang Teolog injili Asia Han Chul Ha mengungkapkan bahwa teologi Injili sekarang ini mengalami pergeseran focus perhatian oleh pengaruh sekularisme “In this age of secularism the focus of attention of even the evangelical Christian leader has been shifted from the original biblical concern of salvation unto eternal life to present day social concern[41]

Dalam konteks Indonesia saat ini, teologi Kristen juga harus menghadapi ujian berat terhadap gencarnya usaha kaum pluralis yang sedang memperjuangkan semangat pluralisme dalam konteks kehidupan beragama, sehingga orang Kristenpun tidak luput dari racun pluralis yang menimbulkan kecenderungan menerima hal-hal yang sifatnya relative dan dampaknya sudah bisa ditebak, yaitu munculnya asumsi bahwa tak sesuatupun dari Allah mampu dipahami dan dimengerti oleh manusia, hal itu juga diungkapkan oleh Robert Morey bahwa “since relativisme is dominant today, many people assume that no one really know anything about God. It is assumed that any and all views of God are acceptable because they are only personal preferences and not abjective truth”.[42] Dan akhirnya kebenaran jelas bisa ditemukan dimana saja, finalitas agama menjadi suatu yang mustahil.

 

b.     Seluruh kehidupan telah terkontaminasi.

Pada decade 1980 organisasi Gallup melakukan suatu penelitian terhadap orang-orang Amerika yang hasilnya dipublikasikan secara luas di media dari hasil survey itu menujukkan sesuatu fenomena yang sangat mengejutkan bahwa lebih dari 60 juta orang Amerika mengaku telah mengalami suatu pengalaman pertobatan secara pribadi dan mereka percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan, namun ironisnya mereka tidak mengetahui isi Firman Tuhan, sejarah kekristenan, termasuk teologi Kristen klasik, dan sangat mengenaskan bahwa iman Kristen mereka sedikit sekali dan bahkan tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupan mereka, kebudayaan mereka.

 

3.     Sifat Dari Alkitab.

Alkitab sebagai lahan studi teologi, menyajikan banyak kebenaran sedangkan Tuhan sendiri tidak menuliskan atau bahkan mewahyukan Firman-Nya dalam bentuk-bentuk proposisi/formulasi tulisan yang tersusun secara sistematik,  komperehensif  dan “ready use”, sehingga manusialah yang harus berupaya dalam mengumpukan data-data tentang kebenaran, menyusun, dan menyajikannya sedemikian rupa sehingga kebenaran/teologia tersebut dapat dinikmati oleh semua  orang.

 

4.     Diperlukan Untuk Pertumbuhan Kepribadian Kristen / Kebenaran Dan Pengalaman Hidup, Karena Pengetahuan Dan Tindakan Saling Berkaitan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman dan pengalaman hidup rohani merupakan bagian integral yang saling terkait dengan erat. John Walfoord menyatakan bahwa “faith is here taken from the sum of Christian doctrin and what he imidietly adds about good doctrin, is for the sake of explanation for he means, that all others doctrines, how plausikle so ever the may be, are not at all profitable”.[43] Menurutnya iman merupakan akumulasi dari sejumlah pemahaman tentang iman Kristen. bagaimana mungkin orang dapat bertindak dengan benar jika ia sendiri tidak tahu tentang apa yang benar, bagaimana ia dapat melakukan sesuatu yang kudus jika ia tidak faham tentang kekudusan. Bertolak pada dasar pemikiran yang demikian, maka teologia menjadi sangat berperan dalam menyediakan dasar filosofis dalam setiap prilaku kehidupan Kristiani seseorang.

 

5.     Untuk Pemberitaan (Penginjilan/PI), Pengajaran (Didaktik), Pertahanan (Apologetik), Dan Pelayanan Yang Efektif. (Kis 2:42; 2 Tim 2:10).

Teologia bukan hanya menyediakan landasan bagi kehidupan praktis setiap orang percaya, namun juga menyediakan suatu dasar yang kokoh bagi pelayanan Gerejawi terutama dalam mewujudkan amanat agung Yesus Kristus, yaitu pemberitaan Injil, Pemuridan dan pengajaran, pertahanan iman, dan pelayanan Kristen lainnya. Teologia yang baik memungkinkan pelayanan efektif dapat dikerjakan dan dipertanggung jawabkan.

 

6.     Kepercayaan Doctrinal Yang Tepat Mempengaruhi Hubungan Seseorang Dengan Allah.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa teologia semata-mata dikerjakan bukan untuk memuaskan hasrat intelektualitas manusia. Namun lebih dari pada semua alasan, teologia itu sendiri diharapkan mampu membawa manusia mengenal Allah secara relasional. Pemahaman dan pengenalan terhadap Allah harus mempu membawa manusia itu sendiri hidup dalam pergaulan yang karib denganNya, karena teologia yang tidak memberi dampak apapun terhadap hubungan itu justru hanyalah akan menjadi alat pemuasan hasrat intelektualitas dan kesombongan manusia belaka.

 

H. Seputar Metode Dalam Theologi.

Istilah metode merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, kemudian istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lainnya. Penjelasan istilah tentang metode ini diuraikan  oleh Robert Triana sebagai berikut  “ Method is based on the Greek word “methodos”, which literally means way or path of transit[44] menurutnya metode itu sendiri secara literal artinya adalah jalan atau jalan persinggahan sementara. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya metode berkembang sebagai suatu aktivitas sederhana yang telah dirancang sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan, sehingga metode itu sendiri dapatlah disebut sebagai jalan atau cara yang menghantarkan kita kepada suatu tujuan yang telah kita tetapkan.

Setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri karena metode merupakan unsur penting dalam suatu disiplin ilmu. Charles Hodge menjelaskan masalah metode dengan menyatakan bahwa” every science has its own method, determined by its peculiar nature…the two great comprehensive methods are the a priori [45] and the a posteriori[46]. The one argues from cause to effect, the other from effect to cause”.[47]  Perbedaan metodologi seringkali menyebabkan suatu disiplin ilmu saling melengkapi, atau bahkan sangat kontradiktif, Allan A.MacRae mengungkapkan bahwa

The Bible and true science can never contradict one another, since God is the author of both. The misinterpretation of the Bible by superficial Bible students and misinterpretations of scientific facts by theoretical scientists can often differ. When truly scientific method is used in both fields, it is easily seen that the results fit together.[48]

Allan berpendapat bahwa jika Theologia dan ilmu pengetahuan menggunakan pendekatan dan metode yang tepat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, maka sebenarnya keduanya akan saling melengkapi dalam memberikan suatu kebenaran yang lebih luas dari berbagai perspektif.

Demikian halnya dalam teologi sistematika masalah metode adalah sangat hakiki. Metode yang benar akan menuntun seorang teolog kepada suatu produk teologi yang benar, sebaliknya metode yang keliru akan membawa kepada pengertian yang salah dalam usaha mencoba mengerti wahyu Allah.

Sejarah kekristenan menunjukkan bahwa ada beberapa pendekatan (approaches) atau metode-metode (methods) yang menanyakan tentang Allah,[49] sebagian bersifat positif, dan sebagian lagi negatif, berikut ini gambaran singkatnya[50] :

 

1.     Agnosticism

Secara literal agnostic berarti tidak ada pengetahuan, yang merupakan kebalikan dari gnostik. Agnostic terbagi menjadi dua golongan, pertama yaitu garis keras yang mengklaim bahwa Allah secara mutlak tidak dapat diketahui, sedangkan golongan yang kedua lebih fleksibel yang beranggapan bahwa eksistensi dan nature[51] Allah tidak diketahui. Pandangan agnostic dipengaruhi Skeptisisme David Hume yang berasumsi bahwa manusia tak akan pernah dapat memperoleh pengetahuan tentang persoalan apapun sehubungan dengan gagasannya, satu-satunya pengetahuan adalah pengetahuan yang dapat dia alami (amati, persepsi) secara langsung, bahkan dengan tajam ia menyatakan bahwa “all God-Talk is meaningless”, bahwa semua informasi dalam Alkitab tak satupun bersifat real.  Proposisi Immanuel Kant lebih kuat lagi mengakar dalam pola pikir agnotisism dengan basic argumen pada dua point

1. The imposible of knowing reality

2. Autinomies of human reason

dalam pandangannya, bukan hanya ada jurang pemisah yang tak tersebrangi antara pemahaman dengan keberadaan (knowing and being), antara kategori-kategori pemahaman kita dengan nature realitas, tetapi di sana juga ada kontradiksi yang tak terelakkan yang menyebabkan kita mulai melanggar garis batas.[52]

 

2.     Rationalism

Ditanamkan oleh seorang Filsuf Yunani, Plato yang banyak mempengaruhi mindset dunia Barat. Pada abad pertengahan rasionalism dikembangkan oleh pemikir-pemikir seperti Avicena dan pemikir Scholastic seperti Duns Scotus dan rekan-rekannya, tetapi berkembang secara pesat pada abad modern misalnya oleh Rene Descartes, Spinoza, dan Leibnis. Rationalism bercirikan pada penekanannya atau bertumpu sepenuhnya terhadap kemampuan/ kesanggupan apriori dari akal budi manusia untuk memahami kebenaran. Dasar rasionalisme berpijak adalah apa yang bisa diketahui atau didemonstrasikan (sensible) melalui akal budi manusia adalah kebenaran.[53]

 

3.     Fideism

Suatu filsafat yang merupakan kontra rasionalisme, yang mengajarkan  bahwa kebenaran keagamaan harus sepenuhnya dasarkan atas iman dan bukan atas akal budi atau evidensi empiris. Iman unggul atas akal budi atau science sebagai sumber pengetahuan. Fideism menunjukkan bahwa kebenaran metafisik, moral dan religius tidak dapat dimasuki rasio manusia dan hanya dapat ditangkap oleh iman (iman mendahului akal dalam hal pengetahuan tentang Allah). Tokoh-tokoh fideism adalah Blaise Pascal, Sören Kierkegaard, Karl Barth dan Cornelius Van Till. Masing-masing tokoh memiliki teori yang berbeda namun pada intinya mengacu kepada inti pengajaran yang sama, yaitu :

a.. Iman sendirilah jalan kepada Allah, hanya iman yang merupakan jalan   

     kepada kebenaran tentang Allah.

b. Kebenaran tidak ditemukan dalam rasio murni atau realitas obyektif.

     Kebenaran adalah obyektif dan pribadi bukan obyektif atau  

     prepositional.

c.  Evidensi dan reason sendiri tidak bisa membawa kepada Allah.

d.  Ujian atas kebenaran adalah eksistensi bukan rasional.

e.  Bukan hanya penyataan Allah tetapi anugerahNya yang merupakan

     sumber dari segala kebenaran, kebenaran datang dari atas ke bawah.

 

4.     Experientialism/Empirisme

Experiantialism mengklaim bahwa segala kebenaran adalah dipisahkan oleh pengalaman. Pengetahuan akan segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif yaitu melalui pengalaman dan pikiran yang didasarkan atas empiris dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal-hal yang umum.[54] Filsafat ini tidak hanya berusaha mencapai pengetahuan ilmu alam melalui pengalaman, tapi juga diberlakukan bagi semua bidang ilmu termasuk teologi. Francois Bacon filsuf dari aliran ini memisahkan  wilayah akal dan ilmu dari kepercayaan, dan mendefinisikan kepercayaan sebagai sacrificium intellectus (korban akal) yaitu percaya dilihat sebagai pengorbanan akal karena keyakinan/iman adalah tidak masuk akal. Dan ia memuji akan teologi sebagai sesuatu yang sangat tinggi karena mengorbankan akal untuk mempercayai sesuatu yang tidak masuk akal.[55]

 

5.     Pragmatism

Merupakan inti filsafat pragmatic, yang menentukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaaan praktis bukan pengukuran kebenaran obyektif dengan kriterium praktik, tapi apa yang memenuhi kepentingan-kepentingan subyektifitas individu. Konklusi pengajaran pragmatism secara garis besar adalah seperti berikut :

a.     Pengetahuan berasal dari pengalaman, metode-metode eksperimental dan usaha praktis. Pragmatisme kritis terhadap spekulasi metafisik dalam meraih kebenaran.

b.     Pengetahuan harus digunakan untuk memecahkan masalah-masalah setiap hari, masalah praktis, membantu kita beradaptasi dengan lingkungan, sehingga pemikiran harus berhubungan dengan praktek  dan aksi.

c.      Kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman  

      hidup kita.

 

6.     Evidentialism

Golongan evidentialism pada umumnya menitikberatkan pemikirannya pada bukti-bukti dalam menentukan suatu kebenaran, dan berdasarkan analisis, ada perbedaan berpijak dalam menentukan kebenaran dari pandangan dunia (world view), beberapa penganutnya menekankan pada peristiwa sejarah masa lampau (Dodd), beberapa menekankan pada pengalaman keagamaan masa kini (Frederich Schleiermacher), sebagian lagi menekankan pada bukti-bukti dari Tuhan melalui nature dunia eksternal (Paley atau Butler), dan sebagian yang lainya tetap menekankan pada bukti pengalaman bersama Tuhan dimasa depan untuk verifikasi klaim keagamaan.

Meskipun ada perbedaan yang mendasar dalam beberapa hal, namun secara umum para evidensialist memiliki kesamaan mainstream yaitu :

a.     Pertama, bahwa mereka semua mendasarkan segala usaha dan pemikirannya  pada empirically or experientially karena hal itu merupakan basic fakta maupun peristiwa.

b.     Kedua, mereka membedakan antara fakta dan tafsiran (facts and interpretation).

c.      Ketiga, mereka yakin bahwa tidak semua fakta dapat diinterpretation/ditafsirkan.

d.     Keempat, evidentialist menuntut beberapa kekhususan atau keunikan fakta sebagai keberadaan terbatas dalam menetapkan suatu kebenaran..

e.     Kelima, beberapa evidentialist menekankan pada obyektifitas dan kodrat umum suatu fakta.

Beberapa konsep berfikir dari beberapa kelompok tersebut di atas merupakan dampak atau produk dari keberagaman metodologi yang dipakai dalam membangun suatu teologi, namun Secara garis besar metodologi dalam berteologi dibedakan menjadi tiga pokok penting saja yang meliputi :

 

1.     The Speculative Method

Metode ini merupakan asumsi-asumsi spekulasi/pemikiran, dalam makna a priori. Prinsip-prinsip pasti yang darinya seorang teolog melaksanakan pemisahan antara “apa’ dan “apa yang seharusnya” hal ini memutuskan segala kebenaran, atau memisahkan tentang kebenaran dari hukum-hukum pikiran atau aksioma-aksioma yang terkandung dalam konstitusi prinsip berpikir kita.

 

2.     The Mystical Method

Jika metode spekulasi merupakan proses berpikir (berdasarkan hukum logika), maka mysticism lebih menekankan kepada masalah perasaan. Jika prinsip spekulatif berasumsi bahwa kecakapan berpikir merupakan sarana utama untuk memperoleh pengetahuan, tetapi metode mystical meragukan kemampuan akal budi manusia, dan mengajarkan bahwa hanya perasaan saja yang dapat menjadi jalan untuk memperoleh penerangan kerohanian.

 

3.     The Inductive Method[56]

Ada tiga langkah utama dalam proses berpikir secara induktif, yang pada prinsipnya diterapkan dalam ilmu pengetahuan dan juga diterapkan dalam bidang teologi.

A. Pertama, Seorang scientist/teolog datang untuk belajar dengan pemikiran-pemikiran pasti/meyakinkan, yaitu :

1. Ia berasumsi bahwa persepsi pikirannya dapat dipercayai atau tidak perlu diragukan.

2.  Ia berasumsi bahwa mental operationalnyajuga  dapat dipercayai.

                                             3. Ia juga harus bertumpu pada

     kebenaran- kebenaran  pasti yang tidak    

                                              hanya dipelajari dari pengalamannya   

                                              sendiri melainkan juga yang   

                                                 diberikan oleh konstitusi nature.

    1. Seorang scientist/teolog berpijak pada prinsip pasti, dan ini merupakan alat untuk bekerja, prosedur untuk menerima, mengumpulkan dan mengkombinasikan fakta-fakta.

    2. Dari fakta-fakta yang meyakinkan dan telah terklasifikasi, ia mendeduksikan hukum-hukum dimana mereka memisahkan/membedakan antara fakta yang mana yang dapat diuji cobakan dengan hukum ini, dan mana yang tidak.

Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa metode inductive bergerak[57]

c dari bagian-bagian kepada keseluruhan

c dari khusus kepada yang umum

c dari yang terbatas kepada yang tak terbatas

c dari pengalaman manusia kepada kebenaran

c dari akibat kepada sebab

c dan dari bukti-bukti kepada Allah.

 

Meskipun ada beberapa metode yang dapat dipakai dalam berteologi, namun ada beberapa factor penting yang sangat prinsipil, yang perlu untuk diperhatikan bahwa dalam berteologi :

  1. Kitab suci harus tetap menjadi sumber utama dalam berteologi  dan dari situlah teologi harus dibangun.

  2. Sahadat/ pengakuan iman Gereja sebagai pautan/pedoman dalam berteologi.

  3. Keadaan pribadi yang menyelidiki/berteologia memiliki peranan penting.

Ketiga hal tersebut diatas sangat fundamental, namun penekanannya tidaklah boleh terlalu ekstrim  pada salah satu factor saja, melainkan harus seimbang, karena bila terlalu menitik beratkan teologi pada salah satu factor saja maka bisa berdampak kurang baik :

  1. Penekanan pada Kitab suci yang berlebihan maka ada bahaya “Biblicisme” yang justru membuat teologia menjadi kering dan irrelevant.

  2. Penekanan pada sahadat yang berlebihan akan muncul bahaya “Tradisionalisme”yang menyesatkan teologi, sehingga teologi menjadi terbatas.

  3. Penekanan pada Pribadi yang menyelidiki yang berlebihan akan berdampak “subyektifisme” yang seringkali meningkat kepada “ Rationalisme, sinkretisme dan  mystikisme”.

Dari penjelasan-penjelasan di atas maka berteologi seharusnya:

  1. Menjadikan Firman Tuhan sebagai sumber utama yang tidak boleh diabaikan.

  2. Tidak subyektif dan juga tidak obyektif, ada pedoman sebagai pautan dalam berteologi.

  3. Orang yang berteologi haruslah memiliki dua kualifikasi penting:

 

I. Proses Dalam Berteologi.

Ada beberapa proses yang terdiri dari begitu banyak langkah-langkah yang perlu dilalui dalam membangun suatu teologi yang benar, meliputi :

  1. Mengumpulkan bahan-bahan dari Alkitab.

  2. Pengaturan bahan Alkitab : menggabungkan dan memadukan beberapa pokok menjadi suatu pokok yang lengkap.

  1. Menganalisis makna ajaran pokok : apa arti sebenarnya ajaran ini/ dengan maksud memahami dengan tepat untuk dapat mengkomunikasikannya dengan tepat pula.

  2. Meneliti pembahasan sebelumnya dalam  sejarah oleh tokoh-tokoh sebelum kita : memeriksa penafsiran terdahulu (teologi histories).

  3. Menemukan hakikat ajaran : perlu membedakan esensi dari sebuah doktrin yang permanen dan tak berubah dari suatu wahana cultural dimana budaya itu diungkapkan. Contoh : Konsep Korban dalam konteks PL & Yudaisme, Karena seringkali Alkitab mengungkapkan kebenaran abadi dalam bentuk penerapan tertentu pada suatu situasi (konteks) tertentu pula.

  4. Penerangan dan pengkayaan dari sumber-sumber non-Alkitab.

  5. Ungkapan ajaran masa kini  yang dapat diungkapkan melalui dialogis, apologis, ataupun  kontekstualisasi.

  6. Perkembangan motif penafsiran inti : Tiap tokoh memiliki central idea/gagasan pokok, sehingga akan memberikan kesatuan dan kesinambungan kepada sistemnya.

  7. Stratifikasi Pokok-pokok: menyusun pokok-pokok berdasarkan pentingnya pokok itu. Membuat garis besar, bagian, sub bagian,dsb.

 

J. Sumber- Sumber Theologi

1. Sumber Primer

Teologia yang benar dan yang sehat harus dibangun atas dasar Firman Tuhan (sola Scriptura) saja. Dalam teologi, seorang teolog harus bekerja untuk mendapatkan bahan mentah dari Alkitab karena memang Alkitab tidak dirancang sebagai suatu system teologi yang siap pakai (ready made/ready use) yang tidak lagi memerlukan usaha penggalian. Ada beberapa contoh penggunaan sumber theologia yang salah misalnya :

    1. Alkitab dan Ilmu Pengetahuan.     

    2. Alkitab dan Rationalisme.

    3. Alkitab dan Mistikisme.

Jadi Sumber Theologi yang benar hanyalah “Sola Scriptura” sedangkan yang lainnya hanyalah pendamping dan pendukung saja.[58] Mengapa sumber teologi harus Alkitab saja ? Charles Hodge dengan tegas menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa segala fakta kebenaran yang diajarkan atau diperoleh dari nature kita, ataupun dari pengalaman keagamaan tidaklah lengkap, bersifat relative dan sangat terbatas, sehingga memerlukan suatu kebenaran yang lengkap dan dapat dipertanggung jawabkan secara meyakinkan, dan itu hanya kita temukan dalam Alkitab.[59]

John Calvin juga pernah mengemukakan bahwa hanya Alkitab saja yang merupakan sumber doktrin paling lengkap dan banyak kebenaran yang terkandung di dalamnya yang tidak mungkin ditemukan ditempat lain “Holy Scripture contains perfect doctrine, to which one can add nothing…[60] artinya hanya Alkitab yang mampu memberikan informasi seakurat mungkin tentang Allah, karena melaluinya (melalui Alkitab itulah) Allah menyatakan diriNya sendiri. Hal ini secara eksplisit menunjukkan bahwa jika kita berusaha menemukan kebenaran Allah melalui dasar lain selain dengan mempelajari Alkitab secara cermat maka hal itu akan menjerumuskannya kedalam pengajaran yang sesat seperti yang Robert katakan

The only way to know God personally and to know aboud God in intellectually is through God’s self revelation as given in Holy Scripture. The attemp to destine God on any other basis than a carefull exegesis of scripture has always been the mother of heresy.[61]

Oleh karena itu seorang teolog sangat memerlukan hasil penyelidikan dari Studi Biblika karena di dalamnya disajikan materi yang luas berdasarkan tema-tema tertentu dari Alkitab secara progresif. Studi Historika memberikan kontribusi dengan menunjukkan berbagai cara penafsiran Alkitab yang pernah dilakukan Gereja dan teolog sebelum kita, artinya kita menangkap inti pengajaran, prinsip-prinsip dalam menghadapi problematika zaman, dan dari Studi Filosofi membantu bagaimana kita dapat menemukan relevansi pemikiran teologis dengan cara praktis dalam dunia kontemporer.

Memang tantangan yang dihadapi berkenaan dengan sumber dalam berteologi tidak hanya muncul dari aliran non-Injili saja, yang ironis justru muncul juga dari golongan Injili sendiri yang berseberangan pandangan, misalkan saja Stanley Grenz yang mengkritisi metode berteologi kaum Injili yang terlalu ketat memegang tradisi Sola Scriptura, dan menjadikan Alkitab sebagai sumber satu-satunya. Ia menyatakan bahwa “traditionally evangelical have self consciously endeavored to construct systematic Theology largely or exclusively on only one foundation-the Bible[62] menurutnya tradisi sola scriptura harus dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, reformasi menentang adanya tradisi apostolic sebagai sumber teologi yang setara dengan Alkitab dalam tradisi Katolik Roma masa itu, yang seringkali dipolitisir untuk kepentingan tertentu, Tetapi untuk konteks sekarang hal itu sudah tidak relevan karena dunia sudah berbeda, sehingga kini ia mengusulkan bahwa sumber teologi haruslah dibangun atas Alkitab, warisan tradisi Gereja, dan kerangka berfikir kultur kontemporer “our task moves from biblical message, through the theological heritage of the church, to the thought forms and issues of the cultural context in which we live[63]. Sumber teologi ini menurut Grenz bukanlah sumber sekunder, melainkan sumber yang sederajat.

 

2. Sumber-Sumber Teologi yang Sekunder

Meskipun teologi Reformasi secara konsisten mengakui bahwa essensi atau benang merah dari reformasi itu tidak dapat dilepas pisahkan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural Principle), namun ini tidak mengindikasikan bahwa teologi tidak memerlukan sumber lain di luar Alkitab. Menurut Luther Alkitab merupakan batu uji atau hakim, karena yang menentukan keputusan final terhadap kebenaran yang ditemukan dalam sumber lain, ia mengatakan “sola scriptura is the proper touchstone, the Lydian stone by which I can tell black from white and evil from good”, sangat jelaslah bahwa fungsi Alkitab sebagai sumber yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan merupakan pemegang otoritas tertinggi  dalam suatu teologi karena tanpanya kita akan kehilangan arah dalam berteologi seperti pandangan  Clarck H.Pinnocktheology without valid authority is like art with all freedom and no form, or ship without a rudder. An authority is simply that which has recognized righ to rule us divine revelation itself structures authority for us” .Oleh karenanya  Alister McGrath mengusulkan suatu pemikiran bahwa Sumber teologi yang sekunder seharusnya meliputi  rasio, tradisi dan pengalaman.

Pengalaman, dipahami sebagai kehidupan batiniah seseorang, dimana melaluinya seseorang tersebut menjadi sadar akan perasaan-perasaan dan emosi-emosi subyektifnya. Tanpa pengalaman, teologi menjadi miskin dan cacat. Doktrin merupakan alat untuk menginterpretasi pengalaman karena pengalaman merupakan sesuatu yang perlu dijelaskan dan ditafsirkan. Di dalam doktrin Kristen ada tiga tujuan yang hendak dicapai dalam hal ini

 

a)     Pertama, ia berfungsi mengenali pengalaman,

b)     Kedua berfungsi menginterpretasi pengalaman,

c)      Ketiga untuk mentransformasi pengalaman.

Rasio, adalah kemampuan dasar seseorang untuk berfikir yang berdasar argumen dan bukti. Secara teologis ia netral dan tidak mengancam iman, kecuali jika ia dianggap sebagai satu-satunya sumber pengetahuan akan Allah.

Tradisi, merupakan suatu proses refleksi yang aktif terhadap pemahaman-pemahaman teologis dan spiritual. Dalam proses ini pemahaman-pemahaman teologis spiritual tersebut dihargai, dinilai, dan ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lain.

 

K.     Syarat Penting Dalam Berteologi.

Beberapa syarat penting atau perlengkapan yang harus ada dalam membangun sebuah teologia yang benar dan sehat, adalah harus :

  1. Ada asumsi dasar atau pemikiran awal yang benar. [64]

  2. Ada metode yang benar.

  3. Ada perlengkapan rohani.

  4. Ada sikap Kristen yang benar.

  5. Adanya penerangan Roh Kudus.

 

L.     Titik Pangkal Teologi

Dari manakah seharusnya Teologi itu dimulai ? Teologi proper, bibliologi, atau yang lain ? ada banyak kelemahan untuk menentukan dari salah satu di antaranya karena dapat menimbulkan problematika yang sulit dipecahkan, tetapi alangkah baiknya jika kita memulainya dari asumsi dasar  bahwa  ada satu Allah Tritunggal , yang penuh kasih, sangat berkuasa, kudus, dan mengetahui segala sesuatu, Ia menyatakan diri dalam Alam, sejarah dan kepribadian manusia & tindakan serta karya-karya-Nya yang kini terpelihara di dalam kitab kanonik yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru”  dari sini kita terus mengembangkan suatu system teologi  yang lengkap.

 

M.    Keterbatasan Theologi.

Kekayaan pengetahuan Allah yang kita temui melalui Firman-Nya memang tidak terbatas, yang membuat terbatas adalah beberapa hal berikut ini :

  1. Keterbatasan pemikiran manusia (Rom 11:33; I Kor 13:12; Yes 55:8-9).

  2. Kekurangan ilmu pengetahuan pembantu/ pendukung.

  3. Keterbatasan bahasa manusia untuk mengungkapkan kebenaran.

  4. Ketidak mampuan mengartikan Alkitab secara tepat.

  5. Bungkamnya penyataan lanjutan dari Allah (Yoh 13:7; Kis 1:7; Ul 29:29).

  6. Pengaruh dosa dan keinginan daging (I Tim 4:2; I Kor 12:13).

 

 

BAB II

HUBUNGAN THEOLOGIA

DENGAN DISIPLIN ILMU LAINNYA

 

Teologi dapat menjadi sarana komunikasi manusia kepada Allah, tetapi teologi juga berperan menjawab kebutuhan manusia pada setiap zaman, oleh sebab itu teologi pada hakikatnya tidak bisa dilepas pisahkan dengan disiplin ilmu yang lain. Seringkali teologi dan ilmu yang lainnya saling berkontribusi, saling mengisi dan melengkapi, meskipun ada kalanya terjadi suatu pertentangan yang sangat sulit untuk dipertemukan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap disiplin ilmu jikalau mau jujur sebenarnya saling membutuhkan di antara satu dengan yang lainnya dalam hal-hal tertentu.


A.     Theologi dan Etika

Etika memberikan suatu tolok ukur bagi setiap prilaku manusia terutama berkaitan  dengan pola hubungan antara dirinya dengan   sesamanya Dalam konteks lingkungan sosial. Melalui etika itulah manusia berusaha mengupayakan summum bonum untuk prilaku setiap individu yang sangat diperlukan dalam sosialisasi. Namun etika yang dikehendaki Allah tidak cukup dengan hanya di dasarkan pada landasan naturalistic saja, yang hanya dicari melalui pikiran dan hati nurani manusia semata karena seluruh pemikiran manusia sudah tercemar, sehingga etika yang dibangun dan bersumber dari dalamnya tentu tidak cukup memadai untuk memberikan informasi tentang kebaikan yang ideal dan juga standart kebenaran

This doctrine of the total depravity of man makes it plain that the moral consciousness of man as he is today cannot be the spource of information about what is ideal good or about what is the standart of the good or about what is the true nature of the will which is to strive for good.[65]

Teologi Kristen telah memberikan suatu kontribusi dalam menciptakan etika yang ideal bagi umat Allah yaitu etika yang teologis, yang Kristiani. Etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari praanggapan-praanggapan teologis, yaitu  kepercayaan kepada Allah dan memandang kesusilaan/etika bersumber dari dalamnya dan oleh karena Allah tidak bisa diamati oleh panca indera manusia maka etika teologis bersifat transempiris/transenden, yaitu etika yang melampaui batas-batas kemanusiaan (akal budi, dan perasaan manusia).


  1. Teologi dan Agama

Istilah Agama  dibentuk dari dua  kata dalam bahasa Sansekerta “A”              artinya    Tidak dan Gama      artinya     Kacau balau sehingga secara literal agama memiliki arti tidak kacau, atau lebih sederhananya tertib. Jadi  agama merupakan wacana yang diharapkan melaluinya ketertiban terwujud dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam konteks bahasa lain, kata agama itu sendiri juga merupakan terjemahan dari istilah “religion” (Latin) yang artinya “diikat“. Pada dasarnya agama adalah sikap dasar manusia yang seharusnya kepada Allah, penciptanya. Agama mengungkapkan diri dalam sembah dan bakti sepenuh hati kepada Allah yang mencintai manusia. Kita dapat berkesimpulan bahwa agama dapat dipahami sebagai berikut :

Secara umum  : Pemujaan dan perbuatan bakti kepada Tuhan.

Secara khusus : Suatu system iman dan ibadat

Hubungan teologi dengan agama merupakan hubungan akibat-akibat yang  dihasilkan oleh suatu sebab-sebab yang sama, tetapi masih dalam kawasan yang berberbeda.

Di dalam ilmu sosiologi agama, kita menemukan bahwa agama itu sendiri memiliki tiga aspek dasar, yaitu mitos, ritus dan etika.[66] Mitos merupakan suatu kumpulan kepercayaan (a set of beliefs) yang merupakan ekspresi kognitif dari suatu system agama, mitos ini berfungsi memenuhi kebutuhan kognitif dari penganut agama tersebut. Ritus merupakan dimensi ekspresif dari suatu system agama, ia merupakan ekspresi dari apa yang dipercayai oleh penganut agama tersebut atau dengan kata lain memenuhi kebutuhan emosional. Sedangkan Etika merupakan dimensi praktis dari suatu system agama, ia merupakan praktek dari apa yang dipercayai dalam bentuk pola prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dengan kata lain berfungsi memenuhi kebutuhan fungsional.

Jadi kesimpulannya adalah bahwa dalam Teologi manusia menata renungan-renungan tentang Allah dan alam semesta dan melalui Agama manusia mengungkapkannya lewat sikap dan tindakan. Dan masih berkaitan dengan penjabaran di atas, bahwa dalam Teologi manusia berusaha merumuskan suatu system keyakinan yang cukup memadai  yang kemudian diimplementasikan melalui mitos, ritus, dan etika.

 

  1. Teologi Dan Filsafat

Martin Luther pernah berkata “teologi harus menjadi ratu, sedangkan filsafat harus menjadi budak-budaknya” untuk kurun waktu yang cukup lama hasrat keagamaan manusia di suluruh dunia membuktikan perkataan tersebut bahwa tidak ada yang menandingi posisi teologia dalam seluruh tatanan keilmuan, betapa penting dan berharganya pengenalan akan Allah, tetapi rupanya semangat yang demikian pada akhirnya runtuh oleh karena ulah para teolog sendiri yang telah dipengaruhi filsafat liberalism yang justru merendahkan teologi serendah permainan ular tangga.[67] Bahkan sampai saat ini kita masih saja merasakan panasnya suasana peperangan pemikiran antara filsafat dunia dengan teologi. Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba mencari titik temu di antara keduanya.

Pertama, Berdasarkan beberapa fakta yang kita temukan sebenarnya antara Teologi dan filsafat memiliki tujuan yang sama yaitu mencari “world view dan Lifeview” (pandangan dunia dan pandangan hidup), namun yang membedakannya adalah cara pendekatan dan metode yang dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Jika di dalam Teologia pencarian kebenaran bertolak dari asumsi dasar adanya Tuhan dan segala sesuatu bersumber dari Dia (kecuali dosa), namun dalam filsafat

justru bertolak dari sesuatu lain yang dianggap ada dan dari hal lain itu dianggap cukup memadai untuk menjelaskan segala yang ada.

Kedua, jikalau di dalam Teologia itu bertumpu pada dasar/pondasi yang obyektif dan kokoh sedangkan di dalam filsafat hanya bertumpu pada dugaan-dugaan (asumsi) filsuf itu sendiri.

Jadi pada dasarnya filsafat dan teologia memiliki saling keterkaitan yang sebenarnya keduanya saling memperkaya, saling mengevaluasi, dan saling mengkritisi.

 

BAB III

PENGAJARAN TENTANG PENYATAAN ALLAH

(REVELATION)

 

Tuhan dalam agama-agama dunia dipahami sebagai “DEUS ABSCONDITUS” yaitu Allah yang tersembunyi, yang jauh dari jangkauan manusia, namun dalam konteks Kekristenan Tuhan juga telah menyatakan diri-Nya sehingga Ia dapat dikenal. Dalam teologi Kristen Allah diyakini sebagai yang Transenden, Allah yang jauh, tak terbatas, tak terjangkau, namun Allah yang sama juga adalah Allah yang Immanen sangat dekat, dan berada di dalam diri manusia. Teologia Kisten mengajarkan bahwa Allah dikenal oleh karena Ia telah menyatakan diriNya sendiri kepada manusia melalui berbagai cara. Penyataan Allah dapat dipahami sebagai tindakan Allah untuk membuka tabir tentang diri-Nya atau mengkomunikasikan kebenaran-Nya ke dalam pikiran manusia.

 

A.     Pemahaman Tentang Penyataan Allah Secara Epistemologis

Secara epistemologis, sejak abad permulaan manusia telah meyakini bahwa Allah menyatakan kehendakNya kepada umat manusia melalui berbagai bentuk. Sejak filsafat klasik modern mengambil alih pengaruh, secara khusus sejak zaman pencerahan/aufklarung  yaitu pada abad 17 dan 18 keyakinan ini mulai tidak lagi diterima.

            Pertanyaan-pertanyan dalam epistemology yang muncul adalah apakah pengetahuan itu ?, bagaimanakah pengetahuan itu diperoleh? Dan bagaimana kita tahu tentang apa yang kita ketahui ? Dalam pertanyaan-pertanyaan ini, isu yang patut dicatat adalah istilah “pengetahuan” dan ”keyakinan/kepercayaan” yang seringkali digunakan secara bertukaran oleh orang-orang beragama, namun sebenarnya secara teknis istilah ini sangat berbeda.

Seringkali, pernyataan “percaya/yakin” berarti bahwa pembicara memiliki dasar keyakinan keagamaan yang membenarkannya, meskipun bukti-bukti atau verifikasi belum dilakukan. Misalnya apakah yakin bahwa Allah menciptakan alam semesta, atau bahwa Allah mengirim pesan lewat para Nabi. Beberapa orang beragama yakin bahwa mereka benar-benar  memiliki bukti bahwa keyakinan mereka itu benar adanya, tetapi bukti-bukti ini belum tentu disetujui oleh orang-orang beragama lainnya, entah itu dari agama yang sama, ataupun orang beragama lainnya. Dan tentulah masih ada lagi orang-orang yang sangat tidak setuju tentang hal itu, di luar orang beragama, yaitu para filsuf, logicians dan scientist yang secara terbuka menolak bukti tersebut. Para filsuf berusaha memberikan perbedaan yang tajam antara pengetahuan dan keyakinan, dalam pengetahuan itu ada penghakiman terhadap keyakinan yang benar.

            Perbedaan mendasar antara pengetahuan dan keyakinan keagamaan adalah bahwa pengetahuan (secara khusus pengetahuan ilmiah) memiliki cakupan yang luas (lebih akurat dan bersifat global) daripada keyakinan keagamaan, yang cenderung berbeda substansi berdasarkan waktu dan tempat sehingga ilmuwan modern dan para filsuf setuju bahwa tidak ada pemikiran dan proses mental yang dapat menemukan dan dan menggambarkan bahwa makhluk mampu berinteraksi dengan entitas supranatural (Tuhan, malaikat,roh jahat,dll) demikian juga proses interaksi entitas supranatural dengan dunia alamiah tidak dapat diselidiki secara keilmuan, dan tidak ada mekanisme atau teori yang dapat menggambarkan akan hal itu. Ada muncul keraguan yang mendasar bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui penyataan/pewahyuan dalam bentuk apapun.

            Masalah-masalah yang timbul dan perlu dicatat dari perbedaan-perbedaan berdasarkan perbandingan agama adalah bahwa ada banyak penyataan/kebenaran yang diwahyukan dan doktrin-doktrin yang kontradiksi di antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, beberapa filsuf teologi berfikir bahwa perbedaan kebenaran dan doktrin ini tidak mungkin berasal dari wahyu yang sejati. Agama-agama Abrahamic, termasuk di dalamnya adalah Yudaisme, Kristen dan Islam, menyoroti pada masalah iman bahwa Allah eksis, dan dalam berbagai cara dapat menyatakan kehendakNya kepada umatNya. Seringkali pertanyaan epistemology tetap ada pada orang-orang beriman ini sehingga mereka berusaha untuk membedakan antara nabi yang benar dan nabi palsu. Beberapa dokumen yang mereka miliki masing-masing memberikan kriteria-kriteria yang dapat membedakan antara pengajaran dari nabi yang benar dari nabi yang salah.

 

B.     Prasyarat Penyataan Allah.

Allah menyatakan diriNya tentu melalui suatu proses dan prosedur yang pasti dan dapat dimengerti, sehingga manusia secara nyata mampu memahami setiap maksud pernyataan tersebut, oleh sebab itu ada beberapa kriteria dari penyataan tersebut, yaitu : Pertama bahwa Allah sendirilah yang berperan sebagai pemrakarsa penyataan diri-Nya, Kedua, Allah harus memberikan bahasa kepada manusia untuk berkomunikasi (Kej 1:28-30; 3:8-13), Ketiga, Allah harus menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah sehingga mampu mengenal Allah dan, Keempat, Ia harus memberikan Roh Kudus (Yoh 16:13-15; I Kor 2:10).

 

C.     Model Penyataan Allah

Ada dua model pernyataan Allah yang akan dibahas dalam buku ini, yaitu penyataan khusus dan penyataan umum.

 

1. Penyataan Umum/Teologia Naturalistik/Prelapsari

Definisi  penyataan umum  adalah komunikasi Allah sendiri kepada semua orang di setiap tempat dan waktu. Penyataan ini adalah segala sesuatu yang dinyatakan Allah di dalam dunia sekitar kita, termasuk manusia. Sifatnya umum dan jangkauannya juga umum, yaitu untuk semua orang (Mat 5:45,Kis 14:17). Penyataan umum tersebut dinyatakan melalui

 

1.     Ciptaan/creature (Maz19:1-7 ; Rom 1:18-32).

2.     Keteraturan/harmoni alam semesta (Maz 19:2; Kis 14:15-18).

3.     Manusia (Maz 94:9 ; Kis 17:28,29).

4.     Melalu sejarah dunia

5.     Melalui agama-agama.

Isi dari penyataan Umum adalah :

a.     Kemulyaan-Nya(Maz 19:2)

b.     Kuasa penciptaanya (ay 2)

c.      Keunggulan-Nya(Rom 1:20)

d.     Keillahian-Nya(ay 20)

e.     Penentuan-Nya dalam mengendalikan alam semesta (Kis 14:17)

f.       Kebaikan-Nya(Mat 5:45)

g.      Kecerdasan-Nya(Kis 17:29)

Maksud dan tujuan dari penyataan umum adalah untuk  :

a.     Memberikan bobot kepada teisme dan menolak ateisme, agnotisisme, evolusionisme, pantheisme, dsb.

b.     Membawa manusia kepada pengetahuan tentang Allah, tetapi pada umumnya tidak membawa kepada hubungan yang benar dengan Allah (Rm 1:19-20), dan tidak membawa kepada keselamatan/soteriologis.

c.      Mempersiapkan manusia untuk menerima penyataan khusus, John Calvin pernah menyatakan bahwa “apa yang terserak-serak dan tidak jelas dalam penyataan umum dipadukan dan dibuat jelas dalam penyataan khusus”.

d.     Memberi pandangan yang luas terhadap fenomena agama-agama dunia.

   

2. Penyataan Khusus/Teologi yang diwahyukan/Postlapsari/Soterik.

Definisi penyataan khusus adalah manifestasi dan komunikasi Allah sendiri secara khusus kepada orang-orang tertentu, pada waktu tertentu pula, pada saat ini penyataan khusus tersebut nampak dalam Alkitab.

Beberapa saluran-saluran yang dipakai oleh Allah sepanjang sejarah sebagai penyataan Khusus adalah melalui melalui :

a.     Undi (Ams 16;33; Kis 1;21-26)

b.     Urim dan Tumim (Kel 28:30; Bil 27:21;dsb)

c.      Mimpi (kej 20:3,6; 31:11,dsb)

d.     Penglihatan (Yes 1:1; 6:1)

e.     Teofani (Kej 16:7-14; Kel 3:2)

f.       Malaikat-malaikat Tuhan.

g.      Para Nabi

h.     Yesus Kristus yang merupakan saluran utama penyataan Allah Yoh 1:14; 14:9,dsb.

i.       Alkitab, merupakan  sarana paling menyeluruh dari isi penyataan khusus (Yoh 17:17; Ibr 1:1; 2 Tim 3:15-17).

Nilai atau tingkat kepentingan dari penyataan Khusus adalah  karena sudah tidak adanya lagi pengetahuan yang benar akibat dosa serta terbatasnya penyataan umum  dalam membawa orang kepada Allah. Pada dasarnya ada dua golongan yang berbeda pendapat dalam memandang Alkitab sebagai penyataan khusus, yaitu Golongan Fideis yang memandang Alkitab dan wahyu yang ada di dalamnya adalah benar dalam dirinya sendiri(autopistis), sedangkan kelompok kedua adalah Golongan Empiris yang lebih menekankan kredibilitas pewahyuan    dan memandang Alkitab secara aksiopistis, yaitu percaya kepada Alkitab sebagai wahyu Allah karena kriteria-kriteria yang melekat di dalamnya.

 

BAB IV

HUBUNGAN PENYATAAN ALLAH DAN RASIO DALAM BERTEOLOGI

 

A. PENDAHULUAN

Pergulatan antara teologi dengan filsafat merupakan pergumulan abadi yang terus terjadi sepanjang sejarah Gereja, pemikiran-pemikiran filsafat sedikit banyak turut mempengaruhi pola pikir tokoh-tokoh Gereja dalam membangun suatu teologi, terutama filsafat, yang menempatkan rasio di atas segala-galanya (filsafat rasionalism). Pergulatan di antara keduanya berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, bahkan sampai masa sekarang pengaruh pemikiran tersebut – rasionalism - masih terus berkembang dengan hebatnya, hal ini dapat kita perhatikan dalam pemikiran-pemikiran teolog Liberal. Perkembangan teologia Kristen sedikit banyak dipengaruhi oleh tantangan yang ditimbulkan oleh rasionalisme, dan hal itu terjadi dalam dua masa besar, yaitu abad ke 18 di Inggris dan Perancis  dan permulaan abad 19 di Jerman.[68] Abad pencerahan, merupakan masa yang subur bagi perkembangan rasionalisme, hal itu ditandai dengan kemunculan beberapa pemikir yang sangat terkenal seperti tokoh Katholik, Rene Descartes yang mengemukakan prinsip jangan pernah menerima sesuatu sebagai suatu kebenaran bila kita tidak memahaminya secara gamblang dengan menyatakan “Never to accept anything for true which I did not clearly know to be such[69] dan akhirnya melahirkan suatu axioma “cogito ergo sum” (I think Therefore I am)[70],  langkah ini kemudian disusul oleh beberapa pemikir

lainnya di antaranya Spinosa (seorang pemikir Yahudi), Leibniz (pemikir Protestan) dan yang lainnya.

Polemik tentang hubungan antara rasio manusia dengan Penyataan Allah di dalam berteologi merupakan suatu masalah klasik yang sekaligus masalah kontemporer dalam sepanjang sejarah Kekristenan. perbedaan pandangan yang begitu tajam di antara keduanya sebenarnya terletak pada dari mana titik awal (starting point) teologi harus dimulai atau dibangun. Jika para tokoh reformasi abad 16 memulainya dari sudut pandang Allah sendiri melalui karya Kristus yang disaksikan oleh Alkitab untuk memahami dunia, tidaklah demikian kaum rasionalist yang justru memulainya dari sudut pandang dunia itu sendiri. Hal itulah yang diungkapkan oleh Collin Brown dalam bukunya yang berjudul Philosophy and The Christian Faith bahwa  The reformers of the sixteenth century were dominated a concern for God. The took as their starting point’s action in Christ, as withnessed to by the scripture. From there they proceeded to think about world. The rationalist of the seventeenth century were absorbed not so much by God but by the world.[71] Masalah  ini menjadi stimulus yang kuat bagi kita sebagai pencari kebenaran untuk terus berfikir apa dan bagaimanakah seharusnya hubungan antara rasio dan penyataan Allah itu dalam suatu pekerjaan Teologi Kristen ? untuk menjawab hal itu kita akan akan memulainya dengan menjabarkannya satau persatu, dan kemudian menarik suatu pola hubungan atau keterkaitannya.

 

B.     Definisi Istilah

1.     Hakekat Penyataan Allah

Ada keunikan tersendiri yang dimiliki oleh kepercayaan/teologi Kristen dibandingkan dengan kepercayaan lain, yaitu bahwa Allah merupakan subyek, yang secara aktif mencari manusia dan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan manusia itu sendiri hanyalah sebagai obyek.[72] Dari bagian awal sampai penutup Alkitab menunjukkan bahwa Allah berperan secara aktif dalam mencari manusia.

Tindakan ini sangat penting oleh karena penyataan Allah merupakan cara Allah sendiri berkomunikasi dan menyatakan diri-Nya[73] kepada semua orang di segala waktu melalui penyataan umum-Nya dan kepada orang-orang tertentu pada waktu-waktu tertentu melalui penyataan khusus-Nya. Penyataan Allah tidak hanya dimaksudkan supaya manusia mengenal oknum Allah saja, tetapi juga apa yang telah Ia lakukan, tentang ciptaan-Nya dan hubungan antara Allah dan manusia. Hal ini merupakan informasi yang riil, obyektif dan rasional dari Allah kepada manusia.

Jadi tujuan penyataan Allah adalah untuk mengkomunikasikan kebenaran kepada pikiran manusia. Melalui cara inilah Ia menyatakan kepada makhluk ciptaan-Nya, apa yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara lain termasuk dengan kemampuan rasionya[74] oleh sebab itu sebagian penyataan Allah sulit diterima oleh rasio manusia bukan karena bertentangan dengan rasio, tetapi memang sebagian melampaui batas kemampuan rasio manusia seperti yang diungkapkan oleh John Lockpenyataan merupakan komunikasi dari proposisi-proposisi yang benar, sebagian melampaui apa yang ditemukan hanya oleh rasio[75]. Dari uraian tersebut maka sangat jelas bahwa penyataan Allah tidak sekali-kali dimaksudkan untuk memenuhi atau menjawab keragu-raguan manusia, bukan untuk sarana pemenuhan kesenangan manusia dan kepuasannya.

 

2. Pengertian Tentang Rasio

Rasio dan rasionalisme seringkali dipahami sebagai suatu istilah yang identik, padahal dua istilah tersebut merupakan istilah yang berbeda tetapi memiliki hubungan erat dan hampir tak terpisahkan. Kata rasio adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin “ratio” yang memiliki arti pikiran. Pengertian secara umum, ratio merupakan kemampuan untuk melakukan abstraksi, memahami, menghubungkan, merefleksikan, memperhatikan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan dan sebagainya.[76]

Sedangkan rationalisme sendiri merupakan prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan, dan juga bisa memiliki arti bahwa rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.[77] Rasionalisme merupakan inti dari pemikiran liberalisme[78] yang saat ini berkembang. Bagi rasionalisme, rasio manusia merupakan penentu segala sesuatu termasuk keberadaan dan cara kerja Allah.

Dalam teologia Kristen, ada banyak pengaruh-pengaruh atau warisan-warisan filsafat yang menyatakan bahwa rasio manusia merupakan ciri khas dan sekaligus wujud nyata keunggulan manusia sebagai gambar dan rupa Allah  sebagaimana Kejadian 1:26 yang membedakannya dari makhluk ciptaan yang lain, sehingga gambar dan rupa Allah dipahami sebagai kemampuan  rasio dari manusia itu sendiri. Mencermati paham yang demikian Arie Jan Plaisier[79] menyatakan keprihatinannya dengan menyatakan bahwa Rasio/pemikiran logis tidaklah sama dengan gambar Allah tetapi hanya bagian saja.

 

  1. Keadaan Rasio Manusia

Sejak manusia jatuh kedalam dosa maka seluruh aspek hidup manusia menjadi tercemar oleh dosa, termasuk di dalamnya adalah rasio dengan segala daya dan orientasinya. Kondisi rasio manusia akhirnya di bawah kuasa dosa (Roma 3:11), sehingga hal itu membuka celah bagi iblis untuk menguasainya dan bahkan membutakannya (2 Kor 4:4). Rasio manusia tidak lagi terisi dengan segala pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, melainkan terisi oleh kesia-siaan (Ef 4:17).

Namun demikian bukan berarti rasio itu tidak dapat dipercaya lagi, atau bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam batas-batas dan kualifikasi tertentu rasio masih dapat dipercaya. Kita tidak boleh beranggapan bahwa pengetahuan itu bersifat konklusif yang tidak dapat dikorekasi lagi, tetapi sebagai keyakinan bagi tujuannya sendiri memiliki pembenaran secara rasional.[80] Rasio merupakan pengetahuan yang memiliki pembenaran dalam penerapannya (untuk tujuannya sendiri).

 

  1. Keterbatasan-Keterbatasan Rasio

Oleh Karena rasio manusia itu sudah tercemari oleh dosa dan berada di bawah kuasa iblis, maka hal itu berdampak pada kemerosotan daya dan upayanya. Rasio tidak dapat lagi diandalkan sebagai suatu tolok ukur yang mutlak dapat dipercaya untuk menemukan suatu kebenaran, oleh sebab itu John Calvin mengatakan bahwa rasio telah dipengaruhi oleh radix cardis yaitu akar hati manusia yang terkorup (Yes 17:9), sehingga rasio manusia tidak mampu menangkap atau melihat wahyu yang sesungguhnya, selain itu rasio sebenarnya menunjukkan ketidak mampuannya untuk menemukan sesuatu yang benar.[81]

Dosa memang telah merusakkan kemampuan rasio manusia, tetapi kelemahan itu sendiri bukan hanya semata-mata disebabkan oleh dosa saja, tetapi perlu dipahami bahwa rasio tidak mampu bekerja dalam diri-nya sendiri, tetapi memerlukan sesuatu yang datang dari luar dirinya sendiri sebagai bahan perbandingan. Rasio hanya mampu mengerti sesuatu melalui perbandingan, mempertentangkan dan menarik kesimpulan, oleh sebab itu bila rasio manusia itu sendiri mau meneliti dan mengenali sesuatu maka titik-titik perbandingan itu harus ditemukan terlebih dahulu.[82] Oleh sebab itu rasio tidaklah independen melainkan dependen atau bergantung pada pengalaman yang dimiliki oleh manusia dalam cara kerjanya dan tidak mampu menjangkau apa yang di luar pengalaman empiris manusia.

Kelemahan-kelemahan rasio semakin terbongkar melalui beberapa temuan-temuan besar dalam bidang science baik oleh Copernicus, Charles Darwin, maupun Sigmund Freud. Akibat temuan-temuan tersebut muncul kesadaran bahwa rasio yang dulu berpijak pada struktur alam semesta yang jelas, tetapi kini dari sudut pandang ruang, rasio telah kehilangan akar dan tempat berpijak,[83] sehingga temuan itu menghancurkan keunggulan yang dimiliki manusia yang mendasarkan diri pada kemampuan rasionya.

 

C. Hubungan Penyataan Allah & Rasio Dalam Berteologi

  1. Penyataan Allah Mengontrol Rasio Manusia

Seluruh kegiatan Teologi ilmiah yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi Eropa dibangun atas dasar asumsi bahwa rasio kritis yang berdisiplin dan dikendalikan oleh hukum-hukum yang berlaku dalam tiap-tiap bidang, inilah yang memiliki wewenang paling tinggi untuk menentukan mana kebenaran dan mana yang bukan kebenaran.[84] Pemahaman seperti ini merupakan warisan dari pandangan para filsuf yang menekankan rasio yang otonom, yaitu pandangan yang berkembang pada abad pencerahan

Mental pencerahan menuntut kebebasan manusia yang sungguh-sungguh merdeka, suatu alam yang otonom dimana fakta diceraikan dari arti sesuangguhnya di dalam Allah…sikap religius ini menghasilkan penilaian yang tinggi akan semua kecakapan manusia, khususnya rasionya sebagai otoritas tertinggi dan patokan yang menentukan kebenaran, rasio dan hanya rasio sajalah yang dianggap mampu dan tepat untuk menilai dunia fenomena dan dunia noumena.[85]

Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh rasio tidak memungkinkan teologi dibangun di atasnya, karena rasio tidak mampu menjangkau sesuatu yang melampaui pengalaman-pengalaman manusia, rasio hanya mampu beroperasi pada tingkatan yang dibatasi oleh kemampuan pengideraan manusiawi, sehingga di luar batasan itu rasio tidak berfungsi atau tidak dapat berbuat apa-apa  sama sekali. Prof DR Eta Linnemann mengatakan bahwa :

Dengan demikian revelation tak dapat dijangkau oleh rasio manusia karena melampaui pengalaman manusia pada umumnya. Rasio selalu bertitik tolak kepada hal-hal yang dapat dialami semua orang pada segala jaman itu berarti rasio yang menilai secara daging dan dari dirinya sendiri sama sekali tidak mampu untuk menilai perkara-perkara rohani.[86]

Kapasitas rasio yang serba terbatas tentu tidak akan mampu menjangkau pengetahuan tentang Allah yang tak terbatas, Penyataan Allah yang seringkali di luar kemampuan penginderaan manusia tidak mungkin bisa dipahami oleh manusia tanpa iman. V. Scheunemann mengatakan “rasio dengan daya tampungnya, daya jangkauannya seharusnya memberi diri dituntun oleh iman, oleh Penyataan Allah[87] pengakuan ini didasari dari satu pernyataan Paulus dalam 2 Korintus 10:5 yang mengatakan bahwa segala pikiran harus ditaklukkan kepada Kristus.

Penolakan teologi terhadap pendewaan rasio tidak berarti bahwa teologi itu sendiri ataupun peranan rasio dalam bidang teologi ditolak, tetapi penyataan harus menempati posisinya terlebih dahulu sehingga rasio bekerja sesuai dengan porsinya. Gene Edward mengatakan

Dalam kotroversi teologis kuno manusia tidak boleh mencoba “memahami supaya dapat percaya”, tetapi seperti yang dinyatakan santo Anselm, “manusia harus percaya supaya dapat memahami” ketika kebenaran Firman Allah diterima dengan iman, setiap butir pengetahuan yang lain akan menemukan tempatnya, seperti kepingan puzzle setelah disusun, atau seperti menemukan anak kunci yang cocok dengan gemboknya.[88]

Dalam teologi, iman harus mengendalikan intelektual manusia melalui Firman Allah. Firman itu mengontrol akal manusia dan rasio harus menempatkan diri di bawah Firman, sehingga ketika muncul keraguan dalam berteologi, maka rasio manusia harus mempertanyakan kemampuannya sendiri bukan meragukan kebenaran dari penyataan tersebut.

 

  1. Rasio Mengolah Penyataan Allah

Kemampuan rasio memang tidak dapat melakukan apapun dalam dirinya sendiri, tetapi rasio yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus sangat membantu dalam teologi sesuai dengan I Yohanes 5:2 bahwa Yesus Kristus (penyataan Allah) telah mengaruniakan pengertian kepada kita (dengan penggunaan rasio secara benar) sehingga rasio memiliki peran penting dalam teologi. Daniel Lukas Lukito mengatakan

secara positif rasio tetap berfungsi untuk mempertanyakan mengapa terdapat fenomena supranatural atau misteri religius dan ia juga dapat berfungsi untuk mengintegrasikan fenomena atau misteri tersebut dengan sejumlah misteri alami lainnya[89]

pernyataan ini mengimplikasikan bahwa rasio memiliki peranan dalam mengolah penyataan Allah, selanjutnya beliau menyumbangkan pikirannya dengan mengatakan bahwa “rasio berhak menginterpretasikan, merumuskan, dan menghubungkan data wahyu natural atau supranatural yang diterimanya”[90].

Kemampuan rasio manusia diperlukan sekali dalam mengolah informasi yang telah disajikan melalui penyataan Allah sehingga informasi (penyataan Allah) tersebut dapat dipahami oleh segala keterbatasan manusia, oleh karena memang Penyataan Allah tersebut dianugerahkan/diwahyukan bukan sebagai sesuatu yang siap saji (ready use).  J.Wentzel Van Huyssteen mengatakan

maka kita dapat melihat hierarki pengolahan informasi dan juga hierarki pengolahan kognisi dalam dunia hidup, dan karena itu pengetahuan rasional manusia tampaknya menjadi tipe pengolahan informasi paling canggih yang kepadanya kita memiliki akses.[91]

Meskipun pernyataan ini tidak sepenuhnya dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (tipe pengolahan yang paling canggih), tetapi kita perlu menyadari bahwa Allah terus menerangi, menyingkapkan dan membuat kemampuan rasio manusia (orang percaya) bekerja secara benar sesuai dengan prinsip dan maksud Allah sendiri, bukan berdasarkan kemauan manusiawi sang teolog atau kemampuan/kehebatan rasio manusia itu sendiri.

 

  1. Penyataan Allah Berkoneksi Dengan Rasio

Dari penjabaran sebelumnya, kita menemukan suatu informasi penting tentang hubungan yang sangat erat antara penyataan Allah dengan rasio manusia dalam berteologi. Kita memang tidak bisa memungkiri bahwa rasio sangat diperlukan, karena berteologi sendiri merupakan suatu proses berfikir dengan suatu harapan bahwa melaluinya kita  diyakinkan dengan cara yang  rasional, meskipun kadang pemikiran manusia itu sendiri melanggar keagungan Allah dan penyataan-Nya yang melebihi atau di atas segala kemampuan konseptual manusia seperti yang diungkapkan oleh Pannenberg berikut ini.

The relationship between faith and reason has been a problem since the beginning in Christian Theology. On one hand, theology is itself a process of thought and one must hope that it is persued in a rational manner. On the other hand, however “reason” as commonly understood, can scarcely have the last word in theology without violating the exaltedness of reality of God and His revelation above all human conceptualization.[92]

Sehingga antara rasio dan penyataan Allah, masing-masing harus ditempatkan pada porsinya masing-masing, tanpa pemisahan sama sekali, atau dengan istilah lain antara wahyu dan rasio manusia saling berhubungan dan berkoneksi secara dekat tanpa harus dipisahkan, karena apa yang terdapat pada rasiopun terdapat penyataan Allah secara umum dalam porsi tertentu.[93] Sehingga rasio manusia sebagai bagian dari penyataan umum Allah perlu dipakai secara optimal dalam menjelaskan dan mengarahkan pemahaman/pemikiran manusia kepada penyataan khusus.

 

 

D. KESIMPULAN

Rasio manusia dan penyataan Allah merupakan dua aspek penting dalam suatu pekerjaan Teologi (rasio di pihak manusia, dan Penyataan dari pihak Allah). Polemik akan segera muncul ketika kita akan menyusun suatu rumusan teologi, dari mana seharusnya kita akan memulai pekerjaan ini, sebagaimana hal itu terjadi sejak permulaan perkembangan Teologi. Pemikiran bahwa bagaimanakah kita harus berteologi ? bagaimanakah seharusnya peran rasio dan Penyataan Allah dalam membangun suatu teologi yang Alkitabiah ? juga merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membuat semakin peliknya permasalahan ini.  Banyak Teolog yang berpendapat bahwa rasio merupakan kunci utama dalam berteologi karena pada hakekatnya teologi merupakan suatu proses berpikir dengan rasio, sehingga segala penyataan Allah ditundukkan oleh rasio, namun tidak sedikit pula Teolog yang terus berjuang mempertahankan keyakinan bahwa Teologi tidak mungkin dibangun atas dasar rasio manusia, karena pada hakekatnya rasio manusia sangat terbatas dan tidak mampu bekerja di luar pengalaman manusia itu sendiri, padahal Allah dan Penyataan-Nya memiliki dua dimensi yaitu natural dan supranatural yang tidak mungkin dipahami oleh manusia.

Berdasarkan pada beberapa pertimbangan kekuatan dan kelemahan pada rasio, sifat dan hakekat dari Penyataan Allah, maka kita akan menemukan suatu jalan keluar bahwa dalam berteologi rasio harus bersedia dikontrol dan diletakkan di bawah penyataan, karena teologi tidaklah mungkin dibangun di atas pondasi yang rapuh dan penuh dengan keterbatasan karena hal itu akan menciptakan suatu teologi yang sifatnya relatif, rasio (yang telah diperbaharui oleh Roh Kudus) memang tetap diperlukan untuk mengolah informasi yang disampaikan melalui penyataan Allah sehingga manusia mampu menginterpretasikan merumuskan, dan menghubungkan data wahyu natural atau supranatural yang diterimanya.

Dari penjelasan tersebut kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa rasio diperlukan dalam berteologi, tetapi tetap dalam porsinya sesuai dengan kapasitasnya, demikian pula Penyataan Allah terlebih penting sebagai informasi terlengkap yang Allah sendiri sampaikan kepada manusia.

 

 

 

 



[1] Hal senada juga diungkapkan oleh Charles C Ryrie dalam bukunya Teologi DasarI ,hlm.1

[2] RC Sproul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, (Malang : SAAT, 2002)hlm.ix-x

[3] Yohanes Calvin, Instituo pengajaran Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2000),hlm.7

[4] Kenneth G Howkins, The Challenge of Religious Studies, (London : Tyndale Press, 1972),p.5

[6] JH Bavink, An introduction To The Science Of Mission, (New Jersey : Persbyterian & Reformed Publishing,Co, 1960),p.160

[7] John H.Leith, Introduction to The Reform Tradition, (Atlanta : John Knox Press, 1981),P.91

[8] Millard J.Erickson, Christian Theology, (Grand Rapid : Baker, 1983)p.21

[9] Harun Hadiwiyono dlm bukunya Teologi Reformatoris abad ke 20,  mengatakan bahwa meskipun ada persamaan antara teologi dengan ilmu lainnya, yaitu sama-sama dilakukan secara ilmiah namun dalam teologi tidak ada obyek penelitian yang konkret seperti halnya ilmu yang lain, sebab Allah tidak bisa dijadikan sasaran penelitian manusia.

[10] Peter Lewis juga menjelaskan hal tersebut dalam bukunya The Message of The Living God (London : Inter Varsity Press, 2000,p.17) “John Calvin does not begin his Institutes by speaking of the existence of God but of the knowledge of Him. He doesn’t by asking does God exist? But how can God be known? Calvin insist  that we know God only because he let’s himself  be known and furthermore, that we known him properly only from within a relationship of humility, worship and love

[11] Penjabaran ini merupakan rangkuman dari Introducing Christian Doctrine P.16  yang kemudian dikembangkan lagi oleh penyusun

[12] Bandingkan dengan tulisan dari Dr. Stevri Lumintang dalam Theologia & Misiologia Reformed : menuju kepada pemikiran Reformed & menjawab Keberatan, (Batu : Dep Lit PPII, 2006),hlm.42

[13] T Desmond Alexander, New Dictionary of  Biblical Theology, (USA : Intervarsity Press, 2000).p.3

[14] Harun Hadiwiyono, Teologi Reformatoris Abad Ke 20, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999)hlm.ix

[15] Bandingkan dengan tulisan Togardo Siburian yang berjudul Kontekstualisasi Teologi Injili Dan Proposal Reformed, halaman 19-42  Dalam Jurnal Teologi STULOS Vol 5.no.1 Juni 2006 yang diterbitkan oleh STT Bandung

[16] Pembahasan lebih lanjut akan dibahas dalam bagian tersendiri di bagian akhir diktat

[17] Kenneth G Howkins, The Challenge of Religious Studies,p.12

[18] Hendra Gunawan Mulia, Gereja, Teologi dan Pertumbuhan Rohani (dalam Jurnal Amanat Agung Vol 2no1), 2006,hlm.153

[19] Alister McGrath, Studies in Doctrine, (Grand Rapid : Zondervan, 1990),p.1

[20] hal itu juga selaras dengan apa yang diungkapkan oleh J.I.Packer bahwa “Christian theology is not just for in house consumtion, it must ever be used to persuade the world” (John B.Stackhouse, Evangelical Futures : A Conversation on Theological Method, Grand Rapid : Bakker Books, 2000,p.188)

[21] Peter Lewis, The Message of The Living God, (London : IVP, 2000),p.17.

[22] Team,  The Ensiclopedia Americana International Edition Vol 26, ( Connecticut : Grolier Incorporated, 1985),p.633

[23] Philip Wesley Comfort, The Quest for The Original Text,  (Grand Rapid : Baker Book House, 1992).

[24] Robert Morey, Trinity..,p.21

[25] Robert Morey, Trinity…,p.23

[26] Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament, dalam Bibliotecha Sacra vol 110, (Texas : Dallas Theological Seminary,1953)p.320

[27] Philip Schaff, Histori Of Christian Church,vol.8 3rd rev.ed, (grand Rapid : Eerdemans, 1960),p.524-525

[28] A.Berkeley Mickelsen, Interpreting The Bible,(Granf Rapids :Eerdemans,1963),p.39

[29] Donald G Bloesch, The Evangelical Rennaissance, (London : Hodder and Stoughton, 1974),p.55

[30] Charles Hodge, Systematic Theology Abridged Edition, (Grand Rapid : Bakker Book House, 1992) P.24

[31] Namun demikian ada juga perbedaan di antara keduanya, yaitu jikalau ilmuwan cabang ilmu yang lain harus menemukan terlebih dahulu fakta atau fenomena yang terdapat dalam alam semesta kemudian bekerja keras melakukan penelitian untuk memastikan sebuah hukum yang telah dipelajarinya, beda halnya dengan seorang teolog, kebenaran-kebenaran sudah ada terdapat dalam Alkitab.

[32] Charles Hodge, Systematic Theology Abridged Edition, ibid

[33] Charles Hodge, Systematic Theology,p.106

[34] G.I.Williamson, Katekismus Singkat Westminster 1, (Surabaya : Penerbit Momentum, 1999),Hlm.16

[35] Keterangan lebih lanjut baca di bagian Hubungan Rasio dan Penyataan Allah dalam berteologi.

[36] John F.Walvoord, Roy B.Zuck, The Blible Knowledge Commentary : An Exposition Of Scriptures by Dallas Seminary Faculty Old Testament, (USA :Victor Books, 1985),p.29

[37] Ibid,p.30

[38] Alban Douglas, One Hundred Bible Lessons, (Manila : OMF Publishres, 1983),p.7

[39] Harry Blamires, The Christian Mind : Mengenal Wawasan Kristen, (Surabaya : Momentum, 2004),hlm.3

[40] Kekekalan merupakan orientasi dari seluruh wawasan supranatural Kristen. Sebagai bacaan referensi lihat Jacques Barzun dlm The House of Intelect, Vance Packard dlm The Hidden Persuaders dan The status Seekers.

[41] Han Chul Ha, ACTS Theological Journal, vol.1 (Seoul : ACTS,1984),p.2

[42] Robert Morey, The Trinity. Evidence and Issues, (Grand Rapid: World Publishing, 1996),p.vii

[43] John F Walfoord, Roy B.Zuck, The Bible Knowledge of New Testament Commentary, (USA : Victor Book, 1983),p.740

[44] Robert A.Traina, Methodical Bible Study, (USA : Asbury Theological Seminary, 1952),P.5

[45] dari kata Latin a (dari) dan prior (yang mendahului) metode ini berkenaan dengan pengetahuan yang dicapai sebelum dan tidak bergantung pada pengalaman, yaitu berkenaan dengan konsep-konsep seperti : niscaya, deduktif,benar secara universal, ide bawaan dan intuitif.

[46] Dari kata Latin a (dari) posteriori (yang kemudian), kata ini dipakai berkenaan dengan pengetahuan yang bersumber pada pengalaman empiris, yaitu berkenaan dengan konsep-konsep seperti : empiris, ilmiah, induksi, dapat diverifikasi, sintesis.

[47] Charles Hodge, Systematic Theology, P.25. ia menjelaskan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri yang berbeda-beda sesuai dengan bidang kajiannya, namun secara garis besar bisa dibedakan hanya melalui dua model yaitu a priori dan a posteriori, yang satu dari sebab kepada akibat, dan yang lainnya dari akibat kepada sebab.

[48] Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament,dalam Bibliotheca Sacra vol.109, (Texas : Dallas Theological Seminary, 1953)p.233

[49] Metode itu dikembangkan berdasarkan basic pemikiran filsafat-filsafat yang berkembang pada masa-masa tertentu, yang sebagian besar justru menjadi tantangan terbesar bagi teologi Kristen.

[50] Penjabaran pokok ini sebagian besar diambil langsung dari tulisan Norman Geisler dalam bukunya Christian Apologetic.

[51] Istilah bahasa Indonesianya adalah kodrat, sifat, dan tabiat. Nature menunjukkan kepada totalitas semua kualitas esensial yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagaimana adanya dia. Nature ialah suatu substansi yang dimiliki secara umum dengan seluruh kualitas yang esensial dari substansi tersebut. Nature manusia ialah semua hal yang menjadikan dia sebagai kelas manusia.

[52] Norman Geisler, Chrtistian Apologetics, (Michigan : Bakker Book House, 1982) P.16.

[53] untuk informasi lebih lanjut baca bagian tentang hubungan rasio dan penyataan Allah.

[54] Eta Linemann, Teologi Kontemporer, (Batu : Departemen Literatur YPPII, 1991), hlm.28

[55] ibid.29

[56] Metode induksi merupakan metode mendapatkan pengetahuan dimana bertolak dari kasus-kasus khusus orang berusaha menghasilkan pengetahuan yang umum. Melalui beberapa contoh khusus orang menarik kesimpulan atau hokum umum yang juga berlaku bagi kasus-kasus lain yang belum diselidiki. Metode induksi ini sepenuhnya bergantuk pada pengetahuan inderawi.

[57] Diterjemahkan langsung dari Robert Morey dlm Trinity : Evidence and Issues,p.4

[58] Atau oleh banyak teolog masa kini sering disebut sebagai sumber-sumber teologi yang sekunder

[59] Charles Hodge mengungkapkan hal itu melalui suatu presuposisi bahwa  áll the truths taught by constitution of our nature or by religius experience are recognized and uathenticacet in the scriptures. This is a safeguard and a limit. We cannot assume this or that principle to be intuitively true, or this or that conclusion to be demonstrably certain, and make it a standard to which the bible must conform. What is self evidently true must be proved to be so, and is always recognized in the Bible true. P.30

[60] J.H Leith, Introduction to The Reform Tradition (Atlanta : John Knox, 1977),p.101

[61] Robert Morey,p.xii

[62] Stanley Grenz, Revisioning Evangelical Theology: a Fresh Agenda for The Twentieth Century, (Downer Grove : IVP, 1993)

[63] Stanley Grenz, Revisioning…, p.18

[64] Atau dapat kita sebut sebagai  presupposisi. Dalam teologi, presupposisi sangat penting karena akan mengarahkan kita untuk menetapkan tujuan yang hendak kita capai, Alan Richardson dalam In The Bible In The Age of Science (SCM,1961 p.98) menuliskan “the presupposition which the investigator brings to his scientific study of the bible determines what he will find there” .

[65] Cornelius Van Til, The Defense Of The Faith, (Philadelphia : The Presbyterian And Reformed Pumblishing Company, 1955),p.71

[66] Christian Sulistio, Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan, (Malang : SAAT, 2004),hlm.156

[67] Iswara Rintis, Jurnal PASTI vol 1,no:1 : Kembali Kepada Asas Pendidikan Teologi Sola Scriptura, (Jakarta : PASTI,2007),hlm.86.

[68] Team Penyusun, Ensiklopedia Americana International, (USA :Grolier Incorporated, 1985),P.268

[69] Colin Brown, Philosophy and The Christian Faith, (London : Tyndale Press, 1969),P.51

[70] Ibid.50

[71] ibid.49

[72] V.Schunemann, Apa Kata Alkitab Tentang Dogma Kristen, (Malang:YPPII,1988), Hlm.18

[73] Millard J.Ericson, Teologi Kristen 1, (Malang : Gandum Mas, 1999),Hlm.194

[74] Henry C.Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang : Gandum Mas, 1992),hlm11

[75] Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, (Surabaya :Momentum, 2000),h.128

[76] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002),hlm.925

[77]Loren ibid, hlm.929

[78] Yakub B.Susabda, Teologi Modern I, (Jakarta : LRII, 1990),Hlm.42

[79] Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999,Hlm.16

[80] Arthur F.Holmes, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, (Surabaya : Momentum, 2000)Hlm.146

[81] Daniel Lucas Lukito, Pengantar Teologi Kristen I, (Bandung:Yayasan Kalam Hidup,t.t)Hlm.60

[82] Eta Linnemann, Teologi Kontemporer,Ilmu atau Praduga, (Malang : Institut Injil Indonesia,1991)hlm.168

[83] Arie Jan Plaisier, Op Cit,Hlm.18.

[84] Eta Linemann, Op Cit, hlm.167

[85] Harvie M.Conn, Teologia Kontemporer,(Malang :SAAT, 1988)hlm.17

[86] Eta,Op Cit,.h.168

[87] V.Scheunemann, Op Cit,hlm.

[88] Gene Edward Veith,Jr, Dengan Segenap Akal Budi, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003),hlm.126

[89] Daniel Lukas Lukito, Pengantar Teologi Kristen I, (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, t.t),hlm.61

[90] Ibid, hlm.62

[91] J.Wentzel Van Huyssteen, Teologi dan Sains Dalam Dunia Post Modern, Duet atau Duel ?, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002),hlm.120

[92] Wolfhart Pannenberg, Basic Questions in Theology, Volume 2, (London : SCM Press LTD, 1971).P.46

[93] Daniel Lucas Lukito, op cit,hlm.62

[94] Joseph Tong, Jurnal Teologi Stulos : Katholiksitas Dan Kontektualitas Gereja Dalam Hermeneutika, (Bandung : STT Bandung, 2006),hlm.4

[95] Luther pernah berkata “I simply read, teach and preach  the word, I did nothing but God do everything”

[96] Sebagai bahan pembanding bdg, David J.Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004

[97] Donald G.Bloesch, Essentials Of  Evangelical Theology, 2 vols.(San Fransisco: Herper, 1978),p.1-4

[98] Togardo Siburian, Op cit,hlm.19

[99] Charles H.Kraft, Christianity In Culture : A Study in Dynamic Biblical Theologizing in Cross Cultural Perspective, (New York : Orbis Book, 1979),p.291

[100] Robert McAfee Brown, The Rootedness of All Theology : Christianity in Crisis, (n.p : n.p, 1977),p.170

[102] David L.Smith,  A Handbook Of Contemporary Theology : Tracing Trends & Discerning Directions In Today’s Theological Landscape, ( USA : A Bridgepoint Book,1992),p.11

[103] Harun Hadiwiyono, Teologi Reformasi..., hlm.165.

[104] Liem Khiem Yang, Fundamentalisme Dalam Gereja, bagian dari buku yang berjudul Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1992),hlm.18

[106] dikutip dari Stephen Tong, Siapakah Kaum Injili Sejati ? dalam Holistic Global Mission : Kepeloporan Petrus Octavianus Dalam Gerakan Misi Sedunia, (Batu : Departemen Literatur YPPII, 2007),hlm.252-259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...