BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini memberikan begitu banyak kontribusi positif dalam menjawab permasalahan hidup manusia. Hal-hal yang dahulu dianggap mustahil dilakukan oleh kemampuan manusia, sekarang ini menjadi hal yang bisa dilakukan dengan mudah oleh bantuan teknologi. Perkembangan yang baik ini tidak serta merta membuat beban permasalahan hidup umat manusia menjadi ringan, karena di sisi lain seiring dengan perkembangan positif, berkembang pula permasalahan hidup yang lainnya. Sebut saja salah satunya autisme, yang kini jumlah penderitanya semakin meningkat, karena berdasarkan penelitian, autisme terjadi pada 5 dari setiap
10000 kelahiran, Sedangkan solusi penyembuhannya masih menjadi misteri bagi kalangan medis, psikolog, maupun psikiater.
Keadaan yang sedemikian ini pada akhirnya menjadikan ketakutan yang sangat mendalam bagi orang tua yang tidak memiliki anak penyandang autis dan berharap tidak akan pernah memiliki anak yang mengidap kelainan tersebut, sedangkan bagi orang tua yang sudah terlanjur memiliki putra atau putri yang demikian seolah-olah masa depan suram sudah menghadang di depan, baik masa depan anak itu sendiri maupun bagi orang tuannya. Tentu saja hal ini akan menjadi beban psikologi terberat dalam rumah tangga, yang jika tidak teratasi sejak dini akan menjadi “gunung es” permasalahan yang jika suatu saat meledak akan menimbulkan dampak yang dahsyat.
Penanaman pemahaman yang benar akan sangat membantu bagi para orang tua dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut di atas, baik pemahaman teologis, psikologis, maupun medis. Tulisan ini diangkat sebagai wujud rasa simpati dan kepedulian terhadap fenomena yang terjadi dalam kehidupan social masa kini.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Bertitik tolak pada latar belakang yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, tulisan ini diharapkan memberikan sedikit kontribusi bagi pembaca berkaitan dengan pemahaman yang benar tentang :
Pertama, wawasan seputar autisme, baik yang menyangkut definisi, ciri-ciri penderita autisme, factor penyebab autisme, efeknya terhadap perkembangan anak itu sendiri maupun bagi orang itu, dan bagaimana siklus perkembangan autisme
Kedua, bagaimana seharusnya seorang konselor membantu suami/istri yang memiliki anak penderita autis agar mereka memandang permasalahan ini dari sudut pandang yang tepat dan benar sesuai dengan rencana Allah.
Kedua hal tersebut di atas merupakan tujuan utama pembahasan dalam tulisan ini
C. Ruang Lingkup Pembahasan
Mengingat begitu luasnya pemahaman tentang autisme, dan masih begitu banyaknya hal-hal yang masih menjadi misteri dan yang terus ada dalam proses penelitian, maka tulisan ini merupakan “overview” semata untuk sedikit memberikan gambaran sepintas mengenai kelainan perkembangan pada anak-anak terutama autisme.
Hal kedua yang berkaitan dengan penanganan terhadap orang tua anak penderita autisme adalah hanya membahas permasalahan bagaimana seharusnya Hamba Tuhan yang juga seringkali berperan sebagai konselor di Gereja dalam membantu memberikan wawasan dan merangsang terciptanya solusi yang tepat dan benar kepada orang tua dengan memberikan informasi baik secara psikologis, medis, maupun teologis dari sudut pandang Kristiani.
BAB II
Pelayanan Konseling Terhadap Suami Istri
Dengan Anak Penderita Autis
A. Pemahaman Seputar Autisme
Autisme tidaklah sama dengan hiperaktif, ataupun gangguan jiwa/gila, bukan pula idiot (meskipun seringkali symptom atau gejala-gejala yang tampak dipermukaan menunjukkan suatu kemiripan) karena secara prosentase jumlah penderita autisme sebanyak 75% dari mereka digolongkan sebagai gangguan keterlambatan mental, dan bahkan yang lebih mengejutkan, 10% di antara penderita autis tergolong sebagai anak jenius, terutama dalam hal berhitung, musik atau seni. Meskipun gangguan perkembangan/autisme ini sangat serius namun di Indonesia sendiri belum ada pendataan secara resmi yang dilakukan oleh pemerintah, maupun Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Namun para professional telah melaporkan adanya peningkatan jumlah penderita autisme. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah terbatasnya jumlah tenaga ahli dalam bidang tersebut, orang-orang atau LSM-LSM yang bergerak dalam hal memberikan bantuan terhadap penderita autisme sebagian besar adalah orang-orang bersimpati dan peduli terhadap permasalahan tersebut yang belajar dari pengalaman, bukan seorang tenaga ahli atau professional.
- Apakah Autisme itu ?
Sampai saat ini masih belum ditemukan suatu rumusan yang pasti untuk menjelaskan mengenai autisme karena dari hasil diagnosa yang dilakukan oleh banyak ahli masih belum menunjukkan keseragaman hasil yang nantinya dapat dipakai sebagai bahan untuk membuat rumusan definisi. Dari beberapa data disebutkan bahwa autisme dikelompokkan kedalam begitu banyak spektrum
There are so many different diagnoses that are included under the autism label. Because of this, autism is considered a spectrum disorder. Here is a quick reference to the most common types of autism that are a part of the spectrum:
Asperger Syndrome- children with Aspergers tend to be more obsessive and intense about their specific routines or special objects. Language skills are present, though maybe not as much as others on a normal developmental scale.
Pervasive Developmental Disorder- categorized by a basic delay in development, with a focus on physical behavior such as hand flapping or spinning. Language skills are usually minimal.
Rett Syndrome- a form of autism that effects mostly females. For most children with this diagnosis, development from birth is usually normal. Somewhere between the ages of 8 and 18 months old, symptoms such as loss of speech and abnormal behaviors start to present themselves.
High Functioning- This class of autism diagnoses describes children on the spectrum with a higher level of awareness. They may be behind their neuro-typical peers, but are usually more advanced with their language and motor skills than others on the spectrum.
Low Function- These children generally require the most help. Extensive therapy and care are needed in most cases. Children on the 'low' end of the spectrum typically have no speech, are oversensitive to stimuli, and lack the ability to relate to their peers.[1]
Pemikiran dan hasil diagnostik di atas memang tidak dapat mewakili semua diagnosa individu dalam spectrum autisme karena memang sebagian besar symptom-symptom yang mengemuka di antara para penderita sangat khusus.
- Ciri-ciri Anak Penderita Autisme
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh beberapa ahli ditemukan bahwa penderita Autisme laki-laki empat kali lebih banyak dibandingkan penderita wanita, akan tetapi jika wanita yang terkena autisme biasanya tingkat keparahannya lebih tinggi, hal ini mengindikasikan bahwa anak laki-laki lebih rentan menyandang autisme.[2] Penyebab terjadinya fenomena yang demikian sampai saat ini masih menjadi misteri bagi para ahli, namun pada umumnya gangguan tersebut disertai dengan gangguan lainnya misalnya saja epilepsy. sebanyak 25 % di antara penderita autisme sekaligus menderita epilepsy atau yang lazim disebut sebagai ayan. Pada dasarnya gangguan perkembangan[3] ini sudah dapat dideteksi sejak usia paling awal dari kehidupan mereka, misalnya, bayi menolak sentuhan orang tuannya, tidak merespon kehadiran kedua orang tuanya, memiliki kebiasaan di luar kebiasaan bayi normal lainnya, pada usia anak mampu berkomunikasi sederhana, bayi ini tidak bisa melakukannya, dan juga keterlambatan-keterlambatan lainnya.[4]
Perkembangan tingkat keparahan penderita autisme tidak terjadi secara spontan, melainkan terjadi melalui siklus yang sangat sulit diprediksi misalnya pada usia 2-5 tahun biasanya anak penderita autisme cenderung berprilaku atau memiliki kebiasaan buruk, namun pada usia 6-10 tahun prilaku ini membaik, dan pada saat menginjak usia remaja sampai dewasa prilakunya cenderung memburuk kembali dan kemudian membaik kembali seiring dengan bertambahnya usia. Oleh karena siklus yang demikian rumit inilah sebagaian besar orang tua mengalami keterlambatan dalam menangani gangguan tersebut, bahkan kebanyakan orang tua baru melakukan konsultasi kepada para ahli pada saat usia anak sudah tiga tahun, padahal sebenarnya penanganan sejak dini akan mampu meminimalisasi tingkat keparahannya.
Variasi gejala-gejala/symptom pada autis sangat berbeda-beda, ada varian yang ringan sampai yang berat, namun secara umum dispesifikasikan ke dalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan berbahasa, serta usia anak.
- Ciri-Ciri Autisme Secara Sosiologis
Ciri-ciri yang dimaksud dalam pokok bahasan ini adalah ciri yang berkaitan dengan pola kehidupan social dari penderia autisme. Secara sekilas ada empat ciri yang tampak pada anak penderita autisme, seperti
- Sebagaian besar penderita mengalami skizofrenia seperti menarik diri dari lingkungan, serta lemah dalam berfikir ketika usia terus bertambah.
- Anak autis selalu sibuk dengan dirinya ketimbang bersosialisasi.
- Mengalami kesulitan dalam menjalin persahabatan, menunjukkan rasa empati dan memahami harapan orang lain dalam berbagai situasi social.
- Hampir semua penderita autisme terobsesi dengan benda-benda mati.
- Ciri-Ciri Autisme Secara Fisik dan Psikologis
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang sangat terkait erat dengan psikologis atau perkembangan kejiwaan. Ciri-ciri gangguan autisme secara psikologis biasanya sebagai berikut :
- Penderita autisme memiliki kecenderungan melukai diri sendiri, tidak percaya diri, bahkan seringkali sangat agresif, menaggapi stimulus eksternal secara kurang atau bahkan terlalu berlebihan.
- Penderita autisme seringkali tidak mampu mengorganisasi organ tubuhnya secara baik atau wajar, misalnya mengerak-gerakkan tubuhnya secara tidak wajar, bersuara secara berulang-ulang, dan melakukan gerakan-gerakan tubuh yang sulit untuk dipahami, misalnya menggaruk-garuk tubuhnya sendiri, memukul-mukul, dan lain sebagainya.
- Memiliki keterbatasan dalam mengutarakan maksud hatinya sehingga berperilaku aneh.
- Memiliki pola melepaskan diri dari ketegangan secara ganjil, misalnya memukul-mukul, menabrakkan diri ke dinding, menggaruk-garuk kepala, dan sebagainnya.
Mirza Maulana[5] mengemukakan beberapa gejala-gejala autisme yang berkaitan dengan gangguan psikiatrik berdasarkan data hasil survey dari para tokoh seperti berikut ini :
Prosentase |
Gejala-Gejala |
|
|
Dari beberapa ciri atau gejala-gejala tersebut di atas, kita dapat berkesimpulan bahwa autisme merupakan suatu gangguan yang dapat dikategorikan berat dan memerlukan penanganan yang serius.
- Faktor Penyebab Autisme
Dalam menentukan factor-faktor penyebab kelainan pada perkembangan anak, secara khusus autisme haruslah dilakukan sebuah diagnosis yang cermat, namun untuk melakukan diagnosa pada penderita autisme sebenarnya tidak memerlukan alat yang canggih-canggih seperti, CT Scan, Brain Mapping, MRI, atau yang lainnya, namun WHO telah merumuskan suatu criteria terpadu yang harus terpenuhi untuk dapat melakukan diagnosis dan rumusan yang dipakai hampir di seluruh dunia adalah ICD-10 atau International Clasification Of Desease tahun 1993. dan rumusan lain yang sering juga dipakai adalah DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994 yang dibuat oleh sekelompok psikiatri Amerika.
Berdasarkan diagnostik dan penelitian yang mendalam maka terbukalah sedikit misteri penyebab terjadinya autisme yang dapat dikelompokkan menjadi dua factor
- Gangguan pada otak
Kemungkinan terbesar autisme disebabkan karena adanya gangguan neurobiologis pada susunan saraf pusat otak yang biasanya terbentuk pada tiga bulan pertama usia kehamilan. Hal ini bisa disebabkan oleh virus seperti Toxoplasmosis, cytomegalo, rubella, ataupun herpes, atau mungkin karena jamur (candida) yang ditularkan oleh ibu kepada janin. Dunia kedokteran juga sedang berusaha mencari pola hubungan antara kelainan anatomi dan biokimiawi di dalam otak berdasarkan beberapa pengalaman dalam menangani gangguan ini, misalnya :
a). Lobus Parientalis
Menurut para ahli sebanyak 43% penyandang autisme mengalami kelainan pada Lobus Parientalis. Dalam diagnostik melalui MRI ada tampak lekukan-lekukan otak yang lebih lebar yang menunjukkan bahwa jumlah sel otak pada Lobus Parientalis berkurang, padahal kerusakan pada bagian ini menyebabkan terbatasnya kemampuan perhatian terhadap lingkungan bagi para penderitannya.
b). Cerebellum (Otak Kecil)
Seorang ahli yang bernama Eric Courchesne dari Departement Of Neuroscience, School of Medicine, University of California melakukan diagnostik MRI pada penyandang autisme dan menemukan suatu fakta bahwa cerebellum pada sebagian besar penderita autisme berukuran lebih kecil dibandingkan dengan pada manusia normal, terutama pada bagian Lobus VI-VII. Hal ini berdampak pada kinerja penting dalam kehidupan, yaitu proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar bahasa, dan proses atensi.
c). Sistem Limbik
System ini merupakan pusat pengaturan emosi manusia yang terletak di bagian dalam otak. Dr Margareth Bauman dari Departemen Of Neurology, Harvard Medical School dan Dr Thomas Kemper dari Departemen of Anatomy, Neurologi and Pathologi, Boston University School of Medicine, menemukan adanya kelainan pada system limbic yang terdapat pada setiap penderita autis, yang disebut “hippocampus” dan “amygdala” dalam kedua organ tersebut terdapat sel-sel neuron yang sangat padat dan kecil-kecil sehingga fungsinya menjadi kurang baik. Penyebabnya kurang jelas, namun diperkirakan terjadi ketika anak itu masih janin.
Amygdala memiliki fungsi dalam mengontrol emosi dan agresi manusia, sehingga jika bagian ini terganggu seperti pada penderita autis maka ia akan kurang mampu mengendalikan emosi, prilakunya sangat agresif atau kadang-kadang sangat pasif. Sedangkan hippocampus berfungsi dalam kaitannya dengan belajar dan daya ingat, sehingga gangguan pada bagian ini menyebabkan berkurangnya daya ingat, atau bahkan mungkin juga memiliki daya ingat yang sangat hebat.
- Faktor Genetika
Factor keturunan masih belum bisa dijadikan sebagai salah satu factor yang pasti penyebab autisme, karena penelitian terhadap masalah ini masih terus dilakukan. Perhatian terhadap factor ini memang sangat beralasan karena gen manusia akan terus mengalami mutasi, baik karena disebabkan oleh pola hidup modern yang sepertinya tidak pernah lepas dari zat-zat kimiawi, ataupun juga dengan environment sekitar yang tingkat polusinya sudah memasuki ambang membahayakan. Frank B.Minirth pernah menyatakan bahwa kedua factor ini yaitu genetic dan lingkungan sekitar sangat menonjol dalam setiap kasus yang berkaitan dengan masalah-masalah psikologis.[6]
- Dapatkah Autisme disembuhkan ?
Jawaban terhadap pertanyaan inilah yang mungkin dinantikan oleh sebagian besar orang tua yang memiliki anak penderita autisme dengan penuh kecemasan, bahkan sangat berharap diagnostik yang dilakukan oleh ahli terhadap anaknya salah. Sebenarnya gangguan autisme tidak bisa disembuhkan atau diatasi secara tuntas, namun tingkat keparahan dan symptom-symptom yang tampak dipermukaan dapat diminimalisasi atau dikendalikan melalui beberapa usaha terapi, baik yang berupa terapi pola makan/diet ataupun terapi psikologis lainnya. Meskipun usaha penyembuhan bagi penderita autisme masih dalam tahap penelitian sebaiknya orang tua tidak perlu berkecil hati dan terpuruk dalam kesedihan, melainkan harus semakin melipatgandakan usaha untuk menanggani permasalahan hidupnya tersebut.
B. Dampak Autisme Terhadap Orang Tuanya
Sangat wajar jika semua orang tua berharap anaknya berkembang secara normal seperti anak-anak pada umumnya, namun keadaan ini akan berbalik seratus delapan puluh derajat jika orang tua menghadapi situasi dimana anak mereka mengalami autis. Mereka akan mengalami perasaan yang bercampur aduk, antara tidak percaya, marah, stress, sedih, bingung, dan lain sebagainya, sehingga sebagian dari mereka berusaha mencari jalan keluar melalui berbagai usaha seperti pergi kepada paranormal, pengobatan alternatif (akupressur, acupuncture, China Traditional Medicine, dll), kepada ahli gizi untuk menanyakan pantangan-pantangan makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh penderita, atau seribu satu usaha yang lain.
Menurut pengalaman beberapa orang tua yang memiliki anak penderita autisme untuk menerima bahwa anaknya adalah autis merupakan proses yang sulit, apalagi kalau anaknya masuk dalam kategori berat. Ada harapan semu yang biasanya muncul yaitu semoga diagnosa dokter salah dan keliru. Proses menolak, tidak mau menerima kenyataan ini sebenarnya akan sangat merugikan anak itu sendiri karena akan semakin menunda penanganan yang berdampak pada fase proses penyembuhan selanjutnya.[7]
Dampak ini bukan hanya dirasakan oleh orang tua penderita semata, namun lingkungan keluarga terdekat seperti kakak, adik atau yang lainnya juga ikut menderita akibat hal ini.
C. Pelayanan Konseling Terhadap Suami Istri dengan Anak Penderita Autis
Pelayanan konseling pada dasarnya tidak sama dengan pemberian nasehat / advise giving, namun hal ini bukan berarti bahwa seorang konselor hanya perlu berlatih bagaimana cara mendengar dengan baik, melakukan refleksi, memahami komunikasi non verbal, dan tidak perlu banyak belajar tentang informasi berkaitan dengan permasalahan hidup konseli, tetapi justru semakin banyak data dan informasi yang konselor pahami maka semakin terbuka lebar pula peluang untuk memahami inti permasalahan seorang konseli dan menuntunnya untuk menetapkan solusi terbaik bagi dirinya sendiri. Dalam bagian ini maka diperlukan dua pemahaman untuk menolong seorang konseli dengan anak penderita autis, yaitu pemahaman teologis, yang menyoroti permasalahan dari aspek iman Kristen, dan yang kedua pemahaman psikologis yang menyoroti dari aspek kejiwaannya.
1. Menggunakan Pemahaman Teologis Untuk Menolong
a). Penerimaan Terhadap Anak
Seringkali orang tua tidak siap menerima kenyataan ketika Allah mengijinkan hadirnya anak penderita autis dalam keluarga, sehingga berusaha lari dari kenyataan dengan menyalahkan Tuhan, mencari-cari kesalahan di antara pasangan, keturunan, dan sebagainya. Tindakan ini sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah, justru akan semakin memperumit permasalahan. Satu hal yang terutama yang perlu dicamkan pada hati setiap orang tua adalah bahwa anak adalah anugerah Tuhan, apapun kondisinya yang harus tetap dididik dalam ajaran-ajaran yang benar dan dengan cara yang benar pula tentang Allah (Ef 6:4, Kol 3:21). Penerimaan terhadap anak autis seharusnya dipahami sebagai anak spesial pemberian Tuhan karena memang Tuhan Yesus sendiri pernah menyatakan hal ini, bahwa ada anak-anak yang terlahir spesial (cacat atau mengalami gangguan lainnya) tidak semata-mata karena dosa orang tua ataupun keturunan melainkan ada juga yang memang Tuhan telah tetapkan demikian karena ada tujuan tertentu yang Tuhan telah tetapkan, yaitu agar nama Tuhan dipermuliakan. Orang tua seharusnya mencari maksud dan tujuan Tuhan dari setiap peristiwa ini sehingga mereka dan anak mereka dibangun bersama untuk semakin dewasa di dalam Kristus.
b). Kasih Yang Tulus
Tidak dapat kita pungkiri bahwa ketulusan cinta dari orang tua kepada anak penderita autis adalah apa yang diinginkan oleh Allah. Kasih orang tua kepada Allah harus terimplementasikan pada diri anak. Jannete Oke menyatakan bahwa satu hal terpenting di dunia ini bagi orang tua Kristen -Pria wanita yang mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi mereka-adalah menyatakan kasih itu kepada anak-anak mereka.[8] Kebutuhan anak autis akan kasih sayang orang tua tidaklah berbeda dengan anak normal lainnya, justru keadaannya yang demikian menuntut adanya kasih sayang dan perhatian yang lebih dari orang tua. Charles Galloway pernah menuliskan bahwa kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi merupakan keinginan paling sederhana dari semua manusia, manusia memerlukan kasih seperti ia memerlukan matahari dan hujan. Ia akan binasa tanpa hal itu. Tidak ada kebutuhan lain yang benar-benar demikian berarti bagi kodratnya.[9]
Tidak ada satupun terapi penyembuhan yang akan berhasil jika satu aspek terpenting ini dimiliki oleh orang tua kepada anaknya, seperti yang diungkapkan oleh Paul D.Meier, bahwa “the treatment for most child psychiatry problem almost always involves helping the parents learn better ways to live and love”.[10] Kasih itu harus nyata di antara kedua orang tua (Ef 5:25,Kol 3:19), dan antara kedua orang tua kepada anaknya. kasih ini bukan hanya akan turut membantu proses penyembuhan[11], tetapi juga membantu orang tua untuk melakukan setiap pengasuhan dan pemeliharaan bukan lagi menjadi suatu beban atau kutukan, melainkan suatu pelayanan kasih kepada Allah.
2. Menggunakan Pengetahuan Medis dan Psikologis Untuk Membantu
Meskipun anak penderita autisme tidak dapat disembuhkan secara total, namun ada satu hal yang perlu dipahami oleh orang tua bahwa tingkat keparahannya dapat dikendalikan, efek negatifnya dapat diminimalisasi, dan potensi yang penderita miliki dapat dikembangkan agar masa depannya tidak terpuruk, melainkan memiliki kesempatan yang sama baiknya dengan anak-anak normal lainnya. Pada dasarnya ada beberapa metode penanganan yang lazim diterapkan untuk anak-anak penderita autis.[12]
a). Terapi Medikamentosa
Terapi ini merupakan terapi yang dilakukan melalui obat dan makanan. Sampai sejauh ini belum ditemukan satu obat atau makanan yang paling baik untuk proses penyembuhan terhadap sindrom ini, bahkan setiap obat yang mungkin agak sedikit membantu bagi salah satu penderita, belum tentu mampu menolong yang lain, karena setiap penderita autis memiliki karakteristik fisiologis yang sangat berbeda sehingga perlu adanya diagnostik dan konsultasi yang intensif dengan dokter yang menangani.
Aspek pengaturan pola makananpun juga sedemikian penting karena suplai makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter akan membantu kesinambungan system kerja saraf. Beberapa penderita mengalami reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan tertentu sehingga zat-zata yang seharusnya menjadi pembentuk neurotransmitter, justru menjadi zal lain yang bersifat meracuni saraf. Pada dasarnya ada beberapa makanan yang bila dikonsumsi oleh penderita autis akan semakin memperburuk symptom autisme, HM.Hembing Widjayakusuma merekomendasikan beberapa makanan yang seharusnya dihindari untuk dikonsumsi oleh anak autis, misalnya bahan makanan yang mengandung gluten, kasein, bahan yang mengandung MSG, bahan pemanis, pewarna bautan, makanan awetan, fast food, beberapa buah tertentu, gelatin, mayones, dan lain sebagainya.[13]
b). Terapi Wicara
Seperti penjelasan sebelumnya bahwa kebanyak penderita autisme mengalami keterlambatan dalam perkembangan kemampuan berkomunikasi dan berbahasanya, sehingga terapi wicara ini adalah suatu keharusan. Terapi ini jelas akan sangat berbeda dengan terapi pada anak pada umumnya sehingga seorang terapis haruslah seseorang yang sudah professional, terutama dalam mencermati gejala-gejala dan gangguan bicara yang khas dari penyendang autis.
Orang tua tidak boleh menyerahkan begitu saja anak mereka kepada terapis, tanpa melakukan pembelajaran dalam melakukan terapi. Mereka harus terus belajar, bekerjasama dengan para ahli untuk melakukan terapi juga di rumah, sehingga anak dipacu untuk berkembang secara cepat.
c).Terapi Prilaku
Terapi prilaku yang berkembang di Indonesia sangat beragam, namun kesemuanya itu dimaksudkan untuk mendidik penyandang autis untuk mengurangi prilaku yang tidak lazim dan menggantinya dengan prilaku yang lebih bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Terapi prilaku ini memungkinkan penyandang autisme untuk lebih bisa beradaptasi dalam lingkungan masyarakat. Dalam proses terapi ini, sama seperti terapi-terapi yang lain, tidak mungkin hanya dilakukan oleh seorang terapis, melainkan perlu adanya kerjasama dan keterlibatan seluruh anggota keluarga secara kontinu dan konsisten
d). Pendidikan Khusus
Akhir-akhir ini kesadaran masyarakat akan betapa pentingnya nilai pendidikan bagi peningkatan kualitas hidup manusia semakin kita rasakan, dan kemajuan ini diimplementasikan melalui ledakan dalam dunia pendidikan anak, misalnya saja semakin maraknya pendirian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Kelompok Bermain, sekolah-sekolah international, atau sekolah plus. Salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak adalah pendidikan khusus, yaitu suatu system pendidikan yang dirancang untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus, salah satunya pendidikan untuk anak penderita autisme.
Pendidikan ini dirancang sedemikian rupa baik yang menyangkut teknologi pendidikannya, kurikulumnya, tenaga pendidiknya dan semuanya untuk membantu peserta didiknya untuk mendapat kesetaraan hak dalam menerima pendidikan dan mengembangkan diri (self actualization). Pendidikan ini seharusnya menjadi rekan kerja bagi orang tua dalam melakukan pendidikan terhadap anaknya, meskipun terapi yang lain juga harus terus dilakukan.
e). Terapi Okupasi
Sebagian besar penderita autisme mengalami gangguan dalam perkembangan aspek sensorimotornya, sehingga mereka tidak mampu mengorganisasi setiap gerakan tubuhnya secara baik, gerakan-gerakannya cenderung kasar dan kurang fleksibel dangan anak-anak normal lainnya, sehingga perlu adanya terapi okupasi yang dimaksudkan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan membuat otot halusnya bisa terampil.[14]
f). Structural Family Therapy
Solusi terapi yang kelima ini penulis sengaja sampaikan karena pada dasarnya peran setiap keluarga sangat penting juga dalam menentukan keberhasilan terhadap suatu usaha penyembuhan (meminimalisasi dampak negatif penderita autisme). Structural Family Theray sebenarnya sudah mulai diperkenalkan sejak paruh kedua abad 20 oleh Salvador Minuchin dan kolega-koleganya. Terapi ini sangat berguna karena melibatkan seluruh anggota keluarga untuk berperan masing-masing sesuai dengan kapasitasnya, namun masih saling berkaitan.
The theoretical underpinnings of structural family therapy rest on the belief that “the whole and the parts can be properly explain only in terms of relations that exist between the parts” thus, focus is on the relationships that connect one part of the whole to another.structuralism approaches all human phenomena with intent of identifying the codes that regulate human relationships. Structur refer to regulating codes manifested in the operational patterns through which people relate to one another in order to carry out fuctions. The repertoir of structure that the family develop to carry out its ongoing fuctions takes on a character that is as unique to each family as the personality structure is to the individual.[15]
Terapi ini merupakan terapi tindakan, artinya seorang terapis (dalam konteks ini adalah seluruh anggota keluarga dari anak penderita autis) bertindak secara aktif mengarahkan prilakunya dan komunikasinya dalam keluarga untuk menanamkan pengaruh aspek-aspek prilaku pada anak penderita autisme. Tugas utama seorang terapis atau anggota keluarga adalah secara aktif mengembangkan konteks hubungan, merangsang dan mendorong adanya suatu perubahan yang progresif, yaitu tujuan yang hendak dicapai pada diri anak penderita autis tersebut.[16] Selain terapi ini berguna dalam memupuk tingkat kemandirian penderita, namun juga sangat berkontribusi dalam menanamkan self concept yang sehat pada anak. Seorang ahli menyatakan
Professionals will tell parents their opinion of
the best method to use to treat the child. However, parents should consider
treatments and therapies that fit into their own lifestyles. Determine what is
truly necessary for the child to be a genuine part of the family. Also,
consider how the child will reach this point with the least amount of
disruption to the family routine.[17]
betapa pentingnya peran keluarga
dalam proses terapi ini karena seorang penderita autis harus tetap menjadi
anggota keluarga yang memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dalam
keluarga. Tidak ada suatu terapipun yang dapat menggantikan peran keluarga
dalam proses penyembuhan ini “The best therapy in the world will not work if
the family is unable to meet the demands of the schedule. Additionally, if the
child is in treatment all the time, they may miss out on other important
aspects of life, such as playing, relaxation, and family time.”[18]
Bab III
Kesimpulan
Gangguan pada perkembangan anak yang lazim disebut sebagai sindrom autis terus mengalami peningkatan secara kuantitas baik di Indonesia maupun di manca negara, bahkan Amerika Serikat setiap 12 menit ada satu anak didiagnosis sebagai pengidap autisme. Perkembangan jumlah penderita ini tidak diimbangi dengan semakin banyaknya tenaga ahli yang memberikan pertolongan terhadap kasus ini menyebabkan banyaknya anak-anak penderita yang tidak tertangani dengan baik, sehingga menimbulkan semakin banyak orang tua yang mengalami permasalahan yang berat dalam menghadapi keadaan tersebut.
Keadaan yang demikian menuntut Hamba-Hamba Tuhan untuk terus meningkatkan pemahamannya dalam mempersiapkan diri memberikan pertolongan terhadap orang-orang tua yang demikian. Pemahaman –pemahaman yang diperlukan bukan hanya dari ranah teologis semata, melainkan seorang konselor juga harus memperlengkapi dirinya dengan pengetahuan-pengetahuan medis maupun psikologis, sehingga pertolongan yang diberikan akan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi permasalahan hidup mereka.
Daftar Pustaka
Carlton, Brian L., Structural Family Therapy, dalam Psychotherapy In Christian
Perspective, Grand Rapid : Baker Book House, 1987
Collins, Gary, How To Be A People Helper, California : Vision House Publisher, 1977
___________, Christian Counseling, Dallas : Word Inc, 1989
Haley J., Problem Solving Therapy San Francisco : Jossey, 1976
Lane M., Introduction To Structuralism,(New York: Basic Books, 1997)
Maulana, Mirza, Anak Autis : Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju
Anak Cerdas dan Sehat, Jogjakarta : Katahati,2008
Minirth, Frank B, Christian Psychiatry, Old Tappan,NJ: Revell, 1977
Rustamadji, Bugi, Sudaryati, Sri, Suka Duka Orang Tua Penyandang Autis,
Yogyakarta : KUSUDGAMA Press,2008
Team Penyusun, Pola Hidup Kristen, Malang : Gandum Mas, 2002
Meier, Paul D., Christian Child Rearing and Personality Development, Grand Rapid :
Baker Book House, 1977
S.Minunchin, Families and Family Therapy, (Cambridge : Harvard University Press,
1974)
S. Minunchin et all, Families of the Slums, (New York : Basic Books, 1967).
Wijayakusuma, HM.Hembing, Psikoterapi Anak Autisma : Teknika Bermain Kreatif Non
Verbal dan Verbal, Jakarta : Pustaka Populer Obor, 2004
[1] .http://www.examiner.com/x-20961-Orlando-Autism--Parenting-Examiner~y2009m9d2-What-is-autism-making-sense-of-the-spectrum
[2] Bandingkan dengan tulisan HM.Hembing Wijayakusuma, Psikoterapi Anak Autisma : Teknika Bermain Kreatif Non Verbal dan Verbal, (Jakarta : Pustaka Populer Obor, 2004)hlm.v-vi.
[3] Autisme secara psikologis dikategorikan sebagai gangguan perkembangan kategori berat.
[4] Mirza Maulana, Anak Autis : Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat, (Jogjakarta : Katahati,2008),Hlm.11
[5] Mirza Maulana, Op.Cit,Hal.14
[6] ia berkata “truly, the genetic and environmental backgroud are factors of major importance. To deny this is naïve.however, it is equally naïve to use these as execuses for present conduct…” dalam Christian Psychiatry (Old Tappan,NJ: Revell, 1977),p.111-112
[7] Bugi Rustamadji, Sri Sudaryati, Suka Duka Orang Tua Penyandang Autis, (Yogyakarta : KUSUDGAMA Press,2008),Hlm.3-4
[8] Team Penyusun, Pola Hidup Kristen, (Malang : Gandum Mas, 2002),hlm.361
[9] Ibid.Hlm.364
[10] Paul D.Meier, Christian Child Rearing and Personality Development, (Grand Rapid : Baker Book House, 1977),p.18
[11] HM.Hembing Widjayakusuma menyatakan “kondisi ini ternyata menjadi sorotan perhatian banyak pihak. Diyakini bahwa perhatian, cinta kasih dan ungkapan saying dari orang tua memiliki efek terapeutik tersendiri bagi anak dalam proses penyembuhannya.” Op cit, hlm.xx
[12] salah satu situs internet yang khusus memberikan pelayanan konsultasi mengenai autisme menuliskan “Some families who have children diagnosed with Autism explore different treatment options for their child. There are a growing number of options available to families. These range from nutrition, natural supports, applied behavioral therapy and treatment for functional disconnection’. http://www.examiner.com/x-21398-Birmingham-Autism--Parenting-Examiner~y2009m9d2-Autism-treatments--Families-should-consider-their-own-lifestyle
[13] HM.Hembing Widjayakusuma, op cit, hlm.IX-XII.
[14] Mirza Maulana,Op Cit,Hlm.50
[15] Brian L.Carlton, Structural Family Therapy, dalam Psychotherapy In Christian Perspective, (Grand Rapid : Baker Book House, 1987).Hlm.348
[16] sebagai referensi bandingkan dengan tulisan J.Haley, Problem Solving Therapy (San Francisco : Jossey, 1976), M.Lane, Introduction To Structuralism,(New York: Basic Books, 1997), S.Minunchin, Families and Family Therapy, (Cambridge : Harvard University Press, 1974), Minunchin et all, Families of the Slums, (New York : Basic Books, 1967).
[17]http://www.examiner.com/x-21398-Birmingham-Autism--Parenting-Examiner~y2009m9d2-Autism-treatments--Families-should-consider-their-own-lifestyle
[18] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar