KAJIAN TERHADAP PARADIGM KONSTRUKTIVISM
DARI PERSPEKTIF PENDIDIKAN KRISTEN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan Makalah
Paradigm konstruktifisme merupakan sebuah pemikiran filosofis yang sangat mempengaruhi filsafat pendidikan masa kini dan dianggap sebagai sebuah paradigm yang relevan dan akomodatif bagi sasaran pendidikan, secara khusus di Indonesia sehingga menjadi acuan pemerintah dalam merancang sebuah kurikulum.Tidak dapat dipungkiri bahwa paradigm ini sangat diminati dan bahkan menjadi kata kunci dalam setiap pembicaraan dalam dunia pendidikan.Seminar-seminar dan pelatihan tentang paradigm ini banyak diadakan oleh universitas-universitas penyelenggara dan penyedia tenaga kependidikan karena dianggap sangat cocok dengan kondisi dunia masa kini yang sangat menekankan kualitas personal dalam persaingan global. Paradigm pembelajaran konstruktifivisme ini dianggap sebagai sebuah model pembelajaran yang sangat menekankan keaktifan personal dalam mengkonstruksi sebuah pengetahuan, hal ni sekaligus menjadi jawaban bagi banyaknya kritik terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang sering dianggap sangat verbalis karena pembelajaran dianggap sebagai proses indoktrinasi/transfer pengetahuan dan menghasilkan lulusan yang tidak kreatif dan tidak dapat bersaing dalam dunia kerja.
Meskipun untuk sementara waktu paradigm konstruktifisme ini dianggap relevan dan signifikan dalam menjawab tantangan jaman, namun bukan berarti bahwa filsafat ini tidak memiliki sisi-sisi kelemahan yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak yang kurang baik, sehingga menuntut kita untuk terus melakukan kajian sehingga kita dapat memformulasikan kembali dalam bentuk yang baik, terutama dari perspektif iman Kristen. Karena pendidikan Kristen kita memiliki karakteristik dan keistimewaan yang pada dasarnya sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Melalui kajian dalam tulisan ini diharapkan kita menemukan pembelajaran yang berharga dalam mengembangkan pendidikan Kristen kita ke depan.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Jika paradigma konstruktivisme ini dianggap sebagai sebuah terobosan baru dalam filsafat pendidikan masa kini dan sangat mempengaruhi pendidikan secara luas, maka tentu efeknya juga akan berdampak luas. Kesadaran bahwa paradigm ini didasari dari sebuah pemikiran filsafat yang murni naturalistic, maka pendidikan Kristen tidak semestinya mengadopsi paradigm konstruktifisme ini secara serampangan tanpa melakukan kajian dengan pertimbangan nilai-nilai dasar teologi Kristen. Oleh sebab itu tulisan ini secara garis besar bertujuan untuk :
1. Menemukan dasar-dasar berpijak dan karakteristikdari pemikiran konstruktifisme.
2. Mengemukakan dasar filosofi pendidikan Kristen yang alkitabiah.
3. Melakukan kajian terhadap pemikiran konstruktifisme dari perpektif filsafat pendidikan Kristen.
Sehingga pada akhirnya akan ditemukan sebuah formulasi pemikiran yang secara teologis sangat konstruktif dan memberikan kontribusi bagi perkembangan pendidikan Kristen.
C. Ruang lingkup Penulisan Makalah
Kedua variable dalam tulisan ini merupakan sebuah topic pembahasan yang sangat luas sehingga tidak mungkin dibahas secara terperinci. Untuk membatasi keluasan pembahasan, maka tulisan ini akan dibagi menjadi empat garis besar. Bagian pertama akan membahas tentang paradigm konstruktifisme secara ringkas guna mendapatkan sebuah gambaran sederhana tentang filsafat pendidikan ini, bagian dua membahas filosofi pendidikan Kristen yang akan disajikan sedikit lebih luas dan rinci karena materi tersebut akan menjadi dasar atau acuan dalam menganalisa atau mengkaji paradigm konstruktifisme, dan pada bagian ketiga berisi tentang kajian analitis tentang konstruktivisme dari perpektif pendidikan Kristen yang secara khusus menyoroti hal-hal mendasar saja yaitu tentang pengetahuan baik itu yang menyangkut konsep dan prosesnya, juga masalah pribadi (guru dan murid) sebagai pusat pembelajaran. Dan bagian terakhir berisi sebuah kesimpulan dari seluruh pembahasan.
BAB II
HAKEKAT PARADIGMA KONSTRUKTIVISME
A. Latar Belakang Konstruktivisme
Asal muasal Paradigm konstruktivisme sebenarnya dimulai dari pemikiran seorang pemikir atau filsuf Italia, Giambastista Vico yang muncul dalam bukunya “de antiquissima Italorum sapientia” yang dikeluarkan pada tahun 1710. Inti pemikiran Giambatissta adalah keyakinan bahwa jika Tuhan menciptakan manusia sebagai tuan atas segala ciptaan sehingga jika manusia itu mengetahui sesuatu berarti pengetahuan itu berkaitan dengan pengetahuan yang bersifat metodologis, atau memahami bagaimana cara atau langkah-langkah membangunnya atau apakah entitas dari konsep itu. Bertolak pada paradigm ini, maka hanya Tuhanlah yang memiliki pengetahuan dan pengertian yang paling hakiki, sedangkan pengetahuan manusia hanya sebatas hasil sebuah konstruksi semata.Konstruksi yang merupakan sebuah struktur konsep bentukan sangat dipengaruhi oleh subyek atau pribadi yang berupaya memperoleh pengetauan itu sendiri. Konstruktivisme secara filosofis merupakan salah satu implikasi dari filsafat pragmatism secara khusus dalam perpektif epistemologis
Paradigma konstruktivisme berkembang sebagai paradigm alternative yang muncul sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir, demikian ungkap Pannen[1]dalam menyikapi luasnya pengaruh paradigm ini dalam dunia pendidikan di Indonesia. Paradigm ini sangat menekankan aktivasi seluruh entitas pembelajaran, secara khusus peserta didik dalam membangun sebuah system konsep yang berguna bagi dirinya, oleh sebab itu pada akhirnya paradigm ini muncul dalam berbagai bentuk model pembelajaran seperti contextual teaching and learning, accelerated learning, dan sebagainya.
B. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan filsafat epistemology yang berpandangan bahwa pengetahuan adalah hasil sebuah konstruksi dari manusia itu sendiri, pengetahuan bukanlah hasil transfer pengetahuan, imitasi terhadap sebuah realitas, ataupun refleksi dari dunia kenyataan, namun semata-mata dampak dari konstruksi kognitif melalui serangkaian aktivitas seseorang.[2] Proses konstruksi pengetahuan ini terjadi secara kontinu atau berkesinambungan selaras dengan pengalaman seseorang yang dinamis dan progresif, misalnya saja saat terjadi reorganisasi atau rekonstruksi yang disebabkan munculnya pemahaman yang lebih baru dan sempurna.
Model pembelajaran konstruktivisme berasumsi bahwa proses belajar atau memperoleh pengetahuan dimulai dari terjadinya konflik kognitif yang hanya mampu diatasi melalui pengetahuan diri atau self regulation dan pada akhirnya akan menghasilkan pengetahuan akan dibangun sendiri melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan kondisi nyata di lingkungannya.[3] Konflik kognitif dalam hal ini merupakan sebuah interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki oleh individu dengan sebuah fenomena baru yang dapat diintegrasikan sehingga dalam proses pembelajaran diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif (schemata) demi tercapainya sebuah keseimbangan, sehingga dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar dan mengajar adalah sebuah perilaku aktif seorang pembelajar dalam membangun sebuah konsepsi baru melalui sebuah konflik kognisi antara konsepsi awal dengan pengetahuan baru sehingga dinamika pertumbuhan kognitif seseorang berbanding lurus dengan pengalaman individu baik itu yang merupakan “conditional experience” yaitu rekayasa pengalaman/pengalaman yang dikondisikan maupun “unconditional experience” yaitu pengalaman-pengalaman keseharian yang tidak direncanakan/incidental.
C. Signifikansi Paradigma Konstruktivisme
Secara umum tujuan pendidikan dari perpektif konstruktifism adalah upaya-upaya yang disengaja untuk mempersiapkan para peserta didik dalam menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks dan kompetisi yang sangat ketat, terutama dalam menyongsong era perdagangan bebas. Dalam lingkup nasional, tujuan pendidikan bangsa Indonesia yaitu keinginan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang seutuhnya, artinya pendidikan harus diarahkan pada pemberdayaan masyarakat secara holistic, yaitu memperlengkapi baik secara konseptual, namun juga secara pragmatisnya. Pembelajaran untuk mewujudkan sasaran tersebut harus berorientasi pada siswa atau “student centered” sehingga siswa yang harus secara aktif belajar untuk melakukan apa yang hendak dipelajari (learning by doing).
Metode belajar yang menekankan keaktifan peserta didik dianggap sebagai sebuah metode yang paling efektif dalam membentuk pribadi-pribadi yang kreatif, kompetitif dan ulet. Metode belajar melalui proses pengalaman yang ditawarkan oleh paradigm konstruktifism sangat representative dalam mewujudkan harapan-harapan besar itu sehingga paradigm ini terimplementasi dalam berbagai bentuk metode pembelajaran yang paling popular beberapa waktu ini, misalnya melalui accelerated Learning, contextual Learning, quantum learning, dan beberapa bentuk lainnya.
D. Konsep Tentang Guru dan Murid Dari Perspektif Konstruktivisme
Kunci keberhasilan dari sebuah pembelajaran dalam paradigm ini adalah terletak pada individu secara khusus pembelajar, sedangkan metode, alat dan kondisi merupakan factor pendukungnya. Pendidik atau guru dari perspektif paradigm konstruktivisme hanyaberperan sebagai seorang fasilitator dan mediator dalam proses belajar, bukan “dewa pengetahuan” yang secara terus menerus melakukan penanaman konsepsi, melakukan indoktrinasi, atau yang sejenisnya. Demikian juga murid bukanlah individu yang pasif yang dengan apa adanya menelan konsep-konsep yang disampaikan oleh guru. Seorang pembelajar memegang peran sangat vital dalam keberhasilan suatu pembelajaran, bukan seperti anggapan yang terdapat pada paradigm konvensional yang menempatkan guru pada posisi sentral dalam diagram proses pembelajaran. Konsekuensi dari pemikiran ini maka seorang pendidik, menurut Hilda Karli[5]seharusnya :
1. Mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
2. Menekankan pada kemampuan minds-on dan hands on.
3. Mengakui bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konseptual.
4. Mengakui bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif.
5. Mengutamakan terjadinya interaksi social.
Meskipun peran guru bukan sebagai pusat dan actor penentu namun peranannya tidak dapat diremehkan.Kemampuan guru dalam memberikan stimuli-stimuli agar tercipta sebuah pengalaan belajar yang bermakna sangat membantu para peserta didiknya.
E. Konsep Tentang Pengetahuan dan Belajar Dari Perspektif Konstruktivisme
Pengetahuan dalam konteks ini dipahami sebagai konsepsi yang diperoleh secara progresif dan dinamis selaras dengan pengalaman pragtis seseorang sebab pengetahuan bukan sebuah refleksi ataupun imitasi dari realitas, namun merupakan akibat dari sebuah konstruksi kognisi dari sebuah realitas melalui serangkaian pengalaman yang sangat personal.[6]Dalam proses konstruksi pengetahuan, seorang murid lebih mengadalkan inderanya sendiri karena indera tersebut merupakan alat utama dalam proses pembelajaran. Murid belajar melalui optimalisasi panca indera terhadap apapun yang hendak dipelajari sehingga mereka sendiri yang akan mengalami pengetahuan itu. Pengalaman ini lebih bersifat konstruktif dan personal sehingga tidak mungkin terjadi transfer pengetahuan. Jadi pengalaman inderawi merupakan inti dari paradigm konstruktivisme.
Telah disinggung sebelumnya bahwa belajar merupakan sebuah proses konflik kognisi dalam diri seseorang dalam membangun/mengkonstruksi sebuah konsepsi baru dengan berdasarkan pada konsepsi lama dan membandingkannya dengan pengalaman masa kini, sehingga proses menjadi tahu tidak bersifat statistic dan deterministic melainkan dynamic dan holistic.Paradigm konstruktivisme secara pragtis berimplikasi pada beberapa prosedur pembelajaran yang meliputi apersepsi, eksplorasi, diskusi dan penjelasan konsep, serta pengembangan dan aplikasi.
Apersepsi dalam pembelajaran berarti upaya mengungkapkan kembali konsepsi dirinya tentang sesuatu dan berupaya untuk mengkaitkannya dengan konsepsi-konsepsi baru yang hendak dipelajari.Pada tahap eksplorasi seorang pembelajar berupaya melakukan penyelidikan secara mendalam melalui pengumpulan informasi-informasi, sistematisasi dan organisasi, dan selanjutnya mengemukakan tanggapan berdasarkan hal-hal tersebut.Selanjutnya adalah tahap pembandingan konsep dengan konsep orang lain untuk mendapatkan sebuah kepastian untuk meyakini konsep barunya, dan yang terakhir adalah fase pemantapan atau pematangan yang dilakukan baik melalui situasi pembelajaran yang kondusif maupun pengalaman di lapangan dalam kaitan dengan proses pemecahan masalah.
Pengaruh konstruktivism tehadap proses belajar sangat besar. Menurut Pannen[7] paling tidak ada 6 (enam) dampak dari pendekatan paradigm ini, yaitu bahwa belajar diartikan sebagai proses membentuk makna, proses itu terjadi secara kontinu, merupakan pembentukan pengertian baru, terjadi karena adanya konflik kognisi, dipengaruhi oleh realitas dan lingkungan, serta bergantung pada pengetahuan awal.
BAB III
HAKEKAT PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
A. Konsep Pendidikan Kristen
Secara umum pendidikan didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[8]Ada perbedaan yang sangat krusial antara pendidikan secara umum dengan pendidikan dalam konteks Kristen. Letak perbedaan itu bukan hanya dari segi definisi saja tetapi juga menyangkut dasar filosofi, tujuan, metode, maupun isinya, sehingga Samuel Sidjabat, tokoh Pendidikan Kristen Indonesia mengutip pandangan Robert W.Pazmino, mengemukakan pandangannya tentang pendidikan Kristen :
Pendidikan Kristen merupakan usaha bersengaja dan sistematis,ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, keterampilan-keterampilan dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga peserta didik hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, terutama dalam Yesus Kristus.[9]
Jika kita memperhatikan definisi tersebut maka akan tampak tiga aspek penting sebagai unsur pembentuk konsep Pendidikan Kristen, yaitu deskripsi, fungsi, dan filosofi. Bertolak pada aspek ini Werner G.Graendorf mengatakan bahwa :
Christian education is..
Descriptive a bible based Holy Spirit empowered (Christ center) teaching learning
process
Functional that seek to guide individuals at all levels of growth through
contemporary teaching means toward knowing and experiencing God’s
purpose and plan through Christ ini every aspect of living, and to equip
them for effective ministry.
Philosopic with the overall focus on Christ the master educators example and
command to make mature disciples.[10]
Secara deskriptif pendidikan Kristen merupakan proses belajar mengajar yang bersumber dari Alkitab yang dIhidupi dan diterangi oleh kuasa Roh Kudus dan keseluruhannya diarahkan dan berpusat pada Kristus, secara fugsional pendidikan Kristen merupakan proses pembimbingan secara pribadi pada segala level perkembangan melalui pengajaran yang relevan dengan maksud anak didik mengetahui dan mengalami tujuan dan rencana Allah melalui Kristus dalam setiap aspek hidupnya dan memperlengkapinya untuk pelayanan yang efektif, sedangkan secara filosofi pendidikan Kristen merupakan pendidikan yang keseluruhannya berfokus pada keteladanan Kristus guru agung dan perintahNya untuk mendewasakan anak didik.
Dari definisi tersebut kita menemukan beberapa hal penting bahwa pendidikan Kristen merupakan pendidikan yang berdasar pada Firman Tuhan, bergantung pada kekuatan dan penerangan Roh Kudus, berpusat pada Yesus Kristus, dengan maksud pendewasaan anak didik (membentuk anak didik menjadi pribadi yang berkembang dan berfungsi secara optimal) yang kemudian berimplikasi pada kehidupan pribadi, kehidupan social dan pelayanannya.
B. Pentingnya Pelaksanaan Pendidikan Kristen
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan sangat perlu dilaksanakan dan diberikan kepada setiap manusia, hal ini dipengaruhi oleh konsep tentang manusia sebagai sesuatu pribadi yang utuh. Siapa manusia itu ?jawaban atas pertanyaan ini sekaligus mendasari pentingnya pelaksanaan pendidikan. Manusia pada mulanya diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, yang memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang.Manusia bukan sekedar makluk biologis yang pembentukan mental dan fisiologis terjadi secara mekanis dan kebetulan saja. J.Edward Hakes berpendapat bahwa :
man is not merely a biological being who has the mechanism to make mental dan
physical adjustment ini relation to his environment. His psycophysical structure
does not constitute the fullness of his being. On this subject the schripture ia clear
when it says in Genesis 1:27 “so God created man in His own image, in the image
of Gog created Him…” likewise we read in Genesis 2:7 “then the Lord God formed
man of dust from the ground, and breathed into nostrils the breath of life, and man
became a living being (RSV).[11]
Secara umum manusia adalah makhluk yang berkembang, yang diciptakan Allah dengan karakteristik yang bervariasi, dan masing-masing berbeda tingkatan perkembangannya antara satu dengan yang lainnya dan itulah yang membuat mereka menjadi pribadi yang sangat unik. Hal ini dijelaskan oleh Warner bahwa :
learned must be understood as developing people. God has ordined that individuals
grow through various stages in life. Each stage contributes to and lays a fondation
for the stages that follow. As the individual develops, different kinds of needs or
met each stage has its growth, developmental patterns, and characteristics that are
generally typical of that stage. However, each individual may display differences in
the developmental pattern that make him uniquely an individual.[12]
Tetapi perlu disadari bahwa keadaan ini menjadi rusak oleh karena dosa manusia, sehingga segala potensi maupun karakteristik yang telah diberikan oleh Allah sebelumnya, cenderung mengarah kepada hal-hal yang jahat. Manusia perlu dipulihkan dan membutuhkan penolong yaitu Yesus Kristus yang mampu memulihkan dan membangun kembali gambar dan rupa Allah itu dalam dirinya melalui penebusan. Kaum injili berpendapat bahwa “ Through redemption the marred imago dei is in the process of being restored, and meaningless existence is radically righted”.[13]Bertolak pada fakta yang demikian, maka Pendidikan Kristen perlu dilaksanakan untuk membantu manusia mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Yesus.
Tujuan Pendidikan Kristen
Pada dasarnya semua pengajaran bertujuan membuat sesuatu terjadi dalam hidup sang murid atau dengan istilah lain pendidikan menghendaki adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari anak didik, Clarence H Benson mengungkapan hal itu melalui statementnya dengan mengatakan bahwa “ the object of our teaching is to make something happen in life our pupil, the test of our teaching is what happens in life of our pupil”[14]. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pada intinya tujuan pendidikan Kristen ataupun pendidikan secara umum menghendaki terjadinya suatu perubahan dalam hidup anak didik, hal ini memancing suatu pertanyaan yaitu perubahan seperti dan dalam hal apa yang diharapkan terjadi ? Cornelius Jaarsma menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan :
when one has learned, he can do something he could not do before, he knows
something he did not know before, he feels for or against something he felt
differently toward before, and he want something he did not want before, in short,
some change has taken place in one’s behaviour in general that influences him in
his relationship to future situation comforting him.[15]
perubahan itu meliputi kemampuan, pemikiran maupun pemenuhan kebutuhan yang kemudian berpengaruh pada keseluruhan tingkah laku secara umum yang berhubungan dengan situasi masa datang yang diperhadapkan pada dirinya.
Pendidikan Kristen sangat berbeda dengan pendidikan pada umumnya dalam hal penetapan tujuan, karena pendidikan Kristen bukan hanya mengutamakan pemindahan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan guru kepada murid saja, tetapi lebih dari pada itu menghendaki adanya transformasi kehidupan guru kepada murid. Lawrence O. Richard menyatakan :
much education is concerned with helping people know what their teachers know.
Christian education is concern with helping people become what their teacher
are…we are concern about transformation, we teach to communicate and to build
up the lift of God which faith in Christ plans firmly in the believer. In Christian
education seeks to support a process of growth; the gradual growing up of believer
into Christ and into ever more adeguate representation of His character.[16]
Pendidikan Kristen bertujuan membangun kehidupan anak didik menuju kematangan pada tingkat tertentu yaitu suatu proses menuju kepada keserupaan dengan Kristus (Christlikeness). Hal ini (tujuan pendidikan) juga diungkapkan oleh Kenneth O.Gangel yang dapat kita lihat melalui penjabarannya mengenai dasar pelaksanaan program pendidikan Kristen di Gereja yang isinya sebagai berikut :
1. The church’s educational ministry is carry on by those who are first gifted by God to teach and then given to the church for that purpose.
2. the purpose of the church’s educational ministry is to make God’s people mature so that they can minister. Maturity is an edification or a”building up” process.
3. If the church’s educational ministry is properly carry on, the end resul will be maturity in individual believer and harmonious relationship between the believer collectively. The process of growing into this maturity and harmony is the process of becoming more like Jesus Christ.
4. The church’s educational ministry is highly theological, producing discerning students of truth of who are able-because of understanding of truth-to detect and avoid error.
5. A properly functioning church educational ministry will effectively combine truth and love, and not sacrifice either one on the altar of the other. A mature Christian will be like His Lord, “full of grace and truth”.
6. A properly fuctioning church educational program does not concist only of few teachers and many learners but will actually be carried on for mutual edification as God’s people help each other to grow in spirituality.[17]
Menurutnya pendidikan itu penting karena merupakan karunia Tuhan untuk memenuhi tujuan-Nya, yaitu membentuk umat-Nya menjadi dewasa/matang (Christlikeness), sehingga dapat melayani. Kedewasaan itu juga akan terimplementasi kepada hubungan yang harmonis di dalam kehidupan kelompoknya. Pendidikan itu juga akan menghasilkan murid-murid dalam kebenaran yang mampu (oleh karena pengetahuannya akan kebenaran) menghindari kesalahan/pelanggaran, murid yang penuh dengan belas kasih yang mampu membangun orang lain dalah kehidupan rohani. Dari berbagai pandangan tentang maksud ataupun tujuan yang telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, Eli Tanya menyimpulkannya menjadi enam tujuan, yaitu :
1. Kesadaran akan kehadiran Allah Roh Kudus dalam kehidupan manusia.
2. Kesadaran akan Kristus dan menghargai pribadi serta ajaran-Nya.
3. Mengembangkan watak Kristus.
4. Berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat.
5. Berpartisipasi dalam pembangunan Gereja.
6. Menganut falsafah hidup Kristen.[18]
Dari segi isi, tujuan pendidikan Kristen ini pada hakekatnya tidaklah jauh berbeda dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh komisi PAK Dewan Gereja-Gereja Indonesia yang isinya sebagai berikut :
Mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang
nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh Kudus ia datang ke
dalam suatu persekutuan hidup dengan Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam kasihnya
terhadap Allah dan sesamanya manusia, yang dihayati dalah hidupnya sehari-hari,
baik dengan kata-kata, maupun perbuatan selaku anggota tubuh Kristus yang
hidup.[19]
Dari beberapa penjabaran tujuan pendidikan Kristen tersebut dapatlah kita tarik suatu kesimpulan bahwa tujuan itu tidak hanya berpusat pada kematangan kehidupan rohani (Christlikeness) diri pribadi saja, melainkan kematangan kehidupan pribadi itu juga terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam pelayanan Gerejawi.
Bagaimana Tujuan Pendidikan Dapat Dicapai
Tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya tidak secara otomatis terwujud di dalam dan melalui suatu proses belajar dan mengajar. Program-program yang disusun untuk mencapai tujuan (goals) perlu dikelola sedemikan rupa sehingga mampu mewujudkan tujuan akhir (aims) yang telah ditetapkan. Perlu adanya kerja keras untuk mewujudkan tujuan tersebut, Eli Tanya berpendapat bahwa tujuan akhir itu bisa dicapai melalui system organisasi atau administrasi yang cermat :
Program-program PAK Gereja atau jemaat haruslah dikelola, diadministrasi,
disupervisi, diorganisasi dan dievaluasi dengan perencanaan yang hati-hati, jikalau
Gereja atau jemaat menghendaki hasil yang sebaik mungkin. Kurikulum yang
dirancang dengan baik, metode atau teknik yang sesuai dengan kelompok tertentu
dan pengetahuan tentang para pelajar cukup, kesemuanya ini tidak memberi
keberhasilan yang diharapkan tanpa adanya organisasi atau administrasi pendidikan
Gereja yang baik.[20]
System pengorganisasian dan pengadministrasian sangat menentukan tercapai atau tidaknya suatu tujuan.Banyak orang di kalangan Kristen sendiri yang beranggapan bahwa masalah organisasi atau administrasi itu tidak Alkitabiah dan cenderung secular, sehingga penggunaan sistem itu di Gereja atau dalam pendidikan Kristen perlu ditolak.Sebenarnya kita tidak perlu memperdebatkan masalah ini sepanjang organisasi atau administrasi itu menggunakan asas-asas yang Kristiani. Randolf C.Miller menjabarkan asas-asas pengorganisasian Pendidikan Kristen yang alkitabiah menjadi 4 (empat) hal, yaitu :
1). Sederhana : artinya hubungan dari berbagai kegiatan pedagogis dari komisi atau departemen jangan menjadi kacau/tumpang tindih.
2). Fleksibel : artinya sesuai kebutuhan yang ada, maka orang dapat diubahkan untuk memenuhi kebutuhan jemaat/untuk menghindari rutinitas.
3). Penyesuaian : menurut tingkatan atau golongan dengan bermacam-macam kebutuhan.
4). Demokrasi : dimana terdapat prosedur demokratis dan pendelegasian pertanggung
jawaban yang menjamin efisiensi pekerjaan.[21]
Pengorganisasian atau pengadministrasian dalam pendidikan Kristen tidak berarti menghilangkan peran Roh Kudus di dalamnya.Roh Kudus tetap memegang peran sentral yang tidak bisa digantikan oleh pribadi dan system apapun. Pendidikan Kristen tidak akan berhasil mencapai tujuannya jikalau hanya bergantung pada hukum-hukum alamiah dan prinsip-prinsip pendidikan secara umum saja, perlu ada karya Roh Kudus untuk menghidupi suatu proses pengajaran
Christian teaching must follow very definite principles. The laws of mind are as
fixed as any other law are, and the child in his spiritual growth and development,
uses and is dependent basically upon the same mental processes that apply to
education in other lines. Though this be true, the teaching of Christian truth does
not imply the God exists as a reality : no amount of teaching avails apart from the
operation of the Holy Spirit in the heart and life of the one taught.[22]
Pernyataan yang diungkapkan oleh CB Eavey tersebut mengungkapkan dengan jelas bahwa belum cukup jika pengajaran Kristen hanya mengandalkan prinsip-prinsip alamiah saja, perlu keterlibatan Roh Kudus di dalamnya.
Oleh sebab itu untuk mencapai tujuan akhir perlu memperhatikan hal-hal berikut : unsur-unsur pendidikan, visi dan misi, kurikulum, metode, administrasi, serta proses pembelajaran, yang kesemuanya itu dikelola dengan baik dengan melibatkan Roh Kudus untuk mengarahkan sampai terwujudnya tujuan akhir yang dikehendaki.
Konsep Manusia atau Murid Dalam Perspektif Pendidikan Kristen
Bagaimana pendidikan memandang konsep tentang manusia/anak didik sangat menentukan konsep dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Siapa manusia itu dalam pendidikan Kristen ?untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan penelaahan secara hati-hati sehingga pendidikan yang diberikan akan tepat mengenai sasaran sesuai dengan maksud Tuhan. Pada bagian sebelumnya (pentingnya pelaksanaan pendidikan Kristen) sudah dijelaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, yang mewarisi segala potensi untuk dapat berkembang, seperti yang dikatakan oleh B.Samuel Sidjabat bahwa :
Maksudnya guru dalam perspektif pendidikan Kristen harus memiliki keyakinan
bahwa anak didik bukanlah semata makluk biologis, psikologis, sosiologis dan
cultural, tetapi terutama bahwa ia adalah makluk religius. Ini sesuai dengan dengan
penjelasan Alkitab bahwa manusia diciptakan Allah sesuai dengan “gambar dan
rupa-Nya”(kej 2:7). Manusia diciptakan untuk menguasai dirinya sehingga dapat
memainkan perannya, mengembangkan segala daya dan potensinya dalam terang
kehendak Allah.[23]
Tetapi fokus pendidikan Kristen perlu diarahkan juga kepada suatu fenomena bahwa manusia atau anak didik adalah pribadi yang telah berdosa.Gambar dan rupa Allah itu telah hancur, sehingga manusia hidup dalam kegelapan dan dalam keadaan yang tidak berpengharapan. Kenneth O. Gangel mengutip pendapat Torrey mengatakan bahwa ;
The bible teaches us, of course, that man was made in the image of God but that
Image was marred at the fall. In his classic text, what the bible teaches
(revell)….torrey develops seven other propotions and the concludes : the persent
Standing or condition of man out of Christ is pictured in the bible as dark and
Hopeless.[24]
Kejatuhan manusia kedalam dosa ini mengakibatkan kelumpuhan segala potensi dan seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga muncul kecenderungan yang sifatnya negatif dan destruktif. Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang serius dalam pendidikan Kristen, Samuel Sidjabat juga menyatakan
Meskipun demikian guru tidak boleh lengah.Ia tidak boleh menutup mata terhadap
realitas kecenderungan negatif dan destruktif dalam diri peserta didik. Bahkan
terhadap kecenderungan negatif dalam diri guru sendiri…kelemahan yang
dimaksud mencakup kurang percaya diri, ketakutan, kecemasan, kemalasan,
kekerasan hati, atau kedegilan, bahkan kebodohan secara intelektual dan moral.
Kita tahu bahwa Alkitab memberi jawaban atas masalah sisi negatif imi karena
kejatuhan manusia ke dalam dosa (kej 3). Selanjutnya dosa telah memasuki dan
berusaha melumpuhkan secara potensi dan segi-segi kepribadian umat manusia.[25]
Konsep anthropologi dalam pendidikan Kristen harus melihat manusia dari berbagai sisi kehidupannya secara seimbang, oleh sebab itu kita juga perlu mempertimbangkan konsep anthropologi yang Kenneth O.Gangel tawarkan, yaitu “Image Centered” yang dibagun di atas dasar kebenaran yang alkitabiah :
The image approach to Christian anthropology is based on three biblical truths :
Man was created in the image of God (Gen 1:26).
When sin entered the race through Adam, the image of God in man
was marred (Rom 5:19).
God has provided a means, Christ’s death on the cross, through which man can be restored to salvation and fellowship with god ( I Cor 15:22).[26]
Prinsip itu adalah manusia diciptakan menurut citra Allah, ketika dosa masuk citra itu menjadi rusak, Allah memulihkan keadaan itu melalui karya Kristus di kayu salib sehingga citra itu dibangun kembali sehingga manusia mampu berhubungan kembali dengan Allah, Oleh sebab itu melalui pendidikan Kristen, manusia atau anak didik dituntun untuk menyadari jati dirinya dan kebutuhannya akan pemulihan dari kondisi saat ini, mempertemukannya dengan Kristus, membimbingnya kepada pengenalan akan Tuhan secara benar, dan bertumbuh kepada kedewasaan iman, sehingga seluruh potensi itu dapat dioptimalkan dalam hidupnya.
Pengetahuan Menurut Pendidikan Kristen
Istilah pengetahuan merupakan salah satu istilah yang paling banyak mendatangkan interpretasi dari para tokoh multi disiplin ilmu dalam sepanjang sejarah. Ada banyak definisi yang dikemukakan baik secara filosofi, pedagogi maupun dari sisi yang lain. Lorens Bagus berpendapat bahwa pengetahuan merupakan
Proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya
sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subyek) memiliki yang diketahui
(obyek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu
menyusun yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[27]
Pengetahuan merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu proses (belajar) secara sadar di dalam kehidupan.
Allah telah menunjukkan suatu fakta melalui kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa dalam kitab Kejadian 3, bahwa Iblis telah menawarkan suatu pengetahuan di luar Allah kepada manusia, dan pengetahuan inilah yang membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Fakta prinsipil inilah yang seharusnya dipahami dalam suatu Pendidikan Kristen, bahwa segala daya dan upayanya seharusnya diarahkan untuk mendapatkan pengetahuan seperti yang Allah sendiri janjikan, karena jika tidak, maka iblislah yang akan mengambil kesempatan ini untuk menawarkan suatu pencarian pengetahuan di luar Tuhan yang pada hakekatnya adalah semu.
Dalam konteks kekristenan salah satu ayat penting yang menjelaskan tentang pengetahuan adalah Kitab Amsal 1:7, ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa pengetahuan yang dimaksud adalah hikmat, artinya pengetahuan tentang kebijaksanaan, tentang apa yang seharusnya dicari oleh manusia sebagai pedoman bagi kehidupannya.[28] Untuk mendapatkan itu memang memerlukan suatu proses, tetapi hal yang terpenting adalah usaha atau proses tersebut harus didasari oleh rasa takut akan Tuhan.
Kurikulum Pendidikan Kristen
Pengertian kurikulum pada awalnya, berbeda dengan pengertian yang kita pahami saat ini. Peter P.Person menjelaskan pengertian itu sebagai berikut :
The word curriculum comes from the latin word ‘curro” which means “to run” the
Curriculum is thus “race track” educationally speaking it is the ground we must
Cover in order to reach our goal”. The word curriculum “implies activity, but
Activity without a goal is merely riding on a merry go round”[29]
kurikulum arti sebenarnya adalah gelanggang pertandingan atau perlombaan yang kemudian dalam pendidikan diberi makna sebagai dasar yang perlu diusahakan untuk menjangkau suatu tujuan.
Dalam konteks pendidikan Kristen, kurikulum merupakan perencanaan yang spesifik dari Gereja untuk menyempurnakan tujuan akhir atau aktifitas guru dan murid yang berhubungan dengan Firman Tuhan demi tujuan membantu murid dalam mencapai kedewasaan secara penuh di dalam Yesus Kristus. “The curriculum of Christian education may be defined as the specific plans of a church agency for accomplishing its aims or as the activities of teachers and pupils in relation to scripture for the purpose of leading pupils toward maturity in Christ”[30]
demikian pandangan yang dikembangkan oleh Louis E Le Bar, bahwa inti dari sebuah kurikulum adalah suatu perencanan yang dirancang untuk mencapai sebuah tujuan.
Ada dua elemen penting yang merupakan bagian integral dari sebuah kurikulum, yang keduanya harus ada dan saling melengkapi, yaitu unsur isi dari kurikulum, maupun unsur pengalaman. Lois juga mengatakan bahwa
The two elements that constitute the curriculum may be expressed as content and
Experience, or factor outside the pupil and factor inside the pupil. Both are
Necessary. In christian content without experience is empty; experience
Without content is blind. The way in which these two elements are related to other
Determines the result that will be achieved.[31]
kurikulum harus memuat dua unsur penting tersebut karena jika isi kurikulum tanpa diimbangi dengan pengalaman maka kurikulum itu menjadi tidak berarti (kosong), dan juga sebaliknya pengalaman tanpa diimbangi dengan isi maka kurikulum akan kehilangan arah dan tujuan (buta), oleh sebab itu akan terjadi ketimpangan jika kurikulum pendidikan Kristen hanya difokuskan kepada isinya saja. Kenneth O.Gangel mengungkapkan hal ini, sekaligus mengutip peryataan Wyckoff dengan mengatakan bahwa “The traditional definition of curriculum, now accepted by very few, focused only on the content or actual material used in educational. More recently Wyckoff defined curriculum as “selected educational procedures used to further the achievement of the aim of Christian education”.[32]Definisi kurikulum tradisional yang telah diterima secara umum selama ini hanya berfokus pada isi atau materi actual saja.Baru-baru ini Wyckoff mendefinisikan kurikulum sebagai prosedur-prosedur pendidikan terpilih yang digunakan sebagai prestasi teknik lebih lanjut dari tujuan pendidikan Kristen.
Jadi kurikulum pendidikan Kristen perlu disusun dengan bebagai pertimbangan yang menyangkut isi maupun pengalaman, Kurikulum harus dibangun berdasarkan dan berlandaskan pada firman Tuhan (bible as Curriculum fondation), diarahkan/difokuskan kepada Kristus (Christ as curriculum focus), dan murid adalah obyek atau sasaran dari kurikulum tersebut (pupil as curriculum object). Prinsip-prinsip inilah yang perlu dikembangkan dalam kurikulum pendidikan Kristen.
Metode Pendidikan Kristen
Metode merupakan salah satu unsur penting yang turut menentukan berhasil dan tidaknya dalam pendidikan Kristen. Menurut Werner G.Graendorf “method is an instrument used by the teacher to communicate to the learner the knowledge, ideal or truth under consideration”[33] Metode merupakan instrument yang dipakai oleh guru untuk mengkomunikasikan pengetahuan, ide-ide, atau kebenaran yang sedang dipertimbangkan.
Meskipun peranan metode sangat penting dalam menentukan keberhasilan dalam mencapai tujuan perlu disadari bahwa metode hanya sebatas alat saja, dan tidak boleh posisinya tergeser menjadi tujuan dari pendidikan itu sendiri, I.H.Enklaar menyatakan :
Metode senantiasa hanya jalan dan alat saja, bukan tujuan. Kita harus selalu
menuju kepada maksud Firman Allah; tidak boleh kita mempergunakan metode kita
supaya mendapat hasil dan sukses secara duniawi. Dengan rendah hati dan setia
patutlah kita melayani Firman Tuhan dengan cara yang kita pakai dalam pekerjaan
kita, serta mengharap bahwa metode-metode itu akan menghasilkan iman,
pengetahuan dan penuturan yang sejati dalam hidup murid-murid kita.[34]
Metode haruslah tetap menjadi alat dalam mengarahkan perhatian anak didik, membantu mereka dalam memahami isi Alkitab, mengkorelasikannya dengan kehidupan serta memelihara komitmen pribadi mereka.Metode hanya alat yang dipakai oleh guru untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu perubahan dan pertumbuhan. Hal ini yang diungkapkan oleh Werner G.Graendorf dalam mengembangkan konsep tentang metode yang tercermin dalam pernyataannya :
Our definition of method must point toward something that can be used in such
Areas as securing the interest of the student, assisting the student in understanding
The biblical content, relating the biblical content to life, and securing personal
Commitment ; thus methods are instruments (tools, vehicles, activities, processes)
The teacher utilizes in leading a student through a learning experiences that causes
The learner to change and grow.[35]
Penekanan dan perhatian yang terlalu berlebihan pada metode akan berdampak negatif tetapi jika metode dipahami dan dipakai secara proporsional maka Allah juga bekerja melaluinya dalam memelihara dan mengasuh kehidupan rohani umatnya dalam pendidikan “the holy Spirit works through methods to bring about spiritual nurture the creative use of a variety of methods facilitates learning and thus fasters spiritual change and maturation”[36].
Ada beberapa factor penting yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan. Peter P.Person menjabarkannya menjadi 5 faktor :
The choice of method will depend upon five factor :
the teacher’s skill and interest.
the curriculum used
the age of the pupils
the specific objective of the course
the environment and equipment.[37]
lima faktor ini meliputi : keterampilan dan ketertarikan guru, kurikulum yang dipakai, usia anak didik, obyek dari pembelajaran, serta sarana dan prasarana akan turut menentukan metode apa yang harus dipilih dalam suatu proses pendidikan. Samuel Sidjabat juga memberikan kontribusi bagi pengajaran Kristen agar mempertimbangkan beberapa hal sebelum memilih metode, yaitu :
Kemampuan dan keterampilan guru dalam menggunakan metode.
Kebutuhan peserta didik.
besarnya kelompok.
Tujuan pembelajaran.
Keterlibatan peserta didik.
Kesesuaian dengan bahan pengajaran.
Fasilitas yang tersedia.
Waktu tersedia.
Variasi pengalaman belajar.
Keterampilan tertentu peserta didik.[38]
Ada banyak jenis metode yang dapat dipakai dalam pendidikan Kristen, dari jenis metode yang konvensional sampai jenis yang lebih modern, namun secara garis besar jenis-jenis metode dapat diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu :
1. One type communication : there is teacher to student communication and student to teacher communication.
2. Two way communication between teacher and student.
3. Group activities.
4. Non classroom activity.[39]
Demikian penting peranan metode pada suatu proses pembelajaran guna membantu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, akan tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang serius sebelum memilih dan menggunakan metode tertentu, sehingga metode itu sendiri dapat berfungsi secara optimal.
Isi Pendidikan Kristen
Tujuan yang hendak dicapai dalam suatu pendidikan Kristen turut mempengaruhi isi atau content daripada pendidikan itu sendiri, tetapi pada dasarnya isi pendidikan itu disusun berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan yang mendalam dan mengikuti prosedur-prosedur yang sesuai dengan Alkitab. Bertolak pada pemikiran ini Eli Tanya mengemukakan beberapa prosedur isi dalam pendidikan Kristen, yaitu :
1). Sesuai dengan Alkitab, meskipun bahan tidak selalu dari Alkitab.
2). Sesuai dengan pengakuan/ajaran Gereja.
3). Kurikulum harus memanfaatkan ilmu pedagogi.
4). Kurikulum harus memperhatikan petunjuk-petunjuk psikologis belajar.
5). Kurikulum harus memperhatikan penemuan-penemuan sosiologi.
6). Kurikulum harus disesuaikan dengan kubutuhan Gereja
7). Kurikulum harus sesuai dengan kebutuhan pengajaran yang diberikan (sekolah
minggu, dewasa, atau yang lain).[40]
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka mencoba merumuskan isi pendidikan itu sebagai berikut :
1). Iman Kristen yang berisi dogma-dogma
2). Alkitab sebagai Firman Allah.
3). Kehidupan Kristen.
4). Masalah-masalah social.
5). Hubungan dunia.[41]
Lebih lanjut Iris V.Cully menjabarkan apa yang sebenarnya menjadi inti dari isi pendidikan Kristen kedalam 3 (tiga) garis besar, yaitu tentang kegiatan Allah, karya penyelamatan Allah, dan pekerjaan Roh Kudus.[42]
Diperlukan beberapa pertimbangan dalam menyusun suatu isi dari pendidikan Kristen, tetapi prinsip utamanya adalah Alkitab harus menjadi dasar pijakan dari setiap materi pendidikan
BAB IV
KAJIAN TERHADAP PARADIGM KONSTRUKTIVISME DARI PERPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN KRISTEN
A. Kajian Terhadap Konstruksi Pengetahuan ( Konsep dan Proses).
Paradigm konstruktivisme cenderung memfokuskan orientasinya hanya pada masalah “proses” karena memang pada hakikatnya merupakan filsafat pragmatism yang lebih menekankan pada tataran praxis daripada masalah-masalah yang bersifat teoritis atau konseptual semata. Proses bagaimana seorang individu memperoleh pengetahuan lebih penting dari pada apakah hakekat pengetahuan itu sendiri sehingga penekanan pemikiran ini adalah bagaimana menciptakan kondisi yang memadai dalam proses konstruksi pengetahuan, mempersiapkan pengalaman pembelajaran yang efektif, mempersiapkan sumber-sumber penunjang pembelajaran secara holistic, serta mempersiapkan integrasi secara menyeluruh dalam setiap pembelajaran.
Dari perspektif pendidikan Kristen “proses menjadi tahu” memang menjadi bagian pembahasan yang cukup penting, namun “proses” ini dipahami bukan sebagai sebuah “pengalaman” yang berjalan secara alamiah, liar dan tidak memiliki sasaran yang jelas. Alkitab secara terang sejak permulaan bahwa hasrat untuk memperoleh pengetahuan ini menjadi sebuah hasrat yang sangat membahayakan jika tidak didasari oleh rasa takut kepada Tuhan. Proses memperoleh pengetahuan yang demikianlah yang membuat malaikat jatuh ke dalam dosa, manusia kehilangan kemulyaannya. Proses memperoleh pengetahuan yang naturalistic cenderung destruktif bagi diri manusia sendiri oleh sebab itu paradigm konstruktifisme memerlukan sebuah landasan filosofis sekaligus teologis supaya peserta didik menemukan pengetahuan yang benar-benar konstruktif.
Filosofis pendidikan Kristen juga memberikan sumbangsih besar bagi paradigm ini sebab, jika dalam paradigm ini pengetahuan yang diupayakan hanya bersifat inderawi/sensible yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui penginderaan semata, maka pendidikan yang teologis melampau batas limitasi inderawi karena dalam pendidikan yang teologis Allah berkenan membuka rahasia-rahasia pengetahuan yang pada hakikatnya melampaui kemapuan manusia dalam menginderanya yaitu pengetahuan-pengetahuan tentang Allah (revelation). Memang hal ini menjadi tantangan paling besar yang dihadapi oleh pemikir masa kini, bahwa bagaimana mungkin manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang pencipta, bisakah yang terbatas memahami yang tak terbatas. Secara logis memang tidak akan mungkin manusia memperoleh pengetahuan di luar kemampuan manusia yang sangat dipengaruhi oleh segala keterbatasannya, namun harus diyakini bahwa dalam teologi Kristen berpijak pada presupposisi bahwa Allah sendiri yang berinisiatif untuk menyatakan diri-Nya sendiri sehingga manusia mampu memahami diri Allah sebatas apa yang Allah nyatakan. Pemahaman inilah yang disadari sepenuhnya oleh Calvin sehingga ia menekankan pembahasannya yang berkenaan dengan masalah tersebut pada dua pokok penting seperti yang diungkapkan oleh Peter Lewis :
First, God must be known in His nature and character more than terms of His essence. God essence is largely beyond our knowing and it is enough for us to worship Him in His immensity and his…
Second, it is a favourite emphasis in Calvin that pietas, piety in which reverence and love God are joined, is prerequisite to any true knowledge of God the knowledge of God must be personal, penitential and devout, in a word it must be responsive.[43]
Calvin berpandangan bahwa mereka yang bersikeras untuk memutuskan masalah “apakah Allah itu” dan “bagaimana eksistensinya” hanyalah akan bermain-main dengan teori-teori yang sia-sia belaka karena kesemuanya itu jauh melampaui kemampuan akali manusia, menurut Calvin lebih berguna untuk mengetahui bagaimana karakter Allah, dan hal-hal apa yang sesuai dengan kehendakNya, untuk kemudian mengenal ia secara pribadi dalam respon dan penyembahan yang benar, sehingga dalam pendidikan yang Kristiani berupaya bukan hanya memperoleh pengetahuan namun bagaimana mengaktualisasikannya menjadi pengetahuan yang bermakna bagi manusia itu sendiri.
Pengetahuan dalam perpektif Kristen, meskipun seringkali bersifat supranatural namun hal itu dapat dimengerti oleh pemikiran manusia karena pengetahuan kristen merupakan suatu disiplin intelektual/berpikir yang mengikuti prosedur-prosedur untuk menyajikan suatu statement yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara keilmuan, maupun secara rohani.
Theology is an intellectual discipline that aims at setting forth in an orderly manner the content of a religious faith. This definition already indicates some of the peculiarities of the subject. Calling theology an intellectual discipline involves the claim that theology has its legitimate place in the spectrum of human knowledge and the claim that it can make true statements. Therefore it can also point to defensive intellectual procedures in support of the these claims.[44]
Ada beberapa keberatan yang muncul berkenaan dengan kemungkinan didapatkanya kebenaran dan pengetahuan dari dalam Alkitab sendiri karena menurut beberapa kalangan sangat mustahil menemukan suatu kebenaran yang obyektif melalui usaha apapun, terutama kaum Humanism yang tidak tertarik lagi terhadap proses exegesis yang mungkin menurut mereka sangat bertele-tele dan membuang banyak waktu dan tenaga. Pada umumnya mereka beralasan pada dua hal
First, the assume that it is impossible to get back to original text of scripture[45] in other words, no one can really know for sure what Jesus or the apostles actually did or said. They do not trust the Gospels or the Epistles because the assume that the New Testament is fraudulent in content as well as in authorship.
Second, they also assume that if, by some kind of miracle, we could get back to the original text, it would not do us any good because it is impossible to know what the authors of the bible meant by their words.[46]
namun pada dasarnya secara teologis seharusnya kita yakin dan optimis akan kemungkinan menemukan kebenaran dan pengetahuan yang telah terekam dalam Kitab suci tersebut dengan melalui suatu proses exegesis yang cermat dan berhati-hati
The last bastion where objective and absolute meaning can be found is in Evangelical theology. Evangelicals believes that it is possible to find the objective”true”meaning of a given text of Scripture by following the rules of grammar and syntax combined with the literary context and style of the passege and the historical, cultural context of the author. There will be only one true interpretation of the text which faitfully expounds what the author was saying. All other interpretations are false.[47]
Pandangan ini cukup memadai dalam menjelaskan kepada kita bahwa ada suatu kemungkinan untuk menemukan kebenaran obyektif yang diberikan teks kitab suci melalui usaha yang prosedural dengan mempertimbangkan beberapa aspek misalnya gramatikal, sintaksis, yang dipadukan dengan konteks literal dan gaya bahasa, sejarah dan konteks budaya penulis. Pandangan ini juga didukung oleh asumsi dasar berteologia Injili, bahwa Alkitab yang kita miliki adalah cukup (sufficientia) yang dapat menjawab segala pertanyaan apa saja yang kita ajukan kepadanya asalkan melalui suatu proses penafsiran yang berhati-hati
God has not given us simply of wonderful mottoes. He has give us a book of perfect logic, presenting the ideas that He wants us to have about spiritual things. He has give us a collection of data, from which we can leran much about the past of this universe, about His plan for its future, and about His will for every one of us. It is His desire that we should interpret the Bible carefully, seeing the relation of its word to their context, considering them in the original langusges, seeking to determine exactly what thy mean. No other attitude will receive God’s full approval. We must study His Word on a thoroughly scientific basis.[48]
Jadi pengetahuan dalam perpektif pendidikan Kristen bukanlah sekedar kumpulan dari asumsi-asumsi yang tidak memiliki nilai sama sekali, melainkan penyataan diri Allah yang actual dan berimplikasi pada dinamika kehidupan manusia menuju kepada kesempurnaan hidup (Christlikeness).
Ada keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Filsafat Pendidikan Kristen dibandingkan dengan filsafat/kepercayaan lain, yaitu bahwa Allah merupakan subyek, yang secara aktif mencari manusia dan memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan manusia itu sendiri hanyalah sebagai obyek.[49]Dari bagian awal sampai penutup Alkitab menunjukkan bahwa Allah berperan secara aktif dalam mencari manusia untuk mengkomunikasikan segala pengetahuan.
Tindakan ini sangat penting oleh karena penyataan Allah merupakan cara Allah sendiri berkomunikasi dan menyatakan diri-Nya[50] kepada semua orang di segala waktu melalui penyataan umum-Nya dan kepada orang-orang tertentu pada waktu-waktu tertentu melalui penyataan khusus-Nya. Penyataan Allah tidak hanya dimaksudkan supaya manusia mengenal oknum Allah saja, tetapi juga apa yang telah Ia lakukan, tentang ciptaan-Nya dan hubungan antara Allah dan manusia. Hal ini merupakan informasi yang riil, obyektif dan rasional dari Allah kepada manusia.
Jadi tujuan penyataan Allah adalah untuk mengkomunikasikan kebenaran kepada pikiran manusia. Melalui cara inilah Ia menyatakan kepada makhluk ciptaan-Nya, apa yang tidak mungkin diketahui oleh manusia dengan cara lain termasuk dengan kemampuan rasionya[51] oleh sebab itu sebagian penyataan Allah sulit diterima oleh rasio manusia bukan karena bertentangan dengan rasio, tetapi memang sebagian melampaui batas kemampuan rasio manusia seperti yang diungkapkan oleh John Lock “penyataan merupakan komunikasi dari proposisi-proposisi yang benar, sebagian melampaui apa yang ditemukan hanya oleh rasio”[52]. Dari uraian tersebut maka sangat jelas bahwa penyataan Allah tidak sekali-kali dimaksudkan untuk memenuhi atau menjawab keragu-raguan manusia, bukan untuk sarana pemenuhan kesenangan manusia dan kepuasannya namun sebagai sarana pendewasaan manusia.
B. Kajian Terhadap Konsep Manusia (peserta didik dan guru) Dari Kedua Perspektif
Peserta didik dan pengalaman hidupnya merupakan seluruh pusat perhatian dan orientasi dari pembelajaran konstruktifisme sehingga pengalaman merupakan bagian yang paling menentukan keberhasilan pembelajaran itu sendiri. Peserta didik menjadi indicator sekaligus factor penentu bagi konstruksi pengetahuan, bukan metode belajar, bukan guru, maupun ketersediaan fasilitas, Sehingga paradigm ini sangat “student centered”. Dalam perspektif pendidikan Kristen memang tidak menafikan sama sekali peran penting pengalaman dan pribadi peserta didik, namun natur manusia sebagai makluk yang berdosa cenderung mengarahkan prilaku dan pengalamannya pada sebuah tindakan yang menjauh dari kebenaran dan pengetahuan yang sejati sehingga pengalaman dan proses hidup itu harus terus dibangun dengan control Firman Tuhan dan kuasa Roh Tuhan agar mengarahkan proses pembelajaran kepada kebermaknaan hidup.
Dalam perpektif pendidikan Kristen pengetahuan yang mungkin dapat diperoleh oleh peserta didik bersifat sangat holistik, bagaimana hal itu mungkin? karena Allah telah menanamkan dalam diri manusia potensi-potensi yang memungkinkan manusia mampu untuk memahami sedikit dari apa dan bagaimana Allah itu. Potensi itu adalah :
a. Kemampuan untuk berfikir
b. Kemampuan untuk berhubungan dengan Allah.
Allah telah merancang manusia sedemikian rupa sehingga memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan makhluk lainnya, yaitu diciptakan serupa dan segambardengan Allah (Kej 1:27) sendiri, artinya manusia dibekali dengan potensi-potensi seperti halnya Allah sehingga memungkinkanya/ memiliki kapasitas untuk dapat berhubungan dengan Allah
Human life was created in (lit.”as” meaning “in essence as”) the image of God. This image was imparted only to humans (2:7). Image (selem) is used figuratifvely here, for God does not have a human form. Being in God’s image means that human share, though imperfectly and finitly, in God’s nature, that is, in His communicable attributes (life, personality, thruth, wisdom, Love, holiness, justice), and so have the capacity for spiritual fellowship with Him.[53]
Bahkan ketika Allah menghebus/meniup debu yang telah dibentukNya maka terjadi transformasi sehingga debu itu bukan hanya menjadi makhluk yang hidup, tetapi juga makhluk rohani dengan kapasitas untuk melayani dan bersekutu dengan Allah. “God’s breathing the breath of laife into man transformed His form into Living being (Lit. “a living soul”) this made man a spiritual being, with a capacity for serving and fellowshipping with God”[54]. Kapasitas yang luar biasa ini pada akhirnya hancur oleh karena dosa manusia yang berdampak terputusnya hubungan antara Allah dan manusia, namun Allah tetap memiliki rencana untuk memulihkan kondisi tersebut melalui penebusan Yesus Kristus.
Hal ini sangat penting, bahwa Allah telah membuka diri untuk menjalin suatu hubungan dengan manusia melalui Yesus Kristus sehingga siapa yang menerima Kristus telah memiliki akses untuk dapat menghampiri, berhubungan dengan Allah dan mendapatkan pengetahuan dari Allah. Oleh sebab itu Alban Douglas dengan tegas menyatakan bahwa “the greatest proof apart from Scripture of the existence of God is our daily fellowship with Him in prayer. I know that there is a God because I talked to Him today and He heard and answered the prayer of myhearth though it was only whispered silently”.[55]
Ketika kita berdoa maka Allah mendengar dan menjawab setiap doa kita, Allah mengajar bahwa Iapun mendengar seruan dalam hati kita meskipun itu tak terucapkan, itulah bukti bahwa Allah berkehendak menjalin hubungan dengan umatNya, berkehendak untuk menyatakan diriNya kepada manusia, mengkomunikasikan kebenaran-kebenaranNya dan menyatakan kehendakNya
C. Relativism Dalam Konstruktivism Dari Perpektif Pendidikan Kristen
Pemikiran konstruktivism sangat kental dengan pengaruh filsafat relativism. Pengalaman belajar seorang peserta didik merupakan proses yang sangat personal sehingga pengalaman dan hasil belajar seseorang tidak dapat dipakai sebagai acuan bagi pengalaman belajar orang lain, demikian pula relevansinya sangat relative dan personal. Paradigm konstruktivism menjunjung tinggi pengalaman khas setiap peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga tidak memungkinkan melakukan evaluasi dengan cara dan isi yang sama pada individu yang berbeda. Perbedaan respon dan konflik kognisi memungkinkan hasil belajar yang beragam, pengetahuan dan kebenaran yang diperoleh juga akan sangat relative bagi masing-masing personal sehingga muncul kemustahilan dalam mengabsolutkan sesuatu kebenaran, pengetahuan dan pengalaman.
Pendidikan Kristen tidak menafikan sama sekali kemajemukan pengetahuan, kebenaran dan pengalaman yang diperoleh melalui proses pembelajaran, namun demikian pengalaman belajar yang dirancang untuk mengkonstruksi suatu pengetahuan dan pengalaman yang benar-benar bersifat konstruktif haruslah dibangun di atas pondasi kebenaran yang absolut yaitu Firman Tuhan. Meskipun kebenaran terpancar dalam berbagai bentuk dan dapat ditemukan dalam berbagai dimensi namun esensi kebenaran itu tetap satu, yaitu kebenaran Tuhan (all truth is God’s truth). Kebenaran Tuhan yang absolut inilah yang seharusnya menjadi sasaran akhir dari sebuah proses konstruksi pengetahuan dan pengalaman manusia, bukan kebenarannya sendiri yang seringkali justru menyesatkannya kepada sebuah pengetahuan dan pengalaman justru sangat destruktif.Pendidikan Kristen memberikan kontribusi bagi paradigm konstruktivisme yang sekuler sehingga menjadikannya sebagai pembelajaran konstruktivisme yang teologis.
BAB V
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan Kristen yang dibangun di atas dasar-dasar fundamental teologi Kristen yang alkitabiah, telah memberikan arah dan pedoman, bagi pembelajaran dari sejak kekristenan ditanamkan pada abad pertama sehingga kekristenan selalu terlibat dalam pendidikan umat manusia Kesadaran akan pentingnya pendidikan ini membuat Gereja dari abad pertama terus terlibat dalam kegiatan belajar dan mengajar, bahkan ketika dunia membutuhkan pendidikan untuk memperbaiki peradaban, Gereja dan biara-biara tampil menjadi suatu pusat pendidikan, dan tidak sedikit dari tokoh-tokoh Kristen yang berperan sebagai ilmuwan bukan hanya dalam bidang teologi saja tetapi juga dalam disiplin ilmu yang lain, misalnya saja Kirilus sebagai ahli bahasa bangsa Slavia, Paus Gregorius XIII sebagai seorang astronom, Robert Boyle seorang filsuf sekaligus Scientist, Gregor Johann Mendel seorang ahli bidang hereditas, dan banyak lagi tokoh yang lainnya.
Demikian pula saat dunia ini menghadapi permasalahan berat baik yang berkaitan dengan semakin terbatasnya sumber daya alam maupun sumber daya manusia, saat problematika hidup semakin kompleks, dan saat sebuah filosofi sekuler menawarkan sebuah paradigm pembelajaran yang seolah-olah sangat ideal dan akomodatif dengan tuntutan jaman, Pendidikan Kristen harus tetap kritis dalam menyikapi pemikiran-pemikiran tersebut. Filosofi pendidikan Kristen yang dibangun di atas dasar filosofi teologis yang supranatural harus terus memberikan pengawasan/kontroling, penilaian/evaluating dan kontribusi sehingga paradigm tersebut sungguh-sungguh konstruktif baik dari perspektif naturalistic maupun dari perspektif teologis.
Secara esensial paradigm konstruktivism sangat baik bila dintinjau dari dimensi pedagogis, psikologis, fisiologis, maupun filosofis karena metodologi ini sangat representative dalam menciptakan sebuah pengalaman belajar yang paling sesuai dengan karakteristik dan keunikan setiap pribadi manusia. Namun demikian dalam beberapa perspektif lain, ada sebuah celah dalam paradigm ini yang justru akan berdampak negative sehingga filsafat Kristen/teologi memberikan konstribusi untuk mengantisipasinya. Beberapa prinsip teologis memungkinkan adanya modifikasi dalam paradigm konstruktivism misalnya berkaitan dengan konsep pribadi manusia dalam proses pembelajaran, konsep pengetahuan, dan pengalaman sehingga terbangun sebuah paradigm konstruktivism yang teologis.
DAFTAR PUSTAKA
Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament, dalam Bibliotecha Sacra vol 110, Texas : Dallas
Theological Seminary,1953
BagusLorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002
Benson, Clarence H., Christian Teacher, Chicago : Moody Press, 1950
Comfort, Philip Wesley The Quest for The Original Text, (Grand Rapid : Baker Book House, 1992).
Cully,Iris V. Dinamika Pendidikan Kristen, Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1989
Douglas,Alban One Hundred Bible Lessons, Manila : OMF Publishres, 1983
Ericson,Millard J. Teologi Kristen 1, Malang : Gandum Mas, 1999
Gangel, Kenneth O. Leadership For Church Education, Chicago : Moody Press,1973
Gangel, Kenneth O. The Church Education Handbook, Illionis: Victor Books, 1985
Graendorf.Werner G., Introduction To Biblical Christian Education, Chicago: Moody Press, 1981
Hakes.J.Edward, An Introduction To Evangelical Chrisrian Education, Chicago: Moody Press, 1978
Holmes,Arthur F. Segala Kebenaran adalah Kebenaran Allah, Surabaya :Momentum, 2000),h.128
I.H.Enklaar, EG Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta : BPK Gunugn Mulia, 1996
KarliHilda, Margaretha S, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung :Bina Media Informasi,2004
LewisPeter, The Message of The Living God, London : IVP, 2000
Miller, Randolp C. Education For Christian Living, New Jersey : Prentice Hall Inc, 1956
Nuhamara, Daniel Materi Pokok Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, Jakarta :DIRJEN BIMAS Protestan, 1994
Pannen.Paulina, et al, Konstruktivisme Dalam Pembelajaran, Jakarta : PAU-PPAI Universitas Terbuka, 2001
Person,Peter P. An Introduction To Christian Education, Michigan: Baker Book House, 1959
Redaksi PAK-PGI, Suluh Siswa, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999
Richard, Lawrence O., Christian Education, Michigan: Ministry Resources Library, 1975
SidjabatB.Samuel, Strategi Pendidikan Kristen, Yogyakarta : Yayasan ANDI, 1996
_______________, Menjadi Guru Profesional Dalam Perspektif Kristiani, Bandung : Kalam Hidup, 1993
TanyaEli, Gereja Dan Pendidikan Agama Kristen, Cipanas : STT Cipanas, 1999
Taylor. J.Marvin, Changing Pattern Of Religious Education, Abingdon : n.p, 1984
Team, The Ensiclopedia Americana International Edition Vol 26, Connecticut : Grolier Incorporated, 1985
Thiessen, Henry C. Teologi Sistematika, Malang : Gandum Mas, 1992
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1989.
V.Schunemann, Apa Kata Alkitab Tentang Dogma Kristen, Malang:YPPII,1988
Walvoord,John F. Roy B.Zuck, The Blible Knowledge Commentary : An Exposition Of Scriptures by Dallas Seminary Faculty Old Testament, USA :Victor Books, 1985
[3] Hilda Karli, Margaretha S, Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung : Bina Media Informasi,2004).hlm.2
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989) Hlm.204.
[10] Werner G.Graendorf, Introduction To Biblical Christian Education, (Chicago: Moody Press, 1981) P.16
[11] J.Edward Hakes, An Introduction To Evangelical Chrisrian Education, (Chicago: Moody Press, 1978), P.76
[19] Daniel Nuhamara, Materi Pokok Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta :DIRJEN BIMAS Protestan, 1994). Hlm26
[21] Randolp C.Miller, Education For Christian Living, (New Jersey : Prentice Hall Inc, 1956), P.270-271.
[23] B.Samuel Sidjabat, Menjadi Guru Profesional Dalam Perspektif Kristiani,(Bandung : Kalam Hidup, 1993),Hlm.52
[34] I.H.Enklaar, EG Homrighausen, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunugn Mulia, 1996),Hlm.74
[37] Peter P.Person, An Introduction To Christian Education,( Michigan: Baker Book House, 1959), P.83
[44] Team, The Ensiclopedia Americana International Edition Vol 26, ( Connecticut : Grolier Incorporated, 1985),p.633
[45] Philip Wesley Comfort, The Quest for The Original Text, (Grand Rapid : Baker Book House, 1992).
[48] Allan A.MacRae, The Scientific Approach To The Old Testament, dalam Bibliotecha Sacra vol 110, (Texas : Dallas Theological Seminary,1953)p.320
[53] John F.Walvoord, Roy B.Zuck, The Blible Knowledge Commentary : An Exposition Of Scriptures by Dallas Seminary Faculty Old Testament, (USA :Victor Books, 1985),p.29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar