Rabu, 05 Mei 2021

Tak Mungkin Tanpa Sesamaku

 

Identitas Buku :

1.     Judul Buku             : Tak Mungkin Tanpa Sesamaku

2.     Penulis                    : J.Wesley Ariarajah

3.     Penerbit                  : BPK Gunung Mulia

4.     Tahun Terbit          :

5.     Jumlah Halaman    : 140 hal

 

Garis Besar Isi :

Buku ini secara umum menggambarkan tentang kondisi kehidupan beragama di dunia yang sangat majemuk dengan segala konsekuensi dan problematikanya yang rumit. Penulis berupaya memahami fenomena ini dari perspektif  kekristenan baik dalam tataran praktis, maupun filosofis teologisnya tanpa mengabaikan aspek sosiokulturalnya. Tulisan ini menekankan upaya-upaya yang dilakukan beberapa tokoh atau pemerhati lintas agama secara khusus Dewan Geraja Dunia (DGD) melalui wacana dialog antar agama guna menemukan sebuah landasan untuk membangun sebuah kehidupan bersama yang toleran dan saling menghormati keberagaman, serta saling menikmati pengalaman religiusitas dari berbagai perspektif agama.

Penulis mencermati bahwa dialog masih ada harapan dalam mewujudkan kedamaian, meskipun sampai saat ini masih juga terjadi keprihatinan social, spiritual, social politik, praktis maupun teologis. Dalam buku ini terungkap sebuah refleksi kritis penulis terhadap pengalaman kehidupan pribadi bersama masyarakat yang majemuk, sekaligus rfelksi terhadap pengalaman dialogis antar agama yang tak kunjung memberikan solusi yang terbaik, namun setidaknya tulisan ini dapat mengantarkan pembaca kepada suatu perenungan pada sat kekristenan harus berhadapan dengan penganut agama lain dalam sebuah kehidupan social maupun dialog.

Bagian pertama buku mengungkap sebuah pengalaman hidup penulis dalam pluralitas masyarakat yang secara simultan membentuk bukan hanya mengalaman keagamaan yang sangat kaya, namun juga paradigm dalam mencermati segala bentuk ketegangan yang ditimbulkan oleh factor agama. Bab ini juga penulis mengungkap dilemma spiritual yang sering dihadapi oleh kekristenan yaitu konteks hidup yang menuntut toleransi dan harus diperhadapkan dengan tugas kekristenan berkaitan dengan misi Kristen yang seolah radikal dan militant.

Bagian kedua membahas masalah dialog dan beberapa konflik yang mengatasnamakan agama merupakan suatu bentuk ketidak selarasan, ketegangan dan konflik terbuka dan bagaimana DGD berupaya mengatasi masalah ini melalui dialog. Pertanyaan-pertanyaan refletif berupaya diungkap tentang batasan-batasan dialog dan kapankah dialog harus diakhiri, penulis mengulasnya dari perspektif yang sangat berbeda dalam menemukan sebuah solusi terbaik.

Bab tiga berisi pembahasan tentang keterkaitan dialog dengan spiritualitas keagamaan. Penulis menelanjangi beberapa pemikiran yang menjadi penghambat solidaritas dan spiritualitas bersama, baik itu perihal pemahaman yang sempit tentang masalah teologis, alkitabiah, liturgis, cultural maupun psikologis. Dalam bagian ini pula menulis berusaha memberikan beberapa kesaksian tentang pengalaman yang memperkaya dimensi spiritualitas yang ditemukan dalam ritus agama lain, dan juga sebaliknya.

Bab empat, penulis secara khusus menyajikan sebuah pembahasan yang selama ini diabaikan oleh kebanyakan orang yaitu keterlibatan kaum perempuan, yang disebutnya sebagai dimensi yang terhilang. Dalam pembahasan ini banyak hal diungkapkan termasuk alasan-alasan mengapa dialog harus berubah secara radikal, karena bagi penulis dialog bukan hanya harus dilakukan pada tingkat elit, namun harus sampai pada tingkatan akar rumput (grassroot). Keterbukaan terhadap ide-ide baru juga tak dapat diabaikan.

Bagian lima membahas berbagai masalah sosiopolitik dan kredibilitas dialog, mengungkapkan beberapa kritik tentang kredibiliitas dialog yang sangat mengganggu penulis sehingga dialog tidak akan dapat memberikan solusi apa-apa. Keraguan terhadap kredibilitas dialog bagi penulis merupakan keraguan terhadap segala hal, baik itu tujuan, komitmen, maupun keraguan terhadap mitra dialog.

Bagian enam mengungkapkan sebuah studi kasus yang selama ini tidak mendapat perhatian dan solusi terbaik, yaitu pernikahan antar agama. Penulis mencermati bahwa agama tidak melakukan apapun yang berarti  terhadap masalah ini sehingga kasus seperti ini terus menjadi polemic berkepanjangan dan tak kunjung terselesaikan baik secara teologis, sosiokultural, politis maupun secara hokum. Penulis menawarkan beberapa alternative pemikiran dalam menangani masalah ini dari berbagai dimensi baik itu dimensi pastoral, kesadaran social tentang realitas yang baru, dan dimensi teologisnya.

Bagian terakhir memaparkan dilematika kekristenan (dan tentu juga hamper semua agama kecuali agama tradisional)  dimana disatu sisi berperan sebagai agama yang missioner harus terus mengabarkan misinya, namun di sisi lain kehidupan social menuntut adanya dialog untuk mewujudkan toleransi dan kehidupan bersama yang rukun. Kedua hal ini sulit dipertemukan sehingga ketegangan tak kunjung diredakan dengan usaha apapun. Bagian ini juga membahas krisis tentang teologi pluralitas dalam kekristenan yang berdampak pada kesulitan untuk beradaptasi  dalam masyarakat majemuk, sekaligus mengembangkan misinya.

 

Tanggapan :

Meskipun sebagian besar tokoh Injili Indonesia menuduh bahwa penulis buku ini sebagai tokoh pluralism yang pandangannya sangat berbahaya bagi kemurnian prinsip fundamental kekristenan, namun sebenarnya kita memiliki beberapa bukti bahwa penulis sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kaum inklusif Kristen saja, hal ini tercermin ketika ia mengungkapkan pernyataan berikut “Walaupun saya selalu “memberitakan injil (apalagi yang bisa kita katakan kalo berbicara tentang tema natal dan paskah?)” (hlm28). Penulis menyadari dan mempercayai betul kebenaran konsep keselamatan dalam kekristenan, meskipun ia sendiri hanya bisa membagikannya kepada orang lain tanpa melakukan upaya persuasi[1] melainkan lebih mengedepankan sikap menghargai keberbedaan dan pengalaman keagamaan orang lain. Penulis meskipun tidak yakin ada keselamatan dalam agama lain, namun dalam konteks kehidupan social, toleransi menurutnya harus mendapat perhatian yang seharusnya “memang dalam arti tertentu saya tidak dapat mengatakan apakah dalam agama Hindu ada keselamatan atau tidak.pengalaman saya tentang Allah berakar dalam Kristus. Namun berbarengan dengan itu saya tidak mungkin harus mengabaikan kesaksian sesama…kesaksian Hindu dan muslim harus menjadi bagian dari data teologis saya. Tanpa mereka saya tidak dapat berfikir secara teologis dalam dunia majemuk ini” (hlm.133) konsep berfikir penulis sebenarnya terlalu bebas sampai-sampai harus mengesampingkan tugas pokok kekristenan yaitu memberitakan dan berupaya meyakinkan orang lain akan keselamatan di dalam Kristus. Di sisi lain tidak dapat kita pungkiri bahwa penulis memberikan suatu kontribusi pemahaman yang baik kepada  pembaca bahwa kebenaran yang ada dalam agama dan pengalaman keagamaan orang lain merupakan pancaran kebenaran Tuhan juga (all truth is God truth) meskipun dalam kapasitas tertentu, sekaligus sebagai pernyataan umum Allah yang berguna sebagai bahan pertimbangan dalam berteologia namun hendaknya pembaca waspada karena jika kita membangun sebuah teologia dengan didasarkan pada sikap inklusifitas yang cenderung pluralism maka kita akan kehilangan fundamentalisme, karakteristik, serta keistimewaan teologia agama kita. Demikian juga terhadap sikap toleransi yang terlalu berlebihan justru menjadikan kita menjadi umat beragama yang tidak peduli terhadap orang lain bahkan mengabaikan esensi dari agama kita sendiri.

            Berkaitan dengan alternative solusi melalui dialog yang ditawarkan oleh penulis terhadap kecenderungan sikap ekslusivisme, fanatisme, serta radikalisme umat beragama serta upaya mempolitisasi agama[2] yang mematik konflik social (hlm.15), memang harus kita sambut secara positif demi kehidupan social yang damai. Dialog mungkin untuk saat ini solusi yang terbaik karena bagi penulis “dialog adalah suatu usaha membantu umat untuk memahami dan menerima yang lain dalam keberlainan mereka. Dialog adalah usaha membuat orang-orang merasa nyaman berada ‘di rumah” dengan kemajemukan, membangun rasa saling menghargai dalam keanekaragaman dan mengusahakan agar berbagai hubungan itu dapat mempersatukan mereka saat seluruh umat terancam oleh kekuatan-kekuatan yang memisahkan dan anarkis” (hlm 14)

Penulis memberikan konsep dialog yang baik dari perspektif teologis, maupun social politik dan hokum dengan mengungkapkan bahwa “dialog bukan berarti bahwa umat atau individu menghentikan usaha hukumnya untuk mencari keadilan saat hak-hak mereka dilanggar oleh pihak lain, bukan juga berarti seseorang tak boleh melakukan protes terhadap mereka yang melakukan kekerasan terhadap suatu kelompok. Dialog bukan himbauan untuk menderita demi perdamaian dan kerukunan …melainkan menyelami masalah dalam perspektif solusi”(hlm.22). konsep ini pada hakikatnya membukakan sebuah paradigma yang baru bagi kita tentang hakikat dialog yang sejati dan murni.

Beberapa pemikiran penulis yang seharusnya kita harus waspadai adalah berkaitan dengan kecenderungannya membuka ruang seluas-luasnya bagi kekristenan untuk mencoba mempraktikan system keagamaan dari agama lain, yang sesungguhnya ini seumpama kita membuka celah agar kuasa lain mengambil bagian dan bahkan menguasai system keagamaan kita. Penulis mengungkapkan bahwa “Disiplin spiritual atau praktik spiritual yang mereka temukan dalam berbagai agama lain cukup menarik untuk diketahui, misalnya bahwa walaupun meditasi telah merupakan bagian dari tradisi gereja, banyak umat Kristen melirik ke berbagai teknik untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan yang ada dalam agama Budha dan Hindu”(hlm.45). keterbukaan ini yang menyebabkan “Gerakan Zaman Baru” atau New Age Movement” dengan begitu leluasa meracuni Gereja dengan konsep spiritualitas tanpa religiusitas yang berakar pada monism humanism yang sangat membahayakan gereja pada masa kini. Gerakan zaman baru secara bebas tanpa hambatan atau rintangan menaburkan benih-benih lalang karena Gereja membuka seluas-luasnya pintu bagi masuknya penyesatan melalui kegandrungan manusia terhadap spiritisme yang kemudian diakomodasi oleh gerakan ini dengan menawarkan upaya pencarian spiritisme di luar Tuhan. Di sisi lain gerakan zaman baru ini akan menanamkan konsepnya tentang relativisme[3] kepada orang percaya sehingga menjadikan mereka tidak lagi mengakui kewibaan kitab suci, tidak peduli terhadap pengajaran fundamental agama bahkan menganggap dirinya sendiri sebagai tolok ukur atas segala hal.

 

 

 



[1] Dalam konsep penginjilan biasanya dikenal tiga langkah pokok, yaitu presensi, presentasi injil, dan persuasi. Persuasi adalah upaya untuk meyakinkan seseorang akan kebenaran Injil sehingga orang tersebut dituntun untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat pribadi. Konsep penginjilan ini menjadi karakteristik dari pemahaman kekristenan yang ekslusif.

[2] Menjadikan agama sebagai ideology Negara, agama difungsikan sebagai kendaraan untuk mendapatkan pengaruh secara politis, menggunakan agama untuk mempertahankan kekuasaan, serta memanfaatkan loyalitas keagamaan orang lain untuk memecahbelah, dan berbagai bentuk penyimpangan yang lain.

[3] “relativism is foundational in new age philosophy. There are no absolutes either in truth or morality. What is true or right for one persons not necesseraly so for another…..moraly, situation ethics rules new ages thingking. What is right is what best for me. Nothing is right or wrong in itself. It may hurt you, but if it pleases me or feels good to me, then it is right for me”  David L.Smith, A Handbook Of Contemporary Theology : Tracing Trends & Discerning Directions In Today’s Theological Landscape, ( USA : A Bridgepoint Book,1992) p.278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...