Rabu, 05 Mei 2021

Teologia Misi

 

Identitas Buku :

Judul Buku          : Teologi Misi : Misi di Abad Postmodernisme, Tantangan Autensitas Injil di 

                               Abad Posmo

Penulis                : A.Naftalino

Penerbit                : Logos Heaven Light Publicizing

Tahun Terbit        : 2010

Jumlah Halaman  : 178 halaman

 

Garis Besar Isi Buku :

Secara umum buku ini mengupas tentang hal ikwal atau hakikat misi, baik dalam dimensi pengertian, substansi, perkembangan secara historis, maupun dalam tataran praktisnya, tidak lupa juga penulis mengamati beberapa tantangan yang sedang dihadapi oleh misi Kristen di era postmodern ini, baik dalam konteks global, maupun local Indonesia.

Secara garis besar buku ini dibagi menjadi tiga pokok pembahasan seperti berikut ini :

Bagian Pertama, pembahasan difokuskan untuk memberikan sebuah deskripsi yang tepat berkaitan dengan hakikat misi dan perpektif alkitabiahnya. Pada bagian ini kupasan mendalam mengenai misi dari perpektif teologisnya dipaparkan secara kritis dan lugas, serta bagaimana misi itu sendiri bergerak secara progresif dari kepedulian Allah terhadap kondisi manusia yang telah jatuh dalam keberdosaan sehingga penulis berkesimpulan bahwa hakikat misi adalah kepedulian Allah yang berimplikasi terhadap pemberitaan tentang kepedulian tersebut kepada seluruh dunia.

Bagian kedua, penulis mengarahkan pembahasan pada perkembangan misi dari masa-ke masa atau gerak progresif misi berdasarkan konteks zaman. Pemaparan yang secara historis bergerak secara linear dari konteks misi dalam perjanjian lama yang berfokus pada sejarah Israel serta karakteristik dan keistimewaannya di hadapan Allah serta pola hubungannya dengan bangsa lain terus bergerak memasuki era perjanjian baru, dimana misi itu sendiri mendapat sebuah penegasan dan legitimasi hokum melalui amanat agung Tuhan Yesus. Selanjutnya misi didelegasikan oleh Yesus kepada para rasul yang menjadikan misi itu semakin jelas dan terorganisir secara baik sampai pada era bapa Gereja serta bagaimana Gereja terus menghadapi tantangan-tantangan yang semakin komplek. Pengaruh kekuasaan/politik, perkembangan spiritualitas/keagamaan, filsafat dan kebudayaan juga turut mewarnai dinamika misi Kristen dikupas dalam bagian akhir bagian kedua ini.

Bagian ketiga, lebih menyoroti perkembangan dan tantangan misi di era yang baru saat ini dengan daya pesonanya yang berupaya mengaburkan hakikat misi ke dalam berbagai-bagai bentuk kesesatan sebagaimana Gereja masa kini juga banyak yang telah terjerat pada sebuah paradigm yang seharusnya menjadikan kekristenan sebagai organisme yang hidup dinamis dan terus bergerak progresif menjadi sebuah lembaga yang senang tinggal dalam kemapanan dan pada zona nyaman. Posmodernisme dengan holistisitasnya berupaya menyimpangkan motif dan substansi misi pada isu-isu atau permasalahan dunia yang lebih actual.

 

Tanggapan :

Buku ini merupakan sebuah studi yang sangat baik dalam melengkapi referensi pemahaman tentang misiologi kita. Penulis secara sistematis memberikan sebuah penjabaran yang lebih menonjolkan aspek historis dari perkembangan pemikiran dan praktek misi sepanjang sejarah peradaban manusia sampai masa postmodern saat ini, sehingga kita dapat memahami dinamika konsep dan praktik misi yang seharusnya juga kita dapat menemukan sebuah formulasi pemikiran yang sekiranya dapat menjadi sumbangsih bagi perkembangan misi di Indonesia.

Dari perspektif teologis pada dasarnya penulis membangun sebuah landasan teologis misi  yang dimulai dari peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa, namun sepertinya peristiwa atau tragedy yang menimpa Habel justru menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis sehingga pembahasan lebih terarah pada peristiwa tersebut dari pada kisah dimana Allah menyelesaikan masalah Adam dan Hawa saat mereka ada dalam situasi krisis, padahal pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa misi merupakan kepedulian Allah terhadap umatNya (hal 22) di sinilah terdapat ketidak seimbangan berfikir yang seharusnya dapat dihindari. Demikian juga ketika penulis mengemukakan sebuah teori yang menyatakan bahwa era Yosua merupakan era yang mentalitas berperang dan melakukan invasi dari bangsa-bangsa untuk menyatakan identitas diri maupun identitas kesukuan/kebangsaan yang unggul mencapai puncak, intensitas yang lebih luas (hal.35) dibanding era-era yang lain sebenarnya adalah sebuah kesimpulan yang sangat premature karena sepanjang sejarah peradaban manusia tingkat permasalahan ini terus mengalami progresifitas dan metamorfosa yang terus diselubungi dengan bentuk-bentuk yang sangat variatif sehingga tugas misi tentu semakin majemuk dan kompleks sekali.

Pada era intertestamental saat Allah seolah-olah tidak menyatakan dirinya sama sekali baik melalui nabi, imam atau bentuk lain, namun penulis berkesimpulan bahwa Allah tetap bekerja menanamkan nilai misi kepada bangsa Israel sebagai pusat dari misi itu sendiri (hal.38) dengan cara menjadikan Israel sebagai obyek misi agar mereka bertobat sehingga Allah bekerja melalui penindasan oleh bangsa lain. Di sinilah kita dapat mencermati bahwa penulis lupa bahwa di era itu Allah lebih lagi giat bekerja dalam mempersiapkan misiNya bagi seluruh bangsa di dunia. Di era intertestamen itu selain Allah bekerja melalui Israel, Ia juga bekerja melalui dua bangsa besar lainnya

1.     Bangsa Romawi dipakai oleh Allah untuk menciptakan suasana yang relative damai meskipun diupayakan melalui invasi kepada bangsa lain. Suasana yang demikian memungkinkan dibangunnya segala infrastruktur seperti jalan raya, pelabuhan, dan jembatan yang kelak dipersiapkan untuk menyongsong kelahiran Yesus dan proses penyebaran Injil oleh para rasul dan jemaat mula-mula. Selain itu bidang hokum dan filsafat yang dibawa oleh Romawi sangat berguna dalam proses penulisan kitab-kitab PB.

2.     Bangsa Yunani, dipakai oleh Allah melalui kepemimpinan Aleksander Agung dapat mempersatukan wilayah dunia yang luas dan mempersatukannya dalam satu bahasa, yaitu bahasa Yunani, merupakan bahasa berfikir yang akhirnya dipakai Oleh Allah untuk mengungkapkan konsep-konsep teologis  secara benar dan akurat.

Dari sinilah kita dapat memahami bahwa Allah terus bekerja dalam mewujudkan kepedulianNya terhadap umat manusia dengan jalan yang sangat kreatif yang kadang sulit dimengerti secara manusia.

            Dalam halaman 122-124 penulis mengkritik bahkan dengan berani menyatakan bahwa calvinisme tidak memiliki landasan yang alkitabiah dan rasional, bahkan cenderung arogan (hal 124) secara khusus berkaitan dengan pengajaran tentang total depravity dan predestinasi, namun punulis sendiri tidak mampu menunjukkan sanggahan dan sebuah konsep berfikir yang cukup akurat dan memadai sehingga menimbulkan sebuah kepincangan pola berfikir. Sederhananya mengkritisi sesuatu yang tidak terlalu dipahami dan tidak memahami bagaimana yang seharusnya/bagaimana yang benar. Hal ini merupakan sebuah pola berfikir yang sangat berbahaya. Dalam pembahasan selanjutnya berkaitan dengan kritikan penulis terhadap kaum inklusif dan kaum ekslusiv berkaitan dengan konsep soteriologis juga sangat premature. Penulis mengkritik kaum ekslusif dengan tetap berlandaskan pada asumsinya yang menolak total depravity, bahwa kajatuhan manusia tidak menghilangkan segala sesuatu dari manusia secara formal (138) pengaruh Armenius yang sangat kental dalam pemikiran penulis membuatnya mudah menarik sebuah generalisasi dan mendeskreditkan calvinisme. Penulis mencontohkan konsep krstosentris yang akhirnya justru menjadi malapetaka bagi kekristenan sendiri misalnya dalam beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia merupakan hasil dari sebuah konsep misi yang emosional dan tak beretika yang lahir dari konsep calvinisme yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Misteri Trinitas

  BAB I PENDAHULUAN   A.     Definisi Istilah Meskipun istilah "Trinitas" tidak pernah muncul di Alkitab secara eksplisi...